
Memimpin Masa Depan
Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 18 Maret 2025 mengalami Trading Halt (penghentian sementara). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 7% lebih menjadi posisi 6018,39. “Pangan adalah yang paling utama, ya. Harga saham boleh naik-turun. Pangan aman negara aman,” kata Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan merespon kondisi IHSG (21 Maret 2025).
Apa yang disampaikan Presiden ada benarnya. “Kata Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan sebanyak 43,3%. Nah, mereka ini tidak ada hubungannya dengan harga saham. Saham itu apa, belum tentu paham. Yang mereka paham adalah harga telur, cabai dan ongkos pada naik,” kata Mas Nur.
Saya sampaikan bahwa memang IHSG ini lebih merupakan permainan sentimen atau permainan persepsi. “IHSG naik biasanya mencerminkan sentimen positif dari para investor (pemain saham) terhadap stabilitas politik dan mereka yakin akan masa depan ekonomi. Para pemegang saham saat merasa lebih kaya, mereka membeli saham untuk investasi. Gejolak harga saham menggambarkan adanya gejolak politik,” saya berkomentar.
“Lho, kalau begitu IHSG anjlok tidak selalu bermasalah, dong?” tanya Mas Nur.
Saya sampaikan, “Itu indikator utama kondisi ekonomi makro suatu negara. Ini sebenarnya tidak mencerminkan kondisi ekonomi real. Namanya juga saham. Itu non-real.”
Jangan heran, misalnya, ketika Presiden terpilih tidak disukai investor, harga saham anjlok. Sebaliknya, jika Presiden terpilih disukai investor maka harga saham naik. Ketika program makan bergizi gratis dianggap berbiaya mahal, harga saham turun. Saat UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) disahkan dan investor khawatir, IHSG pun turun. Penentunya lebih pada sentimen politik, bukan ekonomi sebenarnya.
“Iya ya, permainan sentimen. Mirip judi ya. Judi raksasa,” ujar Mas Nur lagi.
“Persoalannya adalah mengapa kok yang kayak gitu dijadikan indikator utama,” Mas Darma nimbrung.
“Karena tolok ukurnya bukan Islam, Islam melarang ekonomi non-real seperti riba dan bursa saham. Yang sekarang diterapkan adalah Kapitalisme-sekularisme, Bro,” sanggah Mas Nur serius.
“Jadi, penentunya adalah sistemnya,” ujar Mas Darma.
Bicara sistem sekularisme, berarti Islam dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan negara. Dalam sistem sekuler, para pejabat dipilih untuk menerapkan aturan/hukum yang dibuat oleh manusia. Aturan itu namanya undang-undang. Ketika bicara tentang undang-undang yang sumbernya adalah otak manusia, maka yang dominan di situ adalah kepentingan. Jelas, sistem penting sekali.
Bukan hanya dalam masalah IHSG, kebolehan TNI aktif menjabat jabatan sipil yang sekarang sedang heboh menjadi perbincangan publik, juga dipengaruhi oleh sistem.
“Saya berpikir begini, Ustadz. Katakan saja, Menteri Kelautan dan Perikanan berasal dari TNI aktif. Pada satu sisi, Pak Menteri terikat kementeriannya. Namun, pada sisi lain tidak dapat lepas dari sistem komando yang ada di TNI. Pasti ada kepentingan di sini. Ada conflict of interest. Bukan begitu?” Mas Nur berpendapat.
“Hal yang sama terjadi juga jika yang menjadi menterinya dari polisi aktif, dong” sambung Mas Darma.
“Tapi, dulu para Sahabat Rasulullah saw. adalah mujahid, mereka turut berperang. Dengan kata lain, mereka tentara,” sahut Pak Ahmad berpartisipasi. Beliau melanjutkan, “Tidak sedikit di antara mereka menjadi pejabat. Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali malah menjadi khalifah. Amru bin ‘Ash menjadi wali (gubernur) di Mesir. Muadz bin Jabal menjadi qâdhi di Yaman. Semua tidak ada masalah. Bagaimana itu?”
Mas Nur mendahului menjawab, “Itulah Om Ahmad. Sistemnya yang beda. Para Sahabat Rasulullah saw. itu ketika menjabat tidak terikat dengan institusi ketentaraan atau kepolisian. Mereka hanya satu kedudukan: pejabat publik. Mereka fokus mengurusi rakyat dengan syariah Islam. Tidak ada sistem komando tentara atau polisi yang mengintervensi jabatannya.”
Mas Darma menyahut pendek, “Memang beda. Tidak ada conflict of interest.”
Dari situ, terlihat pentingnya perubahan. Bukan sekadar perubahan aktor, melainkan juga perubahan sistem.
Berbicara perubahan dalam konteks aktor atau pelaku, diperlukan aktor yang dapat memimpin diri sendiri, di samping memimpin orang lain. Memimpin diri sendiri dan orang lain, keduanya merupakan hal biasa. Ada skill lain yang diperlukan oleh seorang aktor/pelaku, yakni memimpin perubahan itu sendiri. Bahkan bukan sekadar memimpin perubahan melainkan juga memimpin masa depan. Langkah paling logis untuk memimpin masa depan adalah dengan cara menciptakan atau merancang masa depan. Bicara masa depan adalah kehidupan Islam. Sayyid Quthub menjelaskan hal ini dalam bukunya yang populer, Al-Mustaqbal li Hâdzâ ad-Dîn (Masa Depan Milik Islam). Kata kuncinya adalah perjuangan.
Dalam konteks sistem, perubahan ke arah Islam merupakan suatu keniscayaan. “Karena itu, jangan sekuler. Aturannya harus hukum syariah Islam,” ungkap Mas Nur. “Kalau kita beli motor merek tertentu, maka manual book-nya harus dari motor merek tersebut. Tidak akan jalan apabila manual book yang digunakan adalah manual book untuk kulkas,” tambahnya. “Kita ini manusia yang diciptakan oleh Allah SWT. Pastilah, pengaturan hidup manusia haruslah didasarkan pada manual book yang berasal dari Allah SWT. Itulah wahyu: Al-Quran dan Sunnah,” tambahnya.
Perubahan tidak datang secara instan dibawa oleh malaikat dari langit. Perubahan harus diperjuangkan. Allah SWT berfirman dalam al-Quran Surat Ar-Ra’du ayat 11 yang maknanya: Bagi dia (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertai dirinya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaga dia atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Jika Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (TQS ar-Ra’du [13]: 11).
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].