Hiwar

H. M. Ismail Yusanto:Penting Mewujudkan Pemerintahan Islam

Pengantar:

Rezim Jokowi sudah berakhir. Penggantinya, rezim baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Setiap muncul rezim baru, biasanya juga muncul harapan baru. Termasuk kepada Presiden Prabowo Subianto.

Pertanyaannya: Mungkinkah rezim baru membawa harapan baru? Apakah rezim baru mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik? Bagaimana dengan sejumlah persoalan berat dan kompleks yang diwariskan oleh rezim lama kepada rezim baru ini? Apakah semuanya bisa diatasi? Ataukah justru rezim baru bakal gagal sebagaimana rezim lama? Jika demikian, apa sesungguhnya akar persoalan bangsa ini? Bagaimana pula solusi fundamental dan tepat untuk mengatasi ragam persoalan yang berat dan kompleks yang dihadapi bangs ini?

Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang disampaikan oleh Redaksi kepada Ustadz H.M. Ismail Yusanto dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut wawancara lengkapnya:

 

Ustadz, pemerintahan baru sudah dilantik. Banyak yang “menggantang” harapan. Apakah akan terjadi perbaikan di tengah warisan beban rezim sebelumnya?

Wajar publik menaruh harapan besar kepada rezim yang baru. Pasalnya, selama 10 tahun mereka hidup di bawah rezim yang banyak sekali melahirkan kebijakan yang sangat kontroversial. Di bidang politik berupa kekacauan etika politik. Di bidang ekonomi dan hukum seperti lahirnya UU Minerba 2020, UU Ciptakerja, UU KPK yang secara total memperlemah intitusi yang semula sangat diharap bisa memberantas korupsi. Demikian pula di bidang sosial-budaya dan pendidikan. Apakah harapan besar itu akan benar terpenuhi? Waktulah yang akan menentukan.

 

Pertumbuhan ekonomi terbaca menurun. Daya beli Masyarakat juga menurun. Apakah dengan planning “paket ekonomi” yang diluncurkan oleh rezim baru akan mendongkrak itu semua?

Bisa iya, bisa tidak. Soalnya, ekonomi domestik negeri kita ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi global yang tidak kunjung membaik. Menyusul Perang Rusia – Ukraina. Apalagi ditambah perang di Timur Tengah yang sekarang makin membara. Semua itu, membuat kinerja ekspor khususnya barang manufaktur merosot tajam.  Apalagi dengan serbuan barang murah dari Cina. Ini makin membuat industri dalam negeri sempoyongan. Jika situasi ini terus berlanjut, keadaan ekonomi bukan membaik, tetapi malah bisa makin memburuk.

 

Rezim lama mengagungkan pendapatan negara dari sektor pajak sukses mencapai target. Bahkan ada yang melampaui target. Apakah sikon ini baik untuk ekonomi ataukah justru sebaliknya?

Dalam perspektif ekonomi liberal, naiknya pendapatan pajak adalah sebuah kebaikan. Hal itu berarti akan meningkatan pendapatan negara. Ini amat diperlukan dalam pembiayaan pembangunan. Namun, banyaknya pungutan pajak, utamanya bagi masyarakat menengah bawah, tentu akan menjadi beban, juga akan makin menurunkan daya beli.  Hal itu tentu bukan hal yang baik. Apalagi dalam perspektif Islam, pajak adalah pungutan paksa yang bisa mengarah pada kezaliman. Alih-alih ditolong, rakyat yang sudah susah malah dibikin tambah susah.

Makin besarnya pungutan pajak di negeri ini sebenarnya sebuah kebijakan yang ganjil. Mengapa? Lihatlah, satu sisi negara begitu getol mengumpulkan uang receh dari rakyatnya melalui berbagai bentuk pajak seperti Ppn, Pph dan lainnya. Namun, di sisi lain sumber-sumber penghasilan besar seperti  tambang barubara malah dilepas. Saat ini ada 370.775 ribu hektar ladang Batubara yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B. Menurut keterangan Dirjen Minerba, sumberdaya dan cadangan batubara di wilayah itu mencapai 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000, maka nilai aset  itu adalah Rp 13.730 triliun. Nyatanya, harga batubara sekarang jauh di atas angka asumsi tadi. Itu artinya, nilai cadangannya juga sangat besar. Bukankah dengan potensi sebesar itu, bila dikelola oleh negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta?

