Hiwar

Iwan Januar: Amerika di Balik Konflik Iran VS Israel

Pengantar:

Konflik Iran vs Israel beberapa waktu lalu, yang bahkan berujung saling serang secara militer, tentu penting untuk dikaji. Apa latar belakangnya? Adakah kaitannya dengan isu Palestina? Adakah peran Amerika Serikat (AS) di belakangnya? Jika ada, apa target AS dalam konflik Iran vs Israel? Bagaimana pula kaitannya dengan isu nuklir Iran? Apa hubungannya dengan Abraham Accords? Apa pula agenda baru AS di Timur Tengah secara umum? Lalu bagaimana seharusnya sikap umat Islam dalam merespon konflik Iran vs Israel, isu Gaza (Palestina) dan isu-isu di Timur Tengah secara umum?

Inilah di antara yang ditanyakan oleh Redaksi kepada, Pengamat Sosial dan Politik Islam, Ustadz Iwan Januar. Berikut wawancara lengkapnya.

 

Ustadz, apakah konflik Israel vs Iran ada kaitannya langsung dengan AS?

Umat harus sadar bahwa Iran bukanlah ancaman sesungguhnya bagi AS. Justru adalah Iran bagian dari sekutu Washington, terutama untuk kawasan Timur Tengah. Sejak era Pahlevi sampai sekarang berkali-kali Iran bersama Amerika Serikat berkoalisi dalam agenda militer dan politik untuk kepentingan bersama.

Konflik Israel vs Iran sebenarnya cara Israel untuk mendorong Amerika Serikat agar lebih menekan Iran dalam proyek nuklir. AS dan Israel tidak ingin ada negara di Timur Tengah yang memiliki proyek pengembangan nuklir, terutama sebagai persenjataan, karena akan menjadi ancaman keamanan bagi mereka. Nah, Iran, yang sudah mengembangkan teknologi nuklir sejak era Pahvlevi pada tahun 50-an, dinilai sebagai ancaman. AS dan Israel ingin memastikan hanya Israel saja yang punya persenjataan nuklir.

 

Apa itu aliansi Abraham Accords? Bagaimana relevansinya dengan konflik Israel-Iran?

AS sebagai induk semang Zionis Yahudi menginginkan kondisi di Timur Tengah itu kondusif. Artinya, tidak ada gejolak yang mengancam eksistensi Israel. AS ingin mengeliminasi semua potensi ancaman terhadap kepentingan mereka dan eksistensi negara Israel. Untuk itu AS mendorong negara-negara di kawasan tersebut untuk menjalin hubungan damai dengan entitas Yahudi. Salah satunya lewat Abraham Accords.

Alasan kuatnya adalah: Pertama, kekuatan Amerika Serikat secara ekonomi mengalami penurunan. AS belum pulih dari resesi ekonomi 2008–2009 menjadi pemicu resesi global akibat gelembung kredit subprime dan runtuhnya sistem keuangan berbasis utang properti. Kedua, langkah itu dilakukan karena AS ingin fokus menghadapi perang ekonomi dengan Cina. Dengan demikian suasana di Timur Tengah atau kawasan lain yang menjadi bagian dari imperium AS ditekan agar tidak bergejolak. Sebabnya, perang ekonomi dengan Cina menguras energi AS.

Pada bagian inilah AS dan Israel ingin sama-sama mengeliminasi ancaman dari Iran. Sebabnya, meskipun Iran sekutu AS, mereka juga ingin mengembangkan hegemoninya di kawasan tersebut, seperti melakukan proxy pada Hizbullah di Libanon, Houthi di Yaman, termasuk mendukung Hamas pada level tertentu.

 

Benarkah konflik Israel-Iran justru dalam rangka AS mendorong negara-negara Teluk untuk melakukan normalisasi dengan Israel?

