
Simbol
+: “Mengapa HTI selalu bawa-bawa al-Liwa dan ar-Rayah dalam setiap kegiatannya?”
-: “Habis, tak ada yang mau bawa-bawa…”
++++
Itu jawaban saya tiap kali ditanya tentang mengapa HTI selalu bawa-bawa al-Liwa dan ar-Rayah dalam setiap kegiatannya, khususnya kegiatan di luar ruangan (out door activity), seperti masîrah atau demo, muktamar, konferensi dan sebagainya. Tentu ini jawaban setengah bercanda, meski faktanya memang begitu. Bukankah memang hanya HTI, sebelumnya tidak ada kelompok atau organisasi, yang secara intens mengenalkan al-Liwa dan ar-Rayah ke hadapan publik?
Al-Liwa dan ar-Rayah merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-‘Alam (bendera). Al-Liwa, dinamakan pula ar-Rayah al-‘Âzhimah (Panji Agung). Dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin. Bendera ini tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (Amiru al-Jaisy), yakni Khalifah atau orang yang menerima mandat dari Khalifah.
Ar-Rayah, berdasar hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah, dinamakan pula al-‘Uqab. Ukurannya lebih kecil daripada al-Liwa. Digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan atau satuan-satuan pasukan (katâ’ib). Tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan.
Al-Liwa dan ar-Rayah bukan sekedar bendara. Secara syar’i, keduanya dikabarkan dalam beberapa hadis shahih atau minimal hasan. Dalam hadis riwayat Imam at-Tirmidzi, misalnya, disebutkan Rayah Rasulillah saw. berwarna hitam dan Liwa-nya putih. Dalam hadits riwayat Imam Nasa’i dengan redaksi yang berbeda, disebutkan bahwa Nabi saw. memasuki Makkah dan Liwa-nya putih. Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, ath-Thabarani, Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ya’la. Dalam hadis riwayat ath-Thabrani dari Ibnu Abbas ra. disebutkan bahwa Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa-’nya berwarna putih, tertulis di dalamnya “Lâ Ilâha IllalLâh Muhammad RasûlulLâh”.”
Para ulama dalam banyak kitab telah mengulas al-Liwa dan ar-Rayah berikut karakteristik, kedudukan dan fungsinya yang sangat istimewa itu. Di antaranya, Imam al-Bukhari dalam Shahîh-nya menulis sub bab “Mâ Qîla Liwâ’u an-Nabi?” Ibnu Majah dalam Sunan-nya menulis secara khusus “Bâb ar-Râyah wa al-Liwâ”. Imam at-Tirmidzi, juga dalam Sunan-nya, menuliskan sub bab “Mâ Jâ’a fî Râyah”, dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya menulis sub bab “Dzikru Wisfa’i Liwâ’ al-Musthafâ ‘inda Dukhûl al-Makkah Yawma al-Fathi”. Jelaslah, al-Liwa dan ar-Rayah menempati posisi yang agung sebagai simbol dalam kehidupan umat Islam sejak masa Rasulullah saw.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti simbol atau lambang adalah sebagai tanda yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Salah satu fungsi penting simbol adalah merepresentasikan suatu konsep atau ide, yang sulit untuk diungkapkan dalam kata-kata, seperti simbol matematika yang digunakan untuk merepresentasikan operasi matematika. Simbol juga digunakan untuk memudahkan komunikasi antar individu atau kelompok yang memiliki bahasa atau budaya yang berbeda. Simbol dapat membantu orang untuk memahami pesan atau informasi tanpa harus menggunakan bahasa lisan. Simbol juga pada umumnya digunakan sebagai identitas suatu kelompok, organisasi atau negara. Misalnya, bendera nasional yang digunakan untuk menandai identitas suatu negara; dalam bisnis, simbol bisa digunakan sebagai metode pemasaran produk dengan meningkatkan daya tarik suatu produk atau merek, atau untuk membedakan produk atau merek dari pesaing. Simbol mampu menyampaikan pesan simbolik yang memiliki makna yang lebih dalam. Contohnya gambar hati sebagai simbol cinta atau kasih sayang.