 

Ekonomi populis yang dijalankan oleh rezim lama sepertinya bakal “ditiru” oleh rezim baru. Tentu membutuh dana besar. Apakah ada korelasi positif bagi ekonomi dan kesejahteraan rakyat?

Ekonomi populis, yang terwujud dalam bentuk kebijakan seperti pemberian BLT dan Bansos serta berbagai subsidi, secara teoritik dibenarkan. Utamanya ketika terjadi kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyat, yang tak lagi bisa diselesaikan melalui mekanisme ekonomi biasa. Namun, dalam perkembangannya, karena lebih bermuatan politis, ia acap  mengabaikan pertimbangan ekonomi, sehingga malah menimbulkan komplikasi ekonomi, berupa makin beratnya beban negara. Celakanya, hal itu kemudian dikompensasikan pada kenaikan pungutan pajak. Walhasil, negara seperti berwajah ganda. Di satu sisi tampak baik kepada sebagian rakyatnya. Di sisi lain sangat jahat kepada rakyat lainnya.  Meski begitu, besar kemungkinan kebijakan ini akan tetap diteruskan oleh rezim baru. Pasalnya, cara ini memang cukup efektif untuk menyelesaikan problem distribusi dan secara politis efektif meredam potensi gejolak sosial.

 

Utang warisan dari rezim lama begitu menggunung. Bagaimana konsekwensinya? Apakah rezim baru akan semakin terjerat utang?

Utang rezim lalu pasti akan membebani rezim baru. Cicilan utang dan bunga yang harus dibayar tiap tahun disebut-sebut lebih dari Rp 800 triliun. Itu artinya, rezim baru nanti harus mengalokasikan lebih dari 25% dari rencana pendapatan tahun 2025 yang diperkirakan tak sampai Rp 3000 triliun untuk membayar kewajiban itu. Keadaan ini tentu akan membuat ruang fiskal untuk berbagai kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, termasuk untuk pembiayaan proyek mercusuar IKN, akan semakin sempit. Untuk mengatasi itu, lazimnya rezim akan menempuh dua jalan. Pertama, dengan menambah utang baru. Kedua, meningkatkan pungutan pajak. Kedua-duanya bukan pilihan enak karena pasti pada akhirnya akan makin membebani ekonomi rakyat. Utang baru akan menambah beban cicilan utang dan bunganya. Pajak makin memberatkan pengeluaran rakyat.  Selama perspektif yang digunakan adalah sistem ekonomi kapitalis, cara-cara seperti itu akan selalu dilakukan.

 

Banyaknya pabrik-pabrik yang tutup dan kelas menengah yang tergerus ekonominya menunjukkan fenomena apakah?

Pertama: Itu menunjukkan gempuran hebat di sektor manufaktur dalam negeri akibat kerasnya persaingan, utamanya dari Cina, serta menurunnya permintaan barang manufaktur secara global menyusul Perang Rusia – Ukraina dan krisis Timur Tengah. Kedua: Makin derasnya masuk komoditas manufaktur murah seperti tekstil, baju, alas kaki, alat pertukangan dan lainnya dari Cina membuat produksi manufaktur dalam negeri tersisih. Omset menurun. Jika hal itu terus terjadi, ujungnya produksi harus dihentikan, dan pabrik ditutup. Tutupnya pabrik tentu akan meningkatkan pengangguran. Ini dibuktikan dari jumlah  PHK yang terjadi pada bulan Agustus – September 2024 saja disebut mencapai lebih dari 40 ribu. Keadaan ini akhirnya memukul sektor UMKM lainnya, karena kehilangan pembeli yang mayoritasnya berasal dari kalangan menengah bawah ini. Keadaan ini memaksa para penjual menurunkan harga. Itulah mengapa terjadi deflasi (penurunan harga-harga) yang terjadi terus menerus selama 5 bulan terakhir.

 

Di sisi lain, apakah penegakan hukum sudah berkeadilan? Ataukah justru hukum “mengabdi” pada kepentingan rezim dan oligarki?