Ya, memang begitu keinginan AS. Kondisi Timur Tengah yang kondusif, aman, tidak ada gejolak, juga potensi ancaman terhadap kepentingan AS dan Israel adalah tujuan AS mendorong hubungan damai antar negara Arab dengan Zionis Yahudi. Apalagi negara-negara Arab sejak juga melihat Iran sebagai ancaman. Para penguasa Arab itu memberikan perlawanan pada Iran sejak konflik Irak-Iran dengan mendukung penguasa Irak. Sekarang mereka melihat Iran mengembangkan pengaruhnya seperti di Yaman, Suriah (ketika masih dikuasai dinasti Assad), juga Irak. Maka dari itu mereka mendiamkan serangan Israel ke Iran, bahkan mereka menjatuhkan rudal-rudal Iran yang menuju Israel.

 

Pasca serangan balasan Iran ke Israel, AS memberikan respon agar Iran dan Israel berdamai. Apakah ini benar-benar terwujud ataukah hanya ilusi?

Sementara ini, terbukti berhasil. Iran akhirnya menghentikan serangan mereka ke Israel. Sebabnya, sebenarnya mereka juga tidak sepenuh hati berkonflik militer dengan Israel kecuali melalui proxy mereka. Ketika pimpinan Hamas, Ismail Haniyyeh, terbunuh di Teheran, Pemerintah Iran melalui Presiden Masoud Pezeshkian memohon kepada Ayatullah Ali Khameini agar tidak memaksakan serangan balasan ke Israel. Iran tidak mau negaranya terseret dalam konflik besar yang menyedot energi mereka.

 

Pesawat-pesawat tempur Israel bebas terbang di wilayah udara negeri-negeri Muslim. Itu sejatinya menunjukkan apa, Ustadz?

Itu menunjukkan para penguasa Arab itu menjadi sekutu Zionis dan Amerika Serikat. Mereka lebih biadab dibandingkan Zionis Yahudi. Mereka menggadaikan kedaulatan negeri mereka dan kehormatan sebagai Muslim dengan membiarkan wilayah udara mereka menjadi perlintasan pesawat-pesawat Zionis membunuhi kaum Muslim. Para penguasa Arab itu memilih nyaman dan aman di ketiak Amerika Serikat. Mereka sadar bahwa kursi kekuasaannya ditopang oleh AS. Mereka takut bernasib seperti Pahlevi, Raja Farouq, Saddam juga Qadhafi yang bisa digulingkan Amerika kalau mengkhianati kepentingan AS.

Sebelum serangan Israel ke Iran, Donald Trump melakukan kunjungan resmi ke negara-negara Teluk. Dia mendapatkan dana triliunan dolar AS. Namun, saat Israel menyerang Iran, tidak ada sikap menghentikan pesawat-pesawat tempur Israel melewati wilayah udara mereka. Apakah ini bisa dibaca sebagai tekanan AS secara terbuka untuk‘memaksa’ penguasa Timur Tengah tunduk dengan politik balas budi atas perlindungan Amerika kepada mereka?

Umat bisa membaca demikian. Para penguasa Arab seperti Saudi merasa punya utang budi karena dibantu menjadi negara petrodolar setelah perusahaan AS menemukan cadangan migas di negerinya. Kuwait merasa berutang budi karena dibantu militer AS mengusir pasukan Irak dari negerinya. Hal ini berlangsung terus sampai sekarang. Hampir tidak ada satu pun penguasa Arab yang tidak membutuhkan perlindungan politik dan militer dari Amerika Serikat. Uang yang mereka kirim kepada Trump itu adalah upeti perlindungan mereka dengan atas nama investasi.

 

Benarkah serangan Israel ke Iran adalah dalam rangka memperkuat persepsi dan mengopinikan bahwa ada ancaman serius Iran di kawasan Timur Tengah? Khususnya kepada Israel”

Pertama, serangan atas restu Amerika Serikat itu adalah peringatan untuk menekan Iran agar jangan melanjutkan proxy mereka melawan Israel. Maka dari itu, sebelumnya Israel menyerang dulu Hizbullah di Libanon juga Houthi di Yaman.

Kedua, Israel sudah melakukan kalkulasi politik bahwa negara-negara Arab mendukung serangan mereka terhadap Iran. Pasalnya, negara-negara Arab juga tidak suka dengan Iran yang berupaya terus mengembangkan pengaruhnya di kawasan Teluk. Dengan serang itu, Israel mengirim pesan pada negara-negara Arab bahwa Israel membantu negara Arab mengeliminasi ancaman Iran di kawasan.

