
Laut Haram Dikuasai Oligarki
Pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, telah memicu kontroversi besar, terutama terkait dampaknya terhadap masyarakat pesisir dan legalitas proyek tersebut. Pagar laut ini membentang sepanjang 30,16 kilometer, melintasi 16 desa di 6 kecamatan, yaitu Teluk Naga, Kosambi, Mauk, Kronjo, Pakuhaji, dan Sepatan.
Salah satu dampak paling nyata dari keberadaan pagar laut adalah hilangnya akses nelayan ke wilayah tangkapan ikan yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan mereka. Dengan adanya pagar, nelayan terpaksa mencari lokasi penangkapan yang lebih jauh, meningkatkan biaya operasional seperti bahan bakar dan waktu melaut. Kalaupun ada celah, kapal mereka tetap berisiko mengalami kerusakan. Ujungnya, pendapatan mereka menurun. Berdasarkan data dari kelompok nelayan setempat, tangkapan ikan mereka menurun hingga 80% sejak pagar laut dibangun, terutama karena hilangnya area penangkapan ikan yang strategis dan terganggunya pola migrasi ikan.1
Selain itu, pada akhirnya terungkap bahwa proyek tersebut tidak memiliki legalitas. Pembangunan pagar laut ini dilakukan tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), yang merupakan persyaratan wajib bagi setiap proyek di perairan laut sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Proyek ini juga tidak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), yang berpotensi menyebabkan kerusakan ekosistem laut yang tidak terkendali. Tanpa dokumen-dokumen ini, keberadaan pagar laut dapat dikategorikan sebagai proyek ilegal yang melanggar regulasi tata ruang dan lingkungan.
Persoalan semakin kompleks dengan penemuan 263 bidang tanah di kawasan pagar laut yang telah diberi sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Dari jumlah tersebut, 234 bidang dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, 20 bidang oleh PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perorangan. Ditemukan pula 17 bidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Kritik terhadap proyek ini semakin menguat setelah muncul dugaan bahwa pagar laut ini berhubungan erat dengan ekspansi proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), yang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group (ASG) dan Salim Group. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa PT Intan Agung Makmur yang memiliki sertifikat di atas terkait dengan ASG. Berbagai laporan masyarakat menyatakan bahwa kaki tangan perusahaan properti tersebut terlibat secara aktif dalam mendukung pembangunan pagar tersebut serta terlibat dalam pengurusan sertifikat tanah di atas laut tersebut. Tujuannya tidak lain untuk memperluas kawasan PIK 2 yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Penetapan Green Area dan Eco-City di lokasi PIK 2 sebagai Kawasan Strategis Nasional (PSN) juga ditengarai merupakan bagian dari barter Pemerintah agar pihak ASG bersedia berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Setelah gagal menggaet investor asing berinvestasi di IKN, Pemerintah mencari cara agar investasi tetap berjalan. Salah satu bentuknya adalah menggandeng perusahaan domestik yang diduga disertai dengan sejumlah iming-iming, termasuk penetapan kawasan tersebut sebagai bagian dari PSN yang diberi berbagai kemudahan dalam berinvestasi.
Negara Kalah oleh Oligarki
Kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang memperlihatkan bagaimana negara gagal menjalankan perannya dalam melindungi kepentingan publik dan justru tunduk pada kekuatan oligarki.
Pembangunan pagar laut menurut laporan warga telah berlangsung sejak Agustus tahun 2024. Mustahil Pemerintah tidak mengetahui pelaksanaan proyek tersebut. Penerbitan sertifikat ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kemungkinan adanya kolusi antara pengembang dan pejabat Pemerintah dalam proses sertifikasi lahan, terutama karena proyek ini belum memiliki izin resmi dari Pemerintah pusat maupun daerah.
Pemerintah seharusnya menjadi penjaga kepentingan publik dan menegakkan regulasi yang ada. Namun, dalam kasus ini, negara justru gagal dalam menjalankan perannya. Tidak hanya gagal dalam pencegahan. Negara juga tampak lamban dalam menangani kasus ini. Beberapa menteri terkait, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan, menegaskan ilegalitas pagar laut setelah kasus ini viral di media sosial dan mendapat tekanan publik. Padahal jika merujuk pada regulasi yang ada, proyek ini seharusnya sudah dihentikan sejak awal karena tidak memiliki izin yang sesuai. Meskipun Pemerintah telah melakukan pembongkaran pagar laut tersebut, hingga kini tidak ada tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut.
Pembiaran pembangunan pagar laut, penerbitan HGB dan Sertifikat Hak Milik serta tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pihak yang terlibat menunjukkan bahwa negara telah tunduk pada kepentingan oligarki. Negara, yang seharusnya menegakkan keadilan dan melindungi sumber daya alam serta rakyat luas, justru membiarkan eksploitasi ini terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dalam pemanfaatan ruang laut, kepentingan oligarki masih lebih dominan dibandingkan kepentingan rakyat.