Ini akan menjadi bagian paling sulit yang bakal dihadapi oleh rezim baru nanti. Semua orang tahu, di sepanjang kepemimpinan rezim lalu, penegakan hukum acap dilakukan bukan demi mewujudkan keadilan, melainkan untuk kepentingan kekuasaan. Akibatnya, banyak koruptor yang tidak diproses  karena mereka mau tunduk pada kepentingan kekuasaan. Contoh paling hangat adalah kasus Erlangga Hartarto. Semua orang tahu, ia dipaksa mundur dari kursi Ketua Umum Golkar oleh penguasa di bawah ancaman 11 kasus. Jika benar ia terlibat di sekian banyak korupsi, mengapa tidak diproses? Mengapa pula kasusnya justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa? Celakanya lagi, alih-alih semua kasus itu diproses, yang bersangkutan malah dianugerahi Bintang Mahaputera. Pertanyaan sederhananya, bisakah setelah budaya kotor seperti itu berlangsung sekian lama, rezim baru nanti menciptakan budaya hukum baru yang lebih baik? Jawabannya, mestinya bisa. Semua tentu bergantung pada kemauan politik Presiden Prabowo nanti. Ini karena langkah ini pasti nanti akan memakan banyak orang. Sangat mungkin di antaranya berasal dari kalangan pendukungnya sendiri atau bahkan dari kalangan sendiri.

 

Tak bisa dipungkiri bahwa dominasi oligarki pada pemerintahan rezim Jokowi begitu kentara. Apakah rezim baru nanti terbebas dari oligarki atau sebaliknya? Bagaimana konsekwensinya?

Betul. Rezim lalu sangat ditopang oleh oligarki pemilik modal. Begitu pun dengan rezim sekarang. Ini karena oligarki pendukung rezim lalu adalah juga pendukung rezim ini. Sebut siapa pengusaha pendukung rezim lalu, pastilah ia juga pendukung rezim sekarang. Mengapa itu bisa terjadi?  Karena bagi oligarki, yang paling penting adalah keberlanjutan kepentingan bisnis dan ekonomi mereka. Mereka melihat, rezim inilah yang paling potensial menang dan paling bisa mengamankan semua kepentingan bisnis dan ekonomi mereka. Mereka banyak belajar dari rezim lalu, dengan memberi puluhan triliun rupiah mereka bisa mendapat ratusan triliun rupiah. Belum pernah rasanya dalam sejarah di republik ini, pengusaha begitu bisa mendapat ruang berbisnis yang amat sangat empuk lebih dari pada masa sekarang.

 

Bagi-bagi kursi menteri dan direksi BUMN menjadi kritik pedas politik transaksional rezim Jokowi. Apakah rezim baru benar-benar melaksanakan zaken cabinet ataukah serupa dengan rezim sebelumnya? Bagaimana dampaknya?

Bakal serupa dengan sebelumnya. Hebatnya, itu semua nanti akan berlangsung secara legal. Bukankah UU Kementerian sudah diubah dengan memberikan kewenangan kepada Presiden baru nanti untuk membentuk kementerian sesuai dengan kebutuhan. Artinya, politik transaksional bakal akan tetap terjadi. Kabarnya bakal ada 40 kementerian dengan sekitar 60 jabatan menteri dan setingkat menteri berikut wakilnya. Angka itu sangat cukup untuk dibagi rata pada semua partai pendukung rezim. Mungkin bedanya, ke depan katanya menteri akan diambil dari orang yang betul-betul ahli, tidak seperti rezim lalu yang sangat terkesan asal comot.

 

Bisakah rezim baru menyelesaikan semua permasalahan di atas?

Bisa iya, bisa tidak. Bergantung pada sejumlah faktor. Pertama: Integritas presiden. Apakah betul-betul ia bisa bekerja berdasar nilai-nilai utama ataukah akan seperti yang lalu  berdasar prinsip machiavelistik, yang membuat persoalan bukan terurai tapi malah makin ruwet. Kedua: Partai-partai politik dan Parlemen. Apakah bisa memerankan diri secara semestinya sebagai alat kontrol atau sekadar sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan kue ekonomi. Ketiga: Masyarakat dengan para tokohnya. Apakah tetap kritis atau justru malah tunduk kpada kekuasaan seperti yang lalu terjadi. Keempat: Sistem yang berlaku. Apakah bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah atau malah justru malah menimbulkan masalah.