 

Adakah motif ekonomi yang akan dikeruk oleh AS dengan munculnya konflik Iran vs Israel ini? Siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Banyak korporasi Amerika Serikat berbisnis di Timur Tengah mulai dari energi, infrastruktur, termasuk militer atau persenjataan. Perang ini akan mengamankan bisnis perusahaan-perusahaan tersebut. Secara militer, negara-negara Timur Tengah adalah pembeli loyal dan terbesar persenjataan produksi asal AS juga Israel. Tiga puluh persen tujuan penjualan senjata global adalah Timur Tengah. Ini jelas menguntungkan produsen senjata AS seperti Lockheed Martin, Raytheon, Northrop, dsb.

 

Apakah konflik Israel-Iran juga sebagai rekayasa untuk memadamkan api perlawanan untuk membebaskan Palestina dengan mengalihkan dan menjauhkan isu Palestina sebagai negeri yang dijajah?

Bagi Israel serangan ini, termasuk sebelumnya ke proxy Iran, adalah cara untuk meredam perlawanan terhadap Israel. Serangan ke Teheran ini juga merupakan peringatan pada Iran agar tidak membantu kelompok perlawanan terhadap zionis Yahudi. Dalam serangan ke Teheran, militer Zionis berhasil menewaskan sejumlah perwira tinggi Iran. Ini menunjukkan kelemahan intelijen Iran mengantisipasi serangan Israel. Persis seperti pembunuhan Haniyeh di Teheran, di kawasan teraman secara militer.

Dalam hal pembelaan terhadap Gaza dan Palestina, Pemerintah Iran tidak pernah sungguh-sungguh kecuali sekedar logistik, dana dan relasi. Padahal Iran punya kekuatan militer untuk menggempur Zionis. Iran juga punya pangkalan militer di Suriah yang bisa langsung dipakai menghajar zionis. Namun, itu tidak dilakukan Iran.

Maka dari itu, umat jangan berharap kepada para penguasa Timur Tengah bakal membela Palestina dan melikuidasi negara Zionis. Mereka hanya membela kepentingan nasionalismenya dan kekuasaan mereka. Dukungan mereka kepada Gaza hanya lips service untuk pencitraan di mata rakyat mereka.

 

Bagaimana upaya AS untuk menjauhkan atau meminimalisasi peran Rusia dan Cina di Timur Tengah?

Ini sudah berhasil dilakukan Amerika Serikat dengan menjatuhkan Bashar Assad di Suriah. Naiknya Jaulani dari Hay’ah Tahrir Syam dan faksi-faksi militer lainnya adalah topangan Amerika Serikat lewat Turki. AS berhasil melemahkan pengaruh Cina dan Rusia di kawasan Timur Tengah. Jatuhnya dinasti Assad juga melemahkan pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah.

 

Apakah konflik Israel vs Iran dalam “kontrol” AS dan masih sesuai dengan kepentingannya?

Gedung Putih punya kalkulasi politik dalam setiap konflik di Timur Tengah. Mereka sudah mengukur daya rusak konflik dan paham loyalitas negara-negara Arab termasuk Iran pada Washington. Salah satunya, AS memainkan kartu truf sanksi ekonomi terhadap Iran yang sudah berlangsung puluhan tahun. Sanksi-sanksi ini meliputi larangan impor senjata, pembatasan perdagangan barang-barang terkait nuklir, dan pembekuan aset-aset terkait Pemerintah Iran. Karena itu Iran menjaga pergerakan politik mereka agar tidak menambah berat sanksi. Inilah alat kontrol AS terhadap rezim Teheran.

 

Intervensi AS pada konflik Israel-Iran membuat tensi konflik mulai mereda. Apakah ini menunjukkan bahwa dominasi AS atas negara-negara Teluk itu nyata?

