Soal Jawab

Hukum Memagari Laut


Soal:

Kasus pemagaran laut terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Bagaimana hukum Islam memandang kasus ini? Bagaimana status kepemilikan laut? Bolehkah laut dimiliki oleh pribadi atau korporasi dan dipagari?

 

Jawab:

Untuk menjelaskan kasus ini kita harus melihat status kepemilikan laut dan pantai. Masing-masing berbeda status kepemilikannya. Laut termasuk dalam kepemilikan umum, sedangkan pantai termasuk dalam kepemilikan negara.

Dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah disebutkan, bahwa harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Asy-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) bagi kaum Muslim, dan dijadikan sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, namun dilarang untuk dimiliki secara pribadi.

Jenis-jenis harta ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

  • Sarana (fasilitas) umum yang diperlukan oleh seluruh kaum Muslim dalam kehidupan sehari-­hari.
  • Harta yang kondisi asalnya tidak boleh dimonopoli oleh individu tertentu untuk memilikinya.
  • Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tidak terbatas.

Ketiga jenis harta ini beserta cabang-cabangnya dan hasil pendapatan yang diperoleh dari ketiganya merupakan milik kaum Muslim. Mereka sama-sama berhak atas harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah, sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syariah, boleh mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim dalam rangka mewujudkan kemaslahatan Islam dan umatnya.

Jenis pertama mencakup sarana (fasilitas) umum untuk seluruh kaum Muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Jika sarana (fasilitas) umum tidak ada, atau tidak tersedia, maka bisa menyebabkan terjadinya konflik di antara mereka. Seperti air, misalnya, Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat-sifat sarana (fasilitas) umum ini secara rinci dan sempurna:

«اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْمَاءِ وَالكَلاءِ والنَّارِ»

Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

 

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. bersabda:

«اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ وَالْكَلَا وَالنَّارِ»

Manusia berserikat [sama-sama membutuhkan] dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Ibn Majah).

 

Abu Hurairah ra. menyatakan bahwa Nabi saw. telah bersabda:

«ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأ وَالنَّارُ»

Ada tidak hal yang tidak terlarang peng­gunaannya: air, padang rumput, dan api (HR Ibn Majah).

 

Hadis senada juga telah diriwayatkan dari Rasulullah saw.:

« اَلْمُسْلِمُ أَخُوا الْمُسْلِمِ, يَسْعَهُمَا الْمَاءُ وَالشَّجَر»

Muslim itu bersaudara satu sama lainnya. Mereka bersama-sama leluasa [untuk mendapatkan] air dan pepohonan (HR Abu Dawud).

 

Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan oleh Rasulullah saw. untuk seluruh manusia. Mereka sama-sama membutuhkan semua itu. Mereka dilarang untuk memiliki bagian apapun dari sarana umum tersebut karena itu merupakan hak seluruh kaum Muslim. Mereka boleh untuk mengambil dan memanfaatkan kepemilikan umum tersebut.

Harta ini tidak terbatas pada ketiga jenis yang disebutkan di dalam hadis-hadis di atas, tetapi meliputi setiap benda yang di dalamnya memiliki sifat-sifat sarana (fasilitas) umum. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

«اَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ وَالْكَلَا وَالنَّارِ»

Manusia berserikat [sama-sama membutuhkan] dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Ibn Majah).

 

Karena itu Rasulullah saw. telah membiarkan orang-orang di Khaibar dan Thaif memiliki sumur pribadi. Mereka minum dari sumur tersebut. Mereka memberikan minum hewan dan ternak mereka serta menyirami kebun-kebun mereka dari sumur-sumur tersebut. Rasulullah saw. tidak melarang mereka memiliki sumur tersebut. Ini karena sumur tersebut ukurannya kecil dan bukan merupakan sarana (fasilitas) umum.

Dengan cara menggabungkan kedua jenis hadis ini, yakni hadis yang melarang kepemilikan umum dikuasai oleh individu, dan hadis yang membolehkan individu memiliki sumur pribadi, maka tampak jelas, bahwa air itu, jika berhubungan dengan sarana (fasilitas) umum, maka menjadi milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Jika keadaan airnya sedikit dan tidak berhubungan dengan fasilitas umum maka boleh dimiliki secara pribadi.

