Bantahan dan Jawaban Atas Pengingkaran Kaum Kafir
(QS Qaf [50]: 6-8)
أَفَلَمۡ يَنظُرُوٓاْ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَوۡقَهُمۡ كَيۡفَ بَنَيۡنَٰهَا وَزَيَّنَّٰهَا وَمَا لَهَا مِن فُرُوجٖ ٦ وَٱلۡأَرۡضَ مَدَدۡنَٰهَا وَأَلۡقَيۡنَا فِيهَا رَوَٰسِيَ وَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٧ تَبۡصِرَةٗ وَذِكۡرَىٰ لِكُلِّ عَبۡدٖ مُّنِيبٖ ٨
Apakah mereka tidak mememperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana ia Kami tinggikan dan hiasi langit itu, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (Apakah mereka pun tidak memerhatikan) bumi, bagaimana ia Kami hamparkan dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata? (Semua itu) untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (mengingat Allah). (Qaf [50]: 6-8).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang beberapa keheranan orang-orang kafir. Mereka heran mengapa yang diutus kepada mereka adalah manusia biasa seperti mereka. Mereka juga heran bagaimana mungkin manusia yang sudah mati bisa dihidupkan kembali. Keheranan mereka itu sebenarnya merupakan pengingkaran. Bukan kekaguman.
Ayat-ayat ini pun memberikan bantahan keheranan dan pengingkaran mereka sekaligus memberikan jawabannya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
أَفَلَمۡ يَنظُرُوٓاْ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَوۡقَهُمۡ كَيۡفَ بَنَيۡنَٰهَا ٦
Apakah mereka tidak mememperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana ia Kami tinggikan?
Setelah membantah keraguan dan pengingkaran orang-orang kafir dengan menunjukkan pengetahuan Allah SWT yang mencakup segala sesuatu, termasuk orang-orang yang telah meninggal, ayat ini memberikan bantahan lainnya dengan menunjukkan kekuasaan-Nya dalam menciptakan langit. Ini sesuatu yang sangat mudah. Siapa pun bisa mengetahui ini dengan hanya mendongakkan kepalanya ke atas, lalu melihat dan memperhatikan langit di atas mereka.
Ayat ini diawali dengan hamzah al-istifhâm (kata tanya: apakah). Al-Istifhâm atau kalimat tanya dalam ayat ini merupakan « لِلتَّقْرِيعِ وَالتَّوْبِيخِ » (untuk memberikan teguran dan kecaman). Artinya, bagaimana mereka bisa lalai dari memperhatikan langit yang ada di atas mereka.1
Frasa « فَوْقَهُمْ » (di atas mereka) untuk menambah kecaman terhadap mereka sekaligus seruan kepada mereka yang sangat bodoh.2 Betapa tidak. Langit itu di atas kepala mereka. Mereka dengan mudah bisa melihat langit itu setiap saat. Apakah mereka tidak memperhatikan langit yang ada di atas mereka yang begitu besar, luas dan tinggi itu? Jangankan menciptakan, menjangkau langit itu pun tidak bisa. Mengapa mereka lalai untuk memperhatikan dan merenungkan kebesarannya, lalu mengingat Penciptanya? Jika ciptaan-Nya saja begitu besar, lalu bagaimana dengan Penciptanya?
Menurut Imam al-Qurthubi, yang dimaksud dengan « يَنْظُرُوا » adalah « نَظَرَ اعْتِبَارٍ وَتَفَكُّرٍ » (pandangan untuk memperhatikan dan memikirkan); bahwa Tuhan Yang mampu untuk menciptakan langit yang sebelumya tidak ada tentu mampu untuk mengembalikan lagi (setelah tidak ada).3
Terhadap langit yang ada di atas mereka itu, mereka diminta untuk memikirkannya: (bagaimana ia Kami tinggikan). Artinya, « » (Kami meninggikan langit tersebut tanpa tiang penyangga).4 Perhatikanlah langit yang ada di atas kalian. Betapa luas dan tingginya langit itu. Namun, tak ada tiang penyangga. Coba bandingkan dengan buatan manusia. Semua bangunan yang dibuat oleh manusia mengharuskan ada tiang penyangga meskipun jauh lebih kecil, lebih rendah dan lebih sempit. Bukankah itu bukti kekuasaan Allah SWT yang kasatmata?
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Apakah orang-orang yang mendustakan kebangkitan setelah kematian dan orang yang mengingkari kekuasaan Kami untuk menghidupkan mereka setelah hancurnya mereka tidak memperhatikan?”5
Az-Zamakhsyari juga berkata, “« افَلَمْ يَنْظُرُو » (Apakah mereka tidak memperhatikan)—ketika mengingkari kebangkitan—jejak-jejak kekuasaan Allah SWT dalam penciptaan alam semesta?”6
Penjelasan senada dikemukakan al-Baidhawi dan al-Zuhaili.7
Kemudian dilanjutkan:
وَزَيَّنَّٰهَا وَمَا لَهَا مِن فُرُوجٖ ٦
(dan langit itu) Kami hiasi, sementara langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?