Hegemoni AS di kawasan Timur Tengah itu masih ada. AS masih jadi negara yang dominan secara kekuasaan di sana dibandingkan negara lain semisal Inggris atau Prancis. Lihat saja kunjungan terakhir Trump yang bisa menggondol uang sampai Rp 17 kuadriliun dari tiga negara Arab. Juga bagaimana sejumlah negara Arab mulai menormalisasi hubungan dengan entitas Yahudi. Lihat juga negara seperti Yordania dan Turki yang menservis militer AS dan pasokan logistik ke negara zionis. Semua tunduk pada kepentingan Gedung Putih.

 

Bagaimana masa depan Timur Tengah selanjutnya pasca konflik Israel-Iran?

Kondisi Israel bergantung pada dua hal: Pertama, rezim Netanyahu yang banyak mengalami tekanan di dalam negeri. Netanyahu makin tidak populer di mata warganya sendiri. Ini bisa menjatuhkan kekuasaannya. Banyak warga Israel yang menolak berperang baik karena trauma maupun karena persoalan internal IDF yang bermasalah seperti pelecehan seksual terhadap sesama personil militer. Kedua, keadaan Netanyahu juga ditentukan oleh daya tahan Trump di AS. Trump makin tidak populer. Makin banyak penentangan dari rakyatnya sendiri. Kalau Trump jatuh atau nanti Partai Republik kalah dalam Pilpres berikutnya bisa jadi ada perubahan gaya politik menjadi softpower. Kita tahu Partai Republik adalah garis keras kebijakan AS, sedangkan Partai Demokrat lebih suka gunakan cara softpower.

Namun, secara umum, kondisi tidak akan berubah drastis. AS akan mempertahankan hegemoninya di kawasan Timur Tengah, termasuk menggunakan Israel dan sekutu-sekutunya, untuk itu. Tak akan ada perubahan besar. Semua tetap dalam imperium AS, kecuali umat Muslim mau bangkit secara mandiri melawan hegemoni AS.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk membendung permainan AS?

Pertama, umat harus punya kesadaran politik yang jernih, obyektif, global dan Islam ideologis. Petaka di Timur Tengah, khususnya Palestina, bukanlah semata konflik regional atau antar bangsa. Ini adalah bagian dari agenda besar imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat, terutama AS. Maka dari itu, tempatkan AS sebagai musuh besar. Setan besar. Bukan sekutu.

Kedua, umat harus sadar mereka punya potensi kekuatan sebagai pemilik kekuasaan adidaya. Mereka harus menyatukan potensi tersebut dan membangun kekuataan untuk bisa melindungi diri dan semua kepentingan mereka.

Semua harus dilakukan dengan pijakan ideologi Islam. Bukan semata kemaslahatan atau paham kebangsaan. Faktanya, hanya Islam yang bisa menyatukan dan menguatkan umat ini. Maka dari itu, jadikan Islam sebagai ideologi kebangkitan.

 

Apakah itu berarti ada kaitannya dengan urgensi memperjuangkan institusi yang bisa mengokohkah persatuan umat Islam, yakni Khilafah?

Ya, tentu saja. Apalagi menegakkan kembali institusi Khilafah adalah perintah agama. Secara akidah dan syariah, umat sudah diperintahkan untuk bersatu dan bersaudara. Umat juga diminta untuk tidak memberikan loyalitas pada orang-orang kafir karena kebencian mereka pada umat ini begitu besar. Terbukti dalam genosida ini besarnya kebencian mereka pada kaum muslimin.

Menegakkan Khilafah adalah tâj al-furuud. Mahkota Kewajiban. Para ulama sudah bersepakat atas kewajiban ini. Mereka juga mengatakan bahwa Khilafah ini adalah penjaga urusan agama dan dunia.

Secara fakta, umat takkan bisa lepas dari malapetaka dan penderitaan ini tanpa persatuan dan tanpa kepemimpinan tunggal yang melindungi mereka. PBB, Liga Arab, OKI, dll, terbukti gagal, diam, dan tunduk pada kekuatan negara adidaya. Maka dari itum umat harus berpikir out of the box, juga sesuai syariah, bahwa hanya persatuan global di bawah Khilafah yang bisa melindungi dan menolong mereka.

WalLâhu a’lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × five =

Back to top button