Apa yang disebut sarana (fasilitas) umum adalah sarana (fasilitas) yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jika sarana ini hilang maka orang akan berusaha mencari dan berebut untuk mendapatkannya. Pada masa lalu, setiap kabilah bisa berperang karena memperebutkan sumber air atau padang gembalaan untuk hewan dan ternak mereka. Karena itu apa saja yang terkait dengan sarana umum, yang dibutuhkan dalam kehidupan, tidak boleh dikuasai individu maupun korporasi, kecuali oleh negara.

Demikian juga industri gas alam dan batubara termasuk kepemilikan umum, sesuai dengan sifat dari gas alam dan batubara yang merupakan milik umum. Sebabnya, keadaannya merupakan barang tambang yang depositnya tidak terbatas. Adapun barang tambang yang tidak terbatas, api (energi) dan sumber air yang melimpah, merupakan bagian dari kepemilikan umum, yang tidak boleh dikuasai atau dimonopoli oleh pribadi maupun korporasi.

Adapun jenis kedua harta milik umum adalah harta yang keadaan asal pembentukannya tidak boleh dimonopoli oleh individu. Kepemilikan umum jenis ini, jika berupa sarana umum, maka seperti kepemilikan jenis yang pertama. Karena itu dalilnya adalah dalil yang mencakup sarana (fasilitas) umum. Bedanya, jenis yang kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh seseorang. Berbeda dengan jenis yang pertama, yang asal pembentukannya tidak menghalangi untuk dimiliki oleh seseorang, sehingga boleh dimiliki secara pribadi. Contoh seperti sumur kecil yang tidak mengganggu hajat hidup orang banyak.

Untuk jenis yang kedua ini dalilnya bisa dikembalikan pada sabda Rasulullah saw.:

«مِنىَ مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ»

Mina itu menjadi tempat bagi siapa saja yang lebih dulu sampai di sana (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Ini seperti shaf shalat di masjid, baik di Masjid Nabawi, Masjidil Haram, atau tempat umum yang lainnya. Demikian juga hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. saat beliau mengizinkan orang sama-sama memanfaatkan jalan umum, dan menghilangkan potensi untuk dimiliki oleh seseorang. Mina adalah padang di luar Kota Makkah, yang terletak di antara lereng dua gunung. Ini merupakan tempat yang sudah sangat terkenal. Tempat para jamaah haji melakukan mabit setelah melaksanakan wukuf di Arafah dengan tujuan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji yang sudah ditentukan, seperti melontar jumrah, menyembelih hewan (hadyu), memotong hewan kurban dan bermalam (mabit) di sana.

Makna dari lafal “munâkhun” bagi orang-orang yang lebih dulu sampai di sana adalah Mina. Mina merupakan milik kaum Muslim, yang lebih dulu sampai di sana, sehingga tidak boleh dikapling oleh individu. Siapa saja yang lebih dulu sampai di Mina, lalu menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya, karena Mina merupakan milik bersama kaum Muslim dan bukan milik perorangan. Demikian pula dengan jalan raya atau jalan umum. Rasulullah saw. menyatakan bahwa manusia berserikat atas jalan umum. Artinya, mereka berhak untuk berjalan di atasnya. Karena itu Rasulullah saw. melarang duduk-duduk di jalanan sebagaimana dalam sabdanya:

«إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطَّرِقَاتِ»

Kalian semua dilarang duduk-duduk di jalan (umum) (HR Abu Dawud).

 

Duduk-duduk di jalanan sama dengan menghalangi orang lain berlalu-lalang atau mempersempit ruang gerak mereka.

Memperhatikan fakta tentang Mina dan fakta jalan umum, jelas bahwa kondisi asal pembentukannya menghalangi untuk dikuasai dan dimiliki oleh seseorang. Mina adalah tempat singgah jamaah haji untuk melaksanakan sebagian syi’ar-syi’ar ibadah haji sehingga menurut asal pembentukannya adalah tempat bagi seluruh kaum Muslim. Ini jelas menghalangi untuk dikuasai oleh seseorang atau beberapa orang.

Harta milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh kaum Muslim. Mereka semuanya mempunyai hak yang sama atas milik tersebut. Artinya, setiap individu rakyat berhak untuk mendapatkan manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya. Tidak ada bedanya apakah laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang shalih ataupun orang jahat. Semuanya mempunyai hak yang sama.