Tak hanya menciptakan langit yang amat tinggi, Allah SWT juga menghiasi langit itu dengan bintang-bintang yang sangat banyak. Hiasan itu berupa al-mashâbîh (pelita-pelita).8 Menurut banyak mufassir, Allah SWT menghiasi langit-langit bi al-nujûm (dengan bintang-bintang), 9 yakni bintang-bintang gemerlapan yang cahayanya bagaikan pelita-pelita.
Selain dihiasi dengan bintang-bintang yang sangat banyak, langit yang demikian besar, luas dan tinggi itu juga tidak memiliki keretakan sedikit pun. Allah SWT berfirman: « وَمَا لَهَامِنْ فَرُوجٍ » (tidak mempunyai retak-retak sedikitpun).
Menurut al-Imam al-Qurthubi, kata « فَرُوجٍ » merupakan bentuk jamak dari kata « فَرْجٍ » yang berarti « الشَّقُّ » (celah, rekah, belah, retak).10 Ini juga merupakan penafsiran Mujahid. Menurut Mujahid, kata « فَرُوج » bermakna ialah « شُقُوق » (rekah, belah, retak). Menurut yang lainnya, ia bermakna « فُتُوقٌ » (sobek, pecah, robek). Ada juga yang berpendapat « صُدُوع » (retak, pecah, robek, celah).11 Menurut Ibnu Katsir, semua makna tersebut berdekatan dan semakna dengan firman-Nya:
ٱلَّذِي خَلَقَ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖ طِبَاقٗاۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلۡقِ ٱلرَّحۡمَٰنِ مِن تَفَٰوُتٖۖ فَٱرۡجِعِ ٱلۡبَصَرَ هَلۡ تَرَىٰ مِن فُطُورٖ ٣ ثُمَّ ٱرۡجِعِ ٱلۡبَصَرَ كَرَّتَيۡنِ يَنقَلِبۡ إِلَيۡكَ ٱلۡبَصَرُ خَاسِئٗا وَهُوَ حَسِيرٞ ٤
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah (QS al-Mulk [67]: 3-4).
Artinya, pandangan matamu akan kelelahan dalam mencari aib atau kekurangan karena hal tersebut tidak ditemukan dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah.12
Siapa pun yang mengarahkan pandangan ke atas, niscaya dia akan menyaksikan langit betapa menakjubkan ciptaan Allah SWT itu. Terlihat oleh mata, langit itu laksana atap raksasa yang sangat luas dan tinggi. Anehnya, tanpa ada satu pun tiang yang menjadi penyangganya. Karena itu jika mereka merasa heran dan tak percaya manusia bisa kembali dihidupkan setelah mati, semestinya mereka lebih merasa heran terhadap langit yang menjadi ciptaan Allah SWT itu. Jika Allah SWT berkuasa menciptakan langit yang tinggi, luas dan tak ada tiang penyangga, serta tak ada yang retak, bahkan dihiasi dengan bintang-bintang yang sangat banyak, tentu lebih mudah bagi Allah SWT untuk menghidupkan manusia kembali.
Allah SWT lalu berfirman:
وَٱلۡأَرۡضَ مَدَدۡنَٰهَا وَأَلۡقَيۡنَا فِيهَا رَوَٰسِيَ ٨
(Apakah kalian pun tidak memperhatikan) bumi, bagaimana dia Kami hamparkan dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh?
Kata « الْأَرْض » berkedudukan sebagai maf’ûl bih (objek) dari fi’l yang disembunyikan. Diperkirakan kalimat utuhnya adalah: « وبسطنا الأرض » (dan Kami hamparkan bumi).13
Berkebalikan dengan langit yang di atas mereka, bumi berada di bawah mereka. Setiap hari mereka injak. Bahkan mereka tinggal di atas mereka. Jika langit ditinggikan oleh ALlah, maka bumi Dia hamparkan. Disebutkan: [ مَدَدْنَاها ] (Kami hamparkan) bermakna [ وَسِعْنَاهَا وَفَرَشْنَاهَا ] (Kami luaskan dan Kami panjangkan dia).14
Sungguh ini juga menunjukkan kekuasaan Penciptanya Yang Mahabesar dan Mahakuasa. Bumi yang bentuk sebenarnya adalah bulat, namun oleh mata terlihat terhampar dan terbentang luas. Itu menunjukkan betapa besarnya bumi itu. Ini juga menjadi bukti kekuasaan Allah SWT yang kasatmata.
Selain dihamparkan, Allah SWT juga meletakkan di dalamnya: [ رَوَاسِيَ ] (gunung-gunung). Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, az-Zamakhsyari, azy-Syaukani, dan lain-lain kata tersebut bermakna [ جبالا ثوابت ] (gunung-gunung yang kokoh).15 Bentuk tunggalnya adalah [ راسية ] yang berarti [ الثابتة ] (yang kokoh). Dari kata itu dibuat kalimat: [ أرسيت الوتد في الأرض ] (aku mengokohkan pasak di bumi).16 Gunung disebut râsiyah (yang kokoh) karena bumi menjadi kokoh karenanya.17
Tentang gunung ditancapkan di bumi untuk mengokoh bumi itu agar tidak berguncang juga disebutkan dalam firman-Nya yang lain (Lihat, misalnya: QS al-Anbiya’ [21]: 31).