 

Apa akar masalahnya sehingga permasalahan bangsa begitu menggurita dan susah diselesaikan?

Ada dua: Pertama, pemimpin yang culas dan sistem yang buruk. Pemimpin yang culas. Dia bukan bekerja demi kebaikan bangsa dan negara, tetapi malah justru demi diri dan keluarga serta kelompoknya. Kedua, sistem sekuler kapitalistik, yang memang sudah cacat sejak dari lahirnya. Kombinasi dua faktor inilah yang membuat negeri kita ini hari terjerembab pada kubangan persoalan yang makin banyak dan makin berat.

 

Dengan apa agar permasalahan bangsa tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas?

Tentu dengan menata dua faktor utama tadi. Harus ada sistem yang baik. Tentu yang berasal dari Tuhan Yang Mahabaik, Allah SWT. Itulah syariah Islam. Juga harus ada pemimpin yang baik, yang amanah, yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.

 

Akankah dalam upaya penyelesaian masalah bangsa tersebut dengan hanya perubahan parsial saja? Ataukah diperlukan perubahan fundamental? Seperti apakah Perubahan fundamental itu?

Ketika sebuah bangunan bobrok akibat pondasinya yang rapuh, perbaikannya tak cukup dengan sekadar menutup lobang tembok atau mengganti genteng. Harus ada perbaikan secara total pondasi yang rapuh itu. Begitulah pula perbaikan negeri ini, yang telah lama rusak akibat sistem yang rusak yang lahir dari sistem sekuler, kapitalistik, liberalistik. Ia memerlukan perubahan fundamental, sejak dari akarnya demi tegaknya kehidupan yang Islami, yang di dalamnya diterapkan syariah secara kaaffah dengan kepemimpinan yang amanah.

 

Apakah penting adanya pemerintahan islami untuk menyelesaikan permasalahan bangsa ini?

Penting sekali. Bahkan harus. Pemerintahan islami adalah pemerintahan yang digerakkan oleh pemimpin yang islami, yang bekerja berdasar sistem  Islam. Seorang pemimpin yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, yang amanah, yang sadar betul bahwa kepemimpinnya itu akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT kelak di Akhirat. Karena itu ia harus memimpin dengan sebaik-baiknya jika tidak ingin mendapat azab nanti. Dengan syariah, masyarakat dalam setiap aspeknya akan diatur. Dengan syariah pula setiap masalah akan diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

 

Bagaimana seharusnya pemerintahan baru bersikap terhadap gerakan Islam dan perjuangan penegakan syariah Islam?

Pemerintahan baru harus memandang bahwa Islam dan umat Islam adalah modal dasar terpenting dari bangsa ini. Negeri ini merdeka di atas tetesan darah para syuhada dan diakui atas berkat rahmat Allah. Oleh karena itu, tak layak Pemerintah memusuhi Islam dan umat Islam, termasuk gerakan Islam. Jika pemerintah memusuhi gerakan Islam, itu sama artinya memusuhi rakyatnya sendiri. Sejarah mencatat, tak ada rezim yang selamat ketika dalam kekuasaannya dipenuhi kebencian terhadap Islam. Lihatlah apa yang terjadi pada rezim Orde Lama, Orde baru juga Orde Jokowi. Mereka semua berakhir, bahkan tumbang, sementara dakwah Islam terus melaju makin kencang.

Islam harus dipandang sebagai sistem yang akan mengatur masyarakat dan memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi saat ini. Jika Sosialisme telah runtuh, Kapitalisme makin loyo, ke mana lagi akan berlabuh jika tidak pada Islam?

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dan rakyat guna mendukung perubahan besar ini

Umat harus terus meningkatkan pemahaman Islamnya. Mereka harus menguatkan iman dan takwanya agar semakin tunduk pada segenap perintah dan larangan Allah. Sedemikian sehingga bisa melihat bahwa negeri ini sungguh memerlukan perubahan besar bagi kebaikan negeri ini. Perubahan itu tak lain adalah perubahan ke arah Islam. Karena itu usaha ini harus didukung dengan sekuat-kuatnya. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 4 =

Back to top button