
Pembuka Pintu Kebaikan dan Penutup Keburukan
Ramadhan yang dinanti-nanti telah tiba. Inilah momentum mendekatkan umat lebih dekat pada Islam. Inilah juga momentum perjuangan untuk menutup pintu-pintu keburukan dan membuka pintu-pintu kebaikan. Ramadhan adalah syahr al-Qur’ân. Bulan ini selayaknya menyadarkan umat akan kefardhuan penegakan hukum-hukum al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan lintas zaman (lihat: QS al-Baqarah [2]: 185). Pada bulan ini pun setan dan keburukan terbelenggu. Rasulullah saw. bersabda:
Jika telah datang Ramadhan maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu (HR Muslim).
Makna shuffidat asy-syayâthîn secara hakiki bermakna setan dari golongan jin dibelenggu sehingga tak bebas mengganggu manusia. Adapun secara majâzî (kiasan) frasa tersebut bermakna upaya setan dari golongan jin untuk menyesatkan dan menggoda manusia terhalang dan pintu-pintu keburukan tertutup.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam Fath al-Bârî (IV/114) menukil uraian Al-Hafizh al-Qurthubi setelah menguatkan pendapat yang memaknai zhâhir hadis ini, yakni bahwa jika dikatakan mengapa kita masih sering melihat berbagai kejahatan dan kemaksiatan terjadi pada Bulan Ramadhan, sementara setan-setan telah dibelenggu, yang semestinya hal itu tak pernah terjadi? Jawabannya adalah bahwa kejahatan dan kemaksiatan itu berkurang jumlahnya dari orang-orang shaum yang benar-benar memelihara syarat dan adabnya. Adapun yang dibelenggu itu hanya sebagian dari golongan setan, yaitu yang ingkar saja, dan bukan keseluruhan dari mereka. Kalaupun seluruh setan dibelenggu, maka bukan berarti tak mungkin terjadi keburukan. Sebabnya, keburukan ditimbulkan oleh sebab-sebab lain selain setan, semisal nafsu jahat, kebiasaan buruk dan setan berwujud manusia.
Menariknya, Rasulullah saw. menyerupakan ibadah shaum dengan junnah (perisai) dari siksa api neraka. Ini karena ibadah shaum yang ditegakkan menjadi sebab ampunan Allah dan menghalangi manusia dari berbuat keburukan. Rasulullah saw. bersabda:
Tuhan kita ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Puasa adalah perisai. Dengan perisai ini seorang hamba membentengi diri dari api neraka. Shaum itu untuk Diri-Ku. Akulah Yang akan membalasnya.” (HR Ahmad).
Kalimat “yastajinnu bihâ al-‘abdu min an-nâr” (dengan shaum itu seorang hamba membentengi diri dari api neraka) bisa dipahami secara majâzî bahwa dengan menegakkan ibadah shaum, seseorang terhindar dari keburukan yang bisa menyebabkan dirinya mendapatkan siksa api neraka. Keburukan apa? Keburukan pribadi orang yang menegakkan ibadah shaum, ditunjukkan lafal al-‘abd (seorang hamba) pada frasa yastajinnu bihâ al-‘abd.
Mewujudkan Perisai
Namun demikian, untuk mengunci rapat ragam keburukan yang sifatnya komunal dan sistemik, semisal fenomena masyarakat yang berbuka pada siang hari Ramadhan secara terang-terangan tanpa ‘udzr syar’i, masyarakat yang menyebarkan ideologi-ideologi yang menyimpang dari Islam, dan banyak lainnya, maka hal ini membutuhkan sistem kepemimpinan Islam dan peranan Al-Imâm (Khalifah) yang juga disifati Rasulullah saw. sebagai pelindung bagi golongan manusia. Nabi saw. bersabda:
Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang mendukung dirinya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muttafaqun ’alayhi).
Hadis ini menyerupakan kedudukan Imam/Khalifah (pemimpin umat) sebagai junnah (perisai umat) dalam bentuk tasybîh balîgh (penyerupaan sangat kuat). Ini yang ditegaskan oleh para ulama sebagai perisai dari segala keburukan. Bukan sekadar karena kokohnya kepribadian Islam pada diri seorang imam/khalifah, melainkan didukung oleh sistem kepemimpinan Islam yang meniscayakan tampilnya Islam mengatur kehidupan. Al-Hafizh an-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh Muslim (XII/230) menyatakan:
Sabda Rasulullah saw. ”Al-Imâm junnah,” yakni seperti as-sitr (pelindung). Hal ini karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum Muslim dan mencegah sesama manusia (dari saling melakukan kezaliman), memelihara kemurnian ajaran Islam; rakyat berlindung kepada dirinya dan mereka tunduk pada kekuasaannya.
Fungsi junnah atas keburukan komunal dan sistemik ini ditunjukkan oleh Rasulullah saw. dalam hadis dari Hudzaifah bin Yaman ra. yang berkata:
Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?” Beliau menjawab, “Ya. Kaum yang menyeru di pintu-pintu Jahanam. Siapa saja yang memenuhinya akan terhempas ke dalamnya.” Aku berkata, “Tolong gambarkan kaum itu kepada kami, ya Rasulullah.” Beliau menjawab, “Orang-orang dari kulit kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa saran Anda kalau aku mendapati yang demikian?” Beliau menjawab, “Tetaplah berpegang teguh pada jamaah kaum Muslim dan imam mereka.” (HR Muttafaqun ’alayh).
Rasulullah saw. menjadikan jamaah kaum Muslim dan pemimpin mereka sebagai solusi menghadapi para penyeru kesesatan dan kebatilan yang menjerumuskan umat manusia ke dalam siksa neraka Jahanam. Ini menunjukkan bahwa mengatasi kejahatan komunal dan sistemik membutuhkan peranan junnah dari sosok al-imâm (khalifah) dengan sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) yang ia tegakkan.
Jamâ’at al-muslimîn dalam hadis di atas esensinya menunjukkan persatuan kaum Muslim dalam satu ikatan akidah Islam dan satu sistem kepemimpinan Islam dalam satu komando seorang al-imâm. Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264), ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2] ayat 30, menegaskan: “Ayat ini adalah dalil pokok pengangkatan imam dan khalifah yang wajib didengar dan ditaati perintahnya untuk menyatukan suara kaum Muslim dan menerapkan hukum-hukum khalifah.”
Al-Imam Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) dalam Hujjatullâh al-Bâlighah (II/232) menyatakan:
Saya berpendapat bahwa Rasulullah saw. memposisikan Imam (Khalifah) pada kedudukan sebagai junnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan kalimat kaum Muslim dan perlindungan mereka.”
Menjadi Tangan Pembuka Kebaikan dan Penutup Keburukan
Beruntunglah mereka yang bergerak menjadi tangan-tangan pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan. Mereka bahkan mengunci pintu-pintu itu rapat-rapat dengan menegakkan sistem kepemimpinan Islam, yang membersihkan umat dari sistem kehidupan liberalistik-sekularistik yang menjadi pintu beragam keburukan. Dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah saw. bersabda:
Sungguh ada di antara manusia yang menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. Sungguh di antara manusia ada pula yang menjadi penutup kebaikan dan pembuka keburukan. Beruntunglah siapa saja yang Allah jadikan kedua tangannya sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan. Celakalah orang yang Allah jadikan kedua tangannya sebagai pembuka pintu-pintu keburukan.” (HR Ibn Majah dan al-Baihaqi).
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]