Kemudian dilanjutkan:
وَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٧
…dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.
Di atas bumi juga Allah SWT menumbuh-kan berbagai macam tanaman dan tumbuhan. Maksud frasa: [ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ ] adalah berbagai tanaman, tumbuhan dan pepohonan. Dalam ayat ini, semua tanaman dan tumbuhan itu digambarkan berpasang-pasangan: [ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ ].
Ibnu Katsir berkata, “Makannya, berupa tanam-tanaman dan pepohonan yang beraneka ragam jenis dan macamnya. Allah SWT berfirman:
وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kalian mengingat (kebesaran Allah) (QS adz-Dzariyat [51]: 49).
Kata tanaman itu disifati dengan kata [ بَهِيْجٍ ] (yang indah). Menurut Ibnu Katsir, kata tersebut bermakna [ حَسَنٍ نَضِرٍ ] (indah lagi sedap dipandang mata).18 Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kami menumbuhkan di bumi segala macam tanaman yang sedap dipandang mata, Itulah bahîj (yang indah).”19
Kemudian Allah SWT berfirman:
تَبۡصِرَةٗ وَذِكۡرَىٰ لِكُلِّ عَبۡدٖ مُّنِيبٖ ٨
(Semua itu) untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (mengingat Allah).
Al-Imam al-Qurthubi berkata, “Artinya, Kami menjadikansemua itu sebagai tabshirah (pelajaran) agar Kami menunjukkan dengan itu kesempurnaan kekuasaan Kami.”20
Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Kami mengerjakan hal itu sebagai tabshirah (pelajaran) bagi kalian, wahai manusia. Kami memperlihatkan kepada kalian dengan itu kekuasaan Tuhan kalian atas segala sesuatu yang Dia kehendaki.”21
Selain itu, semua itu sekaligus sebagai [ ذِكْرَى ] (peringatan). Disebutkan bahwa itu adalah peringatan [ لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ ] (bagi setiap hamba yang kembali). Yang dimaksud dengan [ عَبْدٍ مُنِيبٍ ] adalah hamba yang kembali beriman kepada Allah SWT dan mengerjakan ketaatan.22 Az-Zamakhsyari berkata, “(Hamba) yang kembali kepada Tuhannya dan memikirkan tentang penciptaan.”23
Kedua kata tersebut, yakni tabshirah wa dzikrâ (pelajaran dan peringatan) merupakan ‘illah (sebab) terhadap apa yang telah dijelaskan sebelumnya.24 Ibnu Katsir berkata, “Melalui penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT pada keduanya berupa tanda-tanda yang besar yang membuktikan kekuasaan Allah. Semuanya itu dijadikan sebagai pelajaran, bukti, dan peringatan bagi setiap hamba yang tunduk, patuh dan takut kepada Allah SWT.”25
Menurut Imam Fakhuddin al-Razi, ayat ini menunjukkan tentang dalil yang membantah ucapan mereka: [ ذلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ ] (Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin). Itu sebagaimana dalam firman-Nya:
أَوَ لَيۡسَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِقَٰدِرٍ بِقَٰدِرٍ عَلَىٰٓ أَن يَخۡلُقَ مِثۡلَهُمۚ ٨١
Tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? (QS Yasin [36]: 81).
Juga dalam firman-Nya:
لَخَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ أَكۡبَرُ مِنۡ خَلۡقِ ٱلنَّاسِ ٥٧
Sungguh penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia (QS Ghafir [40]: 57).
Juga dalam firman-Nya:
أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَٱلۡأَرۡضَ وَلَمۡ يَعۡيَ بِخَلۡقِهِنَّ بِقَٰدِرٍ عَلَىٰٓ أَن يُحۡـِۧيَ ٱلۡمَوۡتَىٰۚ ٣٣
Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? (QS al-Ahqaf [46]: 33).26
Ayat-ayat itu menunjukkan tentang kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan langit dan bumi. Jika Allah SWT berkuasa untuk menciptakan semua, maka menghidupkan manusia sesudah matu tentu jauh lebih mudah bagi Dia.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 85
2 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26), 285
3 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6
4 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-;Arabiy, 1998), 150; Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 381
5 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 332
6 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 381
7 al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 150; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 280
8 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396
9 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 332
10 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6
11 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 332
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396
13 al-Nahas, I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 147
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396
15 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 332; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 85; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 381; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 150
16 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 16, 328
17 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 9, 280
18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396
19 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 333
20 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 6
21 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 333
22 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 333
23 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 381
24 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 85
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 396
26 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 127 (Bierut: Dar Ihya‘ a;-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 127