Kasus Pagar Laut tersebut menjadi contoh konkret bagaimana kepentingan pemodal dan oligarki dapat mengambil-alih ruang publik untuk kepentingan privat, mengabaikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Kuatnya pengaruh oligarki dalam Pemerintah tidak hanya tercermin pada kasus pagar laut, tetapi juga tampak dalam berbagai regulasi khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan ekonomi. UU Cipta Kerja dan UU Minerba merupakan contoh nyata bagaimana kepentingan oligarki sangat kuat dalam mempengaruhi pembuatan undang-undang. Pengaruh ini semakin diperkuat dengan hadirnya sejumlah pejabat Pemerintah dan anggota legislatif yang memiliki keterkaitan dengan kelompok oligarki.
Dominasi oligarki di negara ini sangat dipengaruhi oleh sistem demokrasi dan kapitalisme yang saling menguatkan. Dalam demokrasi, pemilihan legislatif dan eksekutif membutuhkan dana besar yang sebagian besar berasal dari oligarki. Sistem ini juga menjadikan manusia sebagai pembuat hukum urusan publik. Oligarki dan modal mereka berpengaruh besar dalam memastikan kepentingan mereka terakomodasi dalam regulasi.
Sementara itu, kapitalisme dengan konsep kebebasan ekonominya menempatkan negara hanya sebagai regulator sambil mendorong penguasaan ekonomi oleh swasta. Hal ini menciptakan lingkungan “yang kuat yang bertahan” (the survival of the fittest) yang menjadikan pihak yang berkuasa cenderung mendominasi. Realitas ini menunjukkan bahwa selama demokrasi dan kapitalisme masih menjadi dasar bernegara, peran oligarki akan terus dominan, sementara kepentingan publik cenderung terpinggirkan.
Haram Dikuasai Swasta
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Misry, perairan besar seperti laut dan sungai merupakan fasilitas milik umum yang tidak boleh dikuasai secara pribadi sebagaimana halnya jalan-jalan, padang rumput dan hutan. Hal ini telah disebutkan dalam sabda Nabi saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam konteks harta milik umum yang dapat langsung dimanfaatkan, setiap orang boleh memanfaatkan fasilitas ini dengan cara yang tidak membahayakan orang lain, karena manusia dalam hal ini setara. Siapa saja yang lebih dulu mengakses fasilitas tersebut, dialah yang lebih berhak. Jika seseorang duduk di pasar, masjid, atau jalan, misalnya, maka ia lebih berhak atasnya selama ia belum meninggalkannya, tetapi tidak boleh melepaskan haknya baik dengan kompensasi atau yang lainnya karena itu bukan miliknya.2
Negara juga berkewajiban untuk mencegah pelanggaran dan kerugian serta mendamaikan antara para pengguna ketika terjadi perselisihan atau persengketaan. Negara juga memiliki otoritas untuk mengatur pemanfaatan fasilitas umum, seperti menentukan tempat-tempat di jalan atau tempat berjualan untuk para pedagang. Negara boleh memberi mereka hak pemanfaatan tanpa kepemilikan, karena apa yang menjadi milik umum tidak bisa menjadi milik khusus seseorang.3
Senada dengan pendapat di atas, Abdul Qadim Zallum menyebutkan bahwa laut, sungai, danau, teluk, selat dan kanal-kanal umum seperti Terusan Suez, lapangan-lapangan umum, dan masjid-masjid, sebagaimana halnya jalan-jalan umum, menjadi milik umum bagi seluruh warga negara. Barang-barang tersebut merupakan salah satu kategori milik umum yang sifat alamiahnya mencegah pengkhususan untuk dikuasai oleh individu.4
Adapun pendapat yang mencoba menjustifikasi pemagaran laut oleh pihak swasta bahwa ia bagian dari ihyâ’ al-mawât merupakan pendapat yang keliru. Sebabnya, ihyâ’ al-mawât memiliki fakta dan hukum yang berbeda dengan kasus pagar laut. Menurut al-Zuhaily, menghidupkan tanah mati adalah memperbaiki tanah yang tandus. Kebolehan tanah mati berdasarkan sabda Nabi saw., “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” Baik dengan izin penguasa maupun tidak. Ini menurut mayoritas ulama fikih. Abu Hanifah dan Malik berpendapat: harus ada izin dari penguasa. Menghidupkan tanah mati dilakukan dengan menjadikan tanah tersebut layak untuk dimanfaatkan seperti untuk bangunan, penanaman, pertanian, membajak dan menggali sumur. Masa pembatasan lahan yang bermaksud untuk dihidupkan (at-tahjîr) dibatasi selama tiga tahun. Umar berkata, “Tidak ada hak bagi orang yang membatasi tanah setelah tiga tahun.”5
