
Kirgistan: Lepas dari Penggorengan Rusia, Masuk Bara Api Cina
Merespon kunjungan resmi Presiden Kirgistan Sadyr Japarov ke Cina (4-7 Februari 2025) atas undangan Presiden Cina Xi Jinping, Aktivis Hizbut Tahrir Mumtaz Transoksania menyatakan kecenderungan Kirgistan untuk beralih ke Cina agar dapat lepas dari cengkeraman Rusia. Ini ibarat mencari perlindungan dari penggorengan dengan masuk ke dalam bara api (lepas dari mulut buaya masuk mulut harimau).
“Kecenderungan Kirgistan untuk beralih ke Cina agar dapat lepas dari cengkeraman Rusia ibarat mencari perlindungan dari penggorengan dengan masuk ke dalam bara api,” ujarnya sebagaimana diberitakan alraiah.net, Rabu (19/2/2025).
Pasalnya, sebagaimana diberitakan Kantor Berita Cina Xinhua, jelang kunjungannya ke Cina, Japarov berbicara tentang hubungan yang berkembang antara kedua negara. Presiden Kirgistan menunjukkan perdagangan dengan Cina melebihi 22 miliar dolar pada tahun 2024, mengalami peningkatan 15% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebanyak 91% di antaranya adalah impor dan 9% adalah ekspor. Juga tentang pembangunan jalur kereta api Cina-Kirgistan-Uzbekistan yang telah dimulai. Hal itu dilakukan sebagai tindak lanjut dari perjanjian kerjasama strategis komprehensif Kirgistan dengan Cina yang ditandatangani pada 2023.
“Kita tidak boleh terkecoh dengan memperbaiki beberapa infrastruktur dan mulai melaksanakan beberapa proyek strategis, karena proyek-proyek ini akan meningkatkan ketergantungan kita pada Cina,” ujarnya.
Ketergantungan ini, jelas Mumtaz, menimbulkan ancaman serius terhadap masa depan negara dan rakyat Muslimnya. Namun, Kirgistan membuka pintunya bagi Cina dengan imbalan hibah dan pinjaman dari Cina.
Apalagi, jelasnya, Cina telah terlibat dalam penjajahan budaya terhadap kaum Muslim (Uighur) di Turkestan Timur (Xinjiang) selama beberapa dekade sebelum mulai menindas mereka.
“Oleh karena itu, kita harus menolak perjanjian-perjanjian yang merugikan kepentingan umat, dan menolak kebijakan agresif Cina di kawasan ini,” tegasnya.
Ia juga menyadari, perlawanan ini tidak akan efektif apabila tidak dilandasi oleh prinsip-prinsip Islam. Sebabnya, perlawanan yang dilandasi oleh rasa nasionalis dan patriotisme bersifat sementara dan tidak akan mampu bertahan terhadap rezim yang berkuasa saat ini.
“Kita juga harus berhati-hati agar tidak tertipu oleh tipu daya Barat dan melayani kebijakannya dalam menentang kebijakan agresif Cina. Karena itu, kita tidak akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengan berjuang di barisan orang-orang yang berjihad untuk menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah, melalui tegaknya Khilafah Rasyidah ‘alâ minhâj an-Nubuwah,” pungkasnya. [Joy dan Tim]





