Catatan Dakwah

Hijrah, Harus!

“Hendaklah kamu berhijrah karena pahalanya tidak ada bandingannya.” (HR a- Nasa‘i).

++++

Sungguh sangat tepat ketika para Sahabat dulu menyepakati atau berijmak untuk menjadikan Hijrah Nabi saw.  dari Makkah ke Madinah sebagai momentum awal perhitungan kalender dalam Islam. Mengapa? Karena hijrah memang amat sangat penting. Di mana pentingnya?

Di dalam al-Quran dan al-Hadis ada perintah atau anjuran. Dalam perintah dan anjuran itu ada ganjaran atau pahala. Sebesar apapun pahala dan sebanyak apapun ganjaran, seperti besarnya pahala shalat sunnah qabliyah subuh yang dikatakan lebih baik daripada dunia dan isinya, tetap bisa kita bayangkan besarnya atau  banyaknya. Namun, terkait hijrah, Nabi saw. mengatakan pahalanya la mitsla laha (tak ada bandingannya). Saking besarnya. Mengapa demikian? Karena hijrah itu amat penting. Ia menyangkut milik kita yang paling berharga. Apa milik kita yang paling berharga itu?

Milik kita yang paling berharga sesungguhnya adalah iman dan takwa. Bukan harta benda, intan berlian, emas perak, sawah ladang, hewan ternak, rumah, kendaraan, deposito. Bukan juga keluarga. Sebabnya, semua yang disebut itu berhenti sampai di dunia. Dalam hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim disebutkan ada tiga hal yang mengikuti mayit: harta, keluarga dan amal shalih. Dari tiga itu, dua kembali, yakni harta dan keluarga. Yang tetap bersama mayit adalah amal shalih. Apa itu amal shalih? Amal shalih adalah setiap ketaatan kita kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan dari bangun tidur hingga tidur kembali, yang dilakukan atas dasar iman dan takwa kepada Allah SWT.

Kebaikan apapun, sebanyak apapun, jika dilakukan tidak dengan dasar iman dan takwa, bukanlah amal shalih. Digambarkan dalam QS an-Nur ayat 39: ia bagaikan fatamorgana. Karena itu di Akhirat kelak, seperti tersebut dalam QS al-Kahfi ayat 10,  amal tersebut tidak akan dianggap dan diperhitungkan di hadapan Allah. Sia-sia.

Iman dan takwalah penentu derajat kemuliaan kita di hadapan Allah. Iman dan takwa pula yang akan memastikan kita kelak bisa menjadi bagian dari ashaabul-yamiin, golongan kanan atau ahlul jannah.

Di dunia takwa akan mewujudkan keberkahan hidup. Demikian sebagaimana janji Allah dalam QS al-A’raf ayat 96. Allah SWT akan melimpahkan keberkahan pada negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa kepada Diri-Nya.

Sebegitu penting iman dan takwa, Allah SWT memerintahkan kita, seperti tersebut dalam QS Ali Imran 102, untuk  selalu bertakwa dengan sebenar-benarnya dan jangan mati kecuali dalam keadaan Muslim. Juga perintah untuk mencari bekal, seperti tersebut dalam QS al-Baqarah ayat 197. Bekal terbaik tak lain adalah takwa.

Ketika ada yang datang kepada Nabi saw. meminta nasihat, Nabi mengingatkan dia untuk selalu bertakwa di manapun berada. Sebagai peringatan tentang pentingnya takwa, saat khatib naik mimbar dalam khutbah Jumat, ia wajib mengajak jamaah untuk bertakwa.

Maka dari itu, ketika milik kita yang paling berharga itu hendak direnggut dari sisi kita, wajib kita pertahankan dengan segala cara (by all means) dan risiko apapun (at all cost), bahkan jika perlu dengan taruhan nyawa sekalipun. Jika untuk menyelamatkan ketakwaan kita, kita harus berpindah negeri, maka pindahlah. Jadi, ketika agama terancam, dan kita tidak bisa lagi menampakkan syiar-syiar Islam, lalu secara faktual mampu mampu berpindah, berdasarkan QS an-Nisa’ ayat 97, wajib hukumnya kita berhijrah guna menyelamatkan milik kita yang paling berharga itu’ kecuali mereka yang lemah dan tidak menemukan jalan untuk berhijrah, seperti tersebut dalam QS an-Nisa’ ayat 98.

Inilah substansi hijrah, seperti disebut oleh imam Ibnu Hajar al Asqalani, yaitu al-firaru bi al-diin min al-fitan (menyelamatkan agama dari fitnah). Oleh Syaikh Izzuddin bin Abdi as-Salam dalam kitab Syajaraat al-Ma’aarif wa al-Ahwaal wa Shaalih al Aqwaal wa al-A’maal, hijrah seperti ini disebut sebagai hijrah al-awthan (hijrah negeri) atau hijrah makani (hijrah tempat).

Secara syar’i, hijrah dikatakan sebagai keluar dari negara kufur menuju Negara Islam (al-khuruuj min daar al-kufri ilaa Daar al-Islaam). Ini sebagaimana dilakukan oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat yang keluar dari Makkah sebagai  darul kufur  menuju Madinah al-Munawwarah sebagai Darul Islam pada tahun 622 M.

Bisa dipahami jika kemudian Allah menyebut hijrah sebagai bukti keimanan yang benar. Demikian seperti disebut dalam QS al-Anfal ayat 74. Karena itu, untuk orang-orang yang berhijrah, Allah berjanji tidak akan menyia-nyiakan mereka. Kepada mereka, seperti tersebut dalam QS an-Nisa ayat 100, dijanjikan muraghaman (tempat hijrah) yang banyak dan rezeki yang luas. Andai meninggal dalam perjalanan hijrahnya, pahala tetap ada bagi para muhaajiriin itu. Pantaslah dengan semua pengorbanan itu, Allah dalam QS at-Taubah ayat 20 menyebut orang yang berhijrah mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah, rahmat, ridha dan surga-Nya.

++++

Jika ini hari secara faktual tidak ada yang mengharuskan kita melakukan hijrah makani, penting untuk memperhatikan kemungkinan harus melakukan hijrah, yang disebut oleh Syakh Izzudin dengan istilah hijrah al-itsmi wa al-‘udwan (meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat). Ini disebut juga dengan hijrah maknawi. Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim, Nabi saw. menyatakan bahwa orang yang berhijrah (al-muhaajir) adalah orang yang meninggalkan segala sesuatu yang Allah larang.

Penting hari ini kita memperhatikan diri, keluarga juga masyarakat dan negara, apakah ada larangan Allah yang masih dilakukan? Faktanya memang demikian.  Saat ini cukup banyak yang abai terhadap kewajiban menjaga aqidah dari noda syirik, beribadah (shalat, puasa, zakat dan lainnya), berpakaian secara syar’i, berakhlaq mulia, menjaga makanan minuman halal selalu dan bermuamalah secara Islami. Secara faktual pula, sekularisme masih menjadi landasan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akibatnya, politik kita bercorak machiavelistik, ekonominya kapitalistik, sikap beragama sinkretistik, budayanya westernisitik dan pendidikannya materialistik.

Jelas harus ada upaya sungguh-sungguh untuk membawa diri, keluarga, bangsa dan negara ini pada hijrah maknawi tadi, dari tatanan yang sekularistik menuju tatanan Islam, hingga terwujud baldah thayyibah wa rabbun ghafur (negeri yang baik yang selalu dalam ampunan Allah). Di dalamnya diterapkan syariah secara kaaffah sedemikian sehingga keberkahan bagi semua manusia yang dijanjikan Allah benar-benar bisa terwujud.

Untuk melakukan semua ini memang tidak mudah. Banyak tantangan di hadapan. Di antaranya adalah mind-set (pola pikir) lama yang tak islami, disertai dengan ketakutan akan rezeki dan keselamatan ketika hendak berhijrah. Yang paling berat memang adalah tantangan dari sistem dan penguasa sekuler, yang bersama kekuatan sekularistik lain, akan selalu mempertahankan sekularisme ini dan menghalangi usaha untuk membawanya ke arah Islam. Jika hal ini terjadi, Nabi saw. mengingatkan, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat ath-Thabarani, untuk tetap kokoh dan istiqamah, seperti yang  dilakukan oleh para pengikut Nabi Isa as. meski harus mengalami digergaji  dan disalib. Lalu dalam hadis itu Nabi saw. mengingatkan: “Mati di atas ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan kepada Allah.”

Hijrah? Siapa takut?! [H. M. Ismail Yusanto, M.M]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 + twenty =

Back to top button