Tanah mati merupakan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak dimanfaatkan dengan cara apapun dan berada di luar kota. Yang tidak termasuk tanah mati adalah: tanah yang dimiliki seseorang, atau yang berada di dalam kota, atau di luarnya, tetapi bermanfaat bagi kota seperti tempat mengambil kayu bakar bagi penduduknya atau tempat penggembalaan ternak mereka.6
Dengan demikian laut tersebut jelas bukanlah tanah yang bisa dihidupkan dan dimiliki sebab ia adalah milik umum. Namun, jika terdapat tanah yang telah dibangun (dimanfaatkan) lalu tertutup oleh pasir atau terendam air sehingga berubah menjadi laut, lalu pasir atau air tersebut hilang, maka tanah itu tetap menjadi milik pemiliknya jika ia diketahui.7
Adapun pemanfaatan pantai juga telah dijelaskan dengan rinci oleh para fuqaha. Pandangan pertama, yang dianut oleh mazhab Hanafi dan sebagian dari mazhab Syafi’i, membolehkan pemanfaatan kawasan pantai dengan syarat tidak menimbulkan kerugian bagi umat Muslim secara umum. Mereka berpendapat bahwa pemanfaatan tersebut harus dipersiapkan untuk mewujudkan kepentingan bersama dan berada di bawah kewenangan pemimpin (wali al-amr) yang mengaturnya sesuai dengan kemaslahatan umat.
Pandangan kedua dikemukakan oleh Ibnu Al-Hajj dari mazhab Maliki, pendapat yang paling sahih dalam mazhab Syafi’i, serta mazhab Hanbali, Mereka menyatakan ketidakbolehan bagi siapapun untuk menghidupkan atau memanfaatkan pantai-pantai yang berdekatan dengan laut secara eksklusif. Argumentasi mereka didasarkan pada prinsip bahwa pantai dan laut merupakan kepemilikan bersama umat Muslim dan terkait dengan kemaslahatan umum. Karena itu pemberian izin eksklusif untuk menghidupkannya dapat membatasi akses kaum Muslim secara umum. Pandangan kedua ini, menurut Al-Fayi’, lebih kuat mengingat kebutuhan universal masyarakat dan negara terhadap pantai untuk pembangunan proyek-proyek yang bermanfaat bagi kepentingan umum. Selain itu, menurut Al-Fayi’, tidak ada dalil yang menjadi landasan pendapat pertama.8
Alhasil, laut merupakan harta milik umum yang haram dikuasai oleh pihak swasta. Demikian pula dengan pantainya tidak boleh dikuasai oleh pihak swasta. Negaralah yang berhak mengatur semuanya itu sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Hal yang sama juga berlaku pada barang milik umum lainnya seperti pertambangan migas dan mineral. Seluruhnya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan publik.
Penerapan hukum-hukum kepemilikan, bersama dengan hukum Islam lainnya, secara komprehensif dalam Negara Khilafah merupakan sebuah kewajiban. Hal ini mencerminkan ketundukan pada Allah SWT, Tuhan Yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Berbeda dengan sistem kapitalisme-demokrasi. Dalam sistem ini manusia tunduk pada hukum buatan manusia yang dikendalikan oleh para pemodal dan oligarki.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].
Catatan kaki:
- “Pagar Laut di Tangerang Bikin Hasil Tangkapan Nelayan Anjlok hingga 80%.” Metrotvnews, 16 Januari 2025. https://www.metrotvnews.com/play/bJEC4ZoA-pagar-laut-di-tangerang-bikin-hasil-tangkapan-nelayan-anjlok-hingga-80. Diakses 8 Februari 2025.
- Al-Misri, Rafiq Yunus. Usul al-Iqtisad al-Islami (Damaskus: Dar al-Qalam, 2010), 57–58.
- Al-Misri, Usul al-Iqtisad, 58.
- Abdul Qadim Zallum, Al-Amwl f+ Dawlat al-Khilfah (Beirut: Dr al-Ummah, 2004), 68-69.
- Wahbah bin Mustafa al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 4th ed. (Damaskus: Dar al-Fikr, n.d.), 4: 907.
- Wahbah, Al-Fiqh al-Islami, 4: 907.
- Shams al-Din Muhammad ibn Muhammad al-Khatib al-Shirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfaz al-Minhaj, ed. Ali Muhammad Mu’wad and Adil Ahmad Abd al-Mawjud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 3:498.
- Al-Fayi¿, Abd al-Rahman ibn Ahmad ibn Muhammad. Ahkam al-Bahr fî al-Fiqh al-Islami (Dar al-Andalus al-Khadra & Dar Ibn Hazm, 2000), 467–468.