Jika demikian, lantas apa fungsi al-Liwa dan ar-Rayah sebagai sebuah simbol? Setidaknya ada empat makna yang sangat penting. Pertama: Memberikan gambaran inti dari risalah Islam. Apa yang tertulis dalamnya, yakni kalimat Lâ Ilâha iIlalLâh Muhammad RasûlulLâh adalah inti risalah Islam. Dari sana terpancar keimanan pada perkara lain, seperti iman kepada kenabian Muhammad, pada al-Quran sebagai kalamullah, pada Hari Akhir serta pada Qadha dan Qadar.
Kedua: Sebagai pemersatu umat. Sesama Muslim, yakni siapa saja yang mengimani kalimat tauhid adalah bersaudara; apapun suku, bangsa ras dan bahasanya. Inilah persaudaraan universal yang diikat oleh kesamaan aqidah. Di bawah kalimat itulah sesama Muslim sebagai saudara saling membantu, melindungi, mendukung dan membela. Bukan sebaliknya.
Ketiga: Sebagai spirit dan arah perjuangan. Perjuangan atau dakwah Islam adalah untuk menyeru umat manusia hingga mereka mengimani Allah. Lalu tunduk pada segenap Syariah-Nya secara kâffah. Dakwah Islam bukanlah perjuangan untuk menghegemoni apalagi mengeksploitasi manusa dan sumber kekayaannya, tetapi merupakan ikhtiar untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Tuhan manusia.
Keempat: Sebagai identitas umat Islam. Awalnya, ar-Rayah adalah panji-panji perang dan al-Liwa simbol kepemimpinan umum. Namun, dalam perkembangannya, keduanya kemudian menjadi sebagai simbol identitas dan pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayyi al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera. Jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, dalam hal ini umat Islam di bawah bendera tauhid, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtimâ’ kalimatihim), juga tanda persatuan hati mereka (ittihâd qulûbihim).
Demikianlah yang terjadi. Dalam Perang Mu’tah, misalnya, yang terjadi pada 8 H atau 629 M, saat pasukan Islam yang berjumlah sekitar 3000 harus melawan 200.000 pasukan Kekaisaran Bizantium, ar-Rayah memberikan arti yang sangat penting. Kisahnya amat dramatis.
Sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Hisyam dalam Sîrah-nya, Nabi saw., yang tidak turut dalam perang itu, menunjuk Zaid bin Haritsah ra. sebagai panglima. Beliau sekaligus berpesan: Jika Zaid gugur, ia digantikan Ja’far bin Abu Thalib. Jika Ja’far gugur, ia digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Jika ketiganya gugur, Nabi saw. berpesan panglima perang berikutnya dipilih langsung oleh pasukan.
Di daerah Mu’tah (kini masuk dalam wilayah Yordania), terjadilah pertempuran dahsyat itu. Meski kalah jumlah, pasukan Islam tak gentar. Mereka berperang dengan tangkas dan penuh semangat. Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang, setelah bertempur dengan gigih akhirnya syahid. Ketika ia syahid, sebelum ar-Rayah yang ia pegang menyentuh tanah, segera direbut oleh Ja’far bin Abi Thalib. Sesuai pesan Nabi saw., ia menjadi panglima perang menggantikan Zaid. Ia juga bertempur dengan penuh semangat. Sampai tiba saat tangan kanannya yang memegang ar-Rayah ditebas lawan, tetapi tangan kirinya segera menggantikan memegang ar-Rayah. Tak menunggu lama, lawan yang terus merangsek, menebas pula tangan kirinya. Namjun, Ja’far tak membiarkan ar-Rayah itu jatuh. Ia peluk ar-Rayah dengan tubuhnya yang tak lagi bertangan. Ja’far akhirnya benar-benar syahid setelah tubuhnya ditebas oleh pedang lawan. Sehebat itu Ja’far mempertahankan ar-Rayah sehingga kelak di surga Ja’far dihadiahi oleh Allah dua sayap. Ia dijuluki Dzul Janahayn (Pemilik Dua Sayap).
++++
Alhasil, penting sekali mengenalkan al-Liwa dan ar-Rayah kepada umat agar umat bisa menyerap empat substansi penting tersebut. Makin kokoh pemahaman umat akan empat substansi penting itu, makin kokoh pula citra diri mereka sebagai kaum Muslim. Tidak seperti sekarang, citra diri umat kabur. Hampir tak ada bedanya dengan mereka yang bukan Muslim. Akibatnya, meski jumlah umat kini sangat banyak, nasib mereka masih sangat memprihatinkan. Na’ûdzubilLâh min dzâlik. [H.M. Ismail Yusanto]