Hiwar

H. Muhammad Ismail Yusanto: Semua Tambang Wajib Dikelola oleh Negara

Pengantar:

Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah memberikan izin pengelolaan tambang bagi Ormas, termasuk Ormas Keagamaan. Dari ormas Islam, yang sudah jelas menyatakan menerima izin pengelolaan tambang tersebut adalah NU, Muhammadiyah dan Persis.

Apa sebetulnya motif Pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang kepada Ormas? Apa pula motif sebenarnya dari Ormas-ormas Islam menerima izin pengelolaan tambang tersebut? Apakah ini akan bermanfaat bagi umat? Atau sebaliknya, tawaran tersebut akan menjadi jebakan politik untuk Ormas?

Bagaimana pula pandangan Islam yang sebenarnya terkait kebijakan pengelolaan tambang? Bolehkah Ormas mengelola tambang? Bolehkah pula swasta, termasuk pihak asing, mengelola tambang? Lalu bagaimana peran Negara dalam pengelolaan tambang menurut syariah Islam?

Inilah beberapa pertanyaan yang ditanyakan oleh Redaksi kepada Ustadz H. Muhammad Ismail Yusanto dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah memberikan ijin pengelolaan tambang kepada Ormas. Alasannya, banyