Dampak Privatisasi Terhadap Keluarga
Indonesia adalah negeri yang telah Allah SWT berkahi dengan berlimpahnya sumberdaya alam. Tanahnya subur. Sungainya panjang. Lautnya yang luas. Kaya dengan berbagai jenis pangan yang dapat dinikmati dan diolah.
Namun, sungguh ironi, kini di negeri yang kaya sumberdaya alam ini, rakyatnya tidak sejahtera. Bahkan kelaparan melanda beberapa tempat akibat harga pangan yang terus naik. Beberapa waktu lalu enam warga Papua meregang nyawa akibat kelaparan. Tentu membuat kita miris. Apalagi satu di antaranya adalah bayi berusia enam bulan. Lebih menyedihkan lagi, bencana kelaparan Papua itu terjadi di atas tanah mereka yang kaya dengan sumberdaya alamnya.
Biang Kesengsaraan Rakyat
Sesungguhnya semua kondisi ini dikembalikan pada satu sebab mendasar, yakni penerapan sistem kapitalisme-sekuler di negeri ini. Sistem yang mencengkeram negeri ini telah memberikan keleluasaan bagi individu untuk menguasai aset umum dan juga aset Negara. Hal ini sangat wajar terjadi karena sistem ini melahirkan liberalisme. Kebebasan merupakan hal yang sangat didewakan. Salah satu di antaranya adalah kebebasan dalam hal kepemilikan. Setiap individu berhak untuk memiliki apapun asalkan ia sanggup untuk membeli dengan uang yang dia miliki. Lalu dimana peran Negara?
Dalam sistem kapitalisme Negara hanya berfungsi sebagai regulator semata. Bahkan yang sering terjadi adalah kongkalikong antara penguasa dan pengusaha. Tampak nyata bahwa kepemimpinan hanya menjadi alat melayani kepentingan segelintir orang. Di sektor pertambangan, misalnya, Pemerintah telah memberikan berbagai keistimewaan investasi bagi para investor. Pada 1967 Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur pemberian konsesi tambang kepada pihak swasta. Lalu pada 2020 Pemerintah bersama DPR sepakat merevisi UU Minerba untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa perusahaan batubara raksasa swasta yang hampir habis masa konsesinya.
Pemerintah Indonesia juga mendorong investasi di sektor migas dengan memberikan konsesi pengelolaan migas kepada perusahaan swasta/asing. Berdasarkan UU No. 22/2001, jangka waktu Kontrak Kerja Sama Migas dapat berlangsung paling lama selama 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Sungguh sangat nyata spirit kapitalisme mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Sedihnya lagi, keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut, khususnya sektor pertambangan, lebih banyak mengalir kepada swasta dibandingkan kepada negara. Alih-alih keuntungan yang tidak banyak itu bisa dirasakan oleh rakyat, yang ada malah dampak buruk yang dirasakan oleh rakyatnya.
Dampak Privatisasi bagi Keluarga Muslim
Fakta hari ini menunjukkan bahwa kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam negeri ini, termasuk pertambangan yang semestinya bisa menjadi sumber utama pemasukan kas Negara, malah diliberalisasi dan diprivatisasi. Akibatnya, rakyat sebagai pemilik sah sumberdaya alam malah harus gigit jari melihat harta mereka diambil oleh korporasi. Alih-alih dapat menikmati hasilnya, yang terjadi justru dampak buruk yang banyak dirasakan oleh rakyat dan keluarga. Ini antara lain akibat eksploitasi barang tambang yang dilakukan oleh mereka.
Kekayaan alam yang seharusnya dimiliki oleh rakyat menjadi dikuasai oleh segelintir orang, para pemilik cuan. Padahal Negara seharusnya bisa menjadi pengelolanya. Berikutnya, Negara harus membagikan hasilnya untuk kepentingan rakyatnya atau menjual hasilnya dengan harga murah.
Namun, hal ini tidak terjadi. Listrik dan bahan bakar saja mahal. Ini membuat keluarga Indonesia menjerit. Pasalnya, mereka tidak hanya harus membayar mahal listrik, elpiji dan BBM saja. Semua ini tentu berdampak pada pemenuhan kebutuhan pokok lainnya juga. Sebabnya, pada akhirnya harga barang-barang semakin naik karena biaya produksi semakin tinggi. Kondisi ini menyebabkan daya beli keluarga menjadi rendah. Tak ayal lagi, kemiskinan melanda negeri ini. Keluarga Indonesia semakin tidak sejahtera.
Kondisi ini menyebabkan para kepala keluarga mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan. Jika pun mereka ingin mengembangkan usaha sendiri, mereka juga mengalami kesulitan karena tidak memiliki akses modal. Hal ini membawa dampak ikutan. Di antaranya, para ibu akhirnya harus membantu menopang ekonomi keluarga. Tidak sedikit yang akhirnya harus bekerja juga. Selanjutnya, anak-anak sulit mendapat akses pendidikan yang memadai karena biaya pendidikan mahal. Akhirnya, keluarga kaya semakin kaya, sedangkan keluarga yang miskin semakin miskin. Jurang pemisah yang kaya dengan yang miskin semakin dalam.
Eksploitasi tambang yang dilakukan swasta selama ini pun telah mendorong peningkatan kerusakan lingkungan. Ini karena perusahaan-perusahaan swasta atau asing hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sering tidak peduli atas pencemaran air, udara dan tanah yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan timah di Indonesia, misalnya, membiarkan lubang-lubang tambang mereka terbengkalai tanpa melakukan reklamasi.
Akibat aktivitas pertambangan, situasi yang dihadapi keluarga menjadi sangat berat dan biasanya dimulai dari gangguan akses air bersih. Contoh kondisi ini dihadapi perempuan di Desa Long Loreh, Malinau Selatan, Kabupaten Malinau, akibat sungai yang tercemar limbah operasi tambang batubara. Mereka mencuci peralatan makan dan perlengkapan dapur menggunakan air keruh yang tercemar lumpur. (Mongabay.co.id, 19/072023).
Pengelolaan tambang yang dilakukan oleh individu ini juga berdampat terhadap kesehatan keluarga. Pihak The Harvard College Global Health Review (HCGHR), Dr. Michael Hendryx, peneliti dari West Virginia, mengatakan bahwa pekerja dan masyarakat yang berada dekat pertambangan batubara terganggu risiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung, pernapasan dan ginjal kronis (Cnnindonesia.com, 15/03/2021).
Dokter spesialis patologi anatomi RS Dharmais Evlina Suzanna menyatakan bahwa dampak aktivitas bongkar muat maupun pertambangan batubara yang salah satunya sekolah dekat Rusunawa Marunda, para pelajarnya terdampak secara langsung. Sebanyak 17 balita, 18 anak-anak dan remaja serta 23 orang dewasa juga mengalami gejala mulai dari sesak napas, iritasi kulit, hingga ada yang operasi kornea (Republika.id, 23/03/20023).
Eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang nikel telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Banjir dan tanah longsor menjadi sering terjadi di beberapa wilayah pertambangan dan menyebabkan bencana ke tempat-tempat lainnya. Air sungai dan laut menjadi keruh sehingga keluarga negeri ini kesulitan mendapatkan air bersih. Inilah bencana ekologis yang—jika dinilai dengan uang—merugikan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah. Tidak sedikit keluarga Indonesia kehilangan mata pencaharian. Pasalnya, tanah pertanian mereka tercemar sehingga tidak lagi subur. Sungai atau laut pun ikut tercemar. Akhirnya, mereka kesulitan menangkap ikan yang menjadi mata pencaharian mereka.
Dampak dari eksploitasi pertambangan batubara telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap ekosistem yang sangat merugikan masyarakat. Di antaranya kerusakan hutan-hutan yang menjadi wilayah usaha pertambangan. Tingkat pencemaran yang tinggi pada aliran sungai yang berada di sekitar lahan pertambangan dan atau aliran sungai dalam radius tertentu. Pencemaran tinggi juga terjadi berupa penyebaran debu batubara akibat aktivitas pengangkutan hasil tambang.
Pengelolaan Kepemilikan Umum Sesuai Pandangan Islam
Syariah Islam telah mengatur dengan sangat rinci terkait pengelolaan barang tambang. Jika jumlahnya berlimpah, ia terkategori harta milik umum kaum Muslim. Ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw.: Sungguh Abyadh bin Hammal pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta tambang garam. Beliau lalu memberikan kepada dia. Ketika Abyadh berlalu, ada seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, jenis tambang apa pun yang jumlahnya melimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dimiliki oleh individu, organisasi atau swasta, bahkan tidak boleh diklaim sebagai milik Negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya, lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyatnya. Dalam Islam, Negara juga tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada individu atau kepada Ormas, sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan hari ini
Dengan pengelolaan sumberdaya alam sesuai dengan tuntunan syariah, maka rakyat akan bisa menikmati apa yang menjadi miliknya. Air bersih melimpah-ruah. Listrik dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya pun dapat diperoleh dengan mudah. Sebabnya, Negara Islam menjadi negara yang kaya. Lebih dari itu lingkunganpun bersih dan sehat. Hutan, sungai dan laut terawat baik. Ini karena Negara akan memperhatikan apapun untuk kemaslahatan rakyatnya.
Oleh karena itu, penerapan syariah Islam dalam pengaturan Negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah SWT telah memerintahkan semua Muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah). Demikian sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).
Demikianlah. Islam telah memberikan penyelesaian dengan tuntas setiap permasalahan yang dialami keluarga Muslim dengan aturan-aturannya yang sempurna dan lengkap.
Untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan, tidak ada cara lain kecuali semua pihak baik individu dan keluarga Muslim, masyarakat dan Negara harus kembali pada Islam. Khalifah atau kepala negara berfungsi sebagai raa’in (pemelihara atau pelindung) akan menerapkan aturan Islam secara kaaffah. Hanya sistem Islam sajalah yang peduli akan kelestarian lingkungan. Tidak hanya mendukung kemajuan atau pembangunan, Islam juga mendorong penjagaan lingkungan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Khilafah akan mengembalikan kepemilikan sumberdaya alam yang terkategori milik umum kepada rakyat. Khilafahlah yang akan menjadi pengelolanya semata-mata untuk kemaslahatan rakyatnya. Dengan itu terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Najmah Saiidah]