Hanya saja, pemanfaatan harta milik umum ini tidak sama. Ada yang sangat mudah dimanfaatkan secara langsung maupun dengan menggunakan alat. Ada pula yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung. Jenis pertama, seperti air, padang rumput, api, jalan-jalan umum, laut, sungai, danau dan terusan (kanal) yang besar, bisa dimanfaatkan seseorang secara langsung. Memanfaatkan sumur, mata air dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk (keperluan) hewan serta ternak-ternaknya bisa dilakukan secara langsung.

Karena itu, para penggembala juga dapat menggembalakan hewan dan ternaknya di padang-padang rumput. Tukang pengumpul kayu boleh mengambil kayu di hutan. Seseorang juga boleh memasang alat (hidran) pengatur air di sungai yang besar untuk keperluan menyirami tanaman dan pohon-pohon miliknya. Karena sungai yang besar, terbuka luas bagi seluruh manusia sehingga pemasangan alat-alat tertentu di atasnya tidak akan membawa kerusakan bagi seorang pun dari kaum Muslim. Setiap orang dapat memanfaatkan jalan umum, laut, sungai dan kanal, seperti Terusan Suez. Dia berhak berjalan di jalan-jalan umum, menggunakan hewan tunggangan maupun kendaraannya. Dia juga berhak berlayar di lautan, sungai dan kanal dengan menggunakan kapalnya. Hal ini tidak akan membawa kerusakan bagi siapapun, juga tidak mempersempit gerak seseorang untuk berlalu-lalang di jalan-jalan umum, berlayar dengan aman dan bebas di lautan, sungai maupun kanal.

Jenis kedua dari harta milik umum adalah yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung dan memerlukan usaha keras dan biaya untuk dikeluarkan, seperti minyak bumi, gas dan barang-barang tambang. Untuk itu negaralah yang mengambil-alih penguasaan eksploitasinya, mewakili kaum Muslim. Pendapatannya dimasukkan ke Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya, sesuai dengan ijtihadnya, berdasarkan hukum-hukum syariah, demi mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.

Dari uraian di atas, jelas bahwa laut merupakan harta milik umum. Tidak boleh diprivatisasi, baik oleh individu maupun korporasi. Satu-satunya yang berhak mengatur dan mengelola laut adalah negara. Itu pun demi kemaslahatan publik. Karena itu hukum memagari laut jelas diharamkan. Tindakan ini menghalangi orang untuk memanfaatkan, mencari ikan dan lalu-lalang di atasnya.

Adapun status pantai, termasuk bantaran sungai, adalah harta milik negara. Karena harta milik negara, negara berhak mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ijtihadnya, tetapi tetap memperhatikan kepentingan publik. Adapun pantai buatan hasil reklamasi, dengan menguruk laut dengan pasir, maka sebelumnya adalah lautan, yang diuruk. Tindakan ini bisa menyebabkan naiknya permukaan air laut, dan menurunnya permukaan bumi, sehingga bisa menyebabkan terjadinya banjir dan tenggelamnya kawasan yang berdekatan dengan laut.

Melihat fakta ini, maka kebijakan reklamasi ini bisa membahayakan kepentingan publik, apalagi kebijakan ini untuk kepentingan bisnis individu atau korporasi. Karena itu kebijakan seperti ini hukumnya haram, dan harus dihentikan. Belum lagi, wilayah ini bisa dimanfaatkan oleh kepentingan asing untuk menguasai negeri kaum Muslim, setelah wilayahnya dikepung dari berbagai penjuru pantai.

Pada zaman Islam, justru wilayah pesisir pantai ini dijadikan sebagai Ribâth (tempat berjaga), menjaga kedaulatan wilayah dari serangan asing. Bahkan di Indonesia, banyak pesantren didirikan oleh para ulama di pesisir pantai, selain untuk menjadi wadah mendidik umat, juga menjadi tempat penggemblengan, sekaligus Ribâth di jalan Allah. Ini sebagaimana Hadis Nabi saw.:

«عَينَانِ لَا تَمَسَّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ , وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ»

Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga [melek] untuk berjaga di jalan Allah (HR at-Tirmidzi).

 

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

  • Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadits no. 3477; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, hdits no. 23132, dari Abdullah bin ‘Umar.
  • Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, dari Abdullah bin ‘Abbas.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + seventeen =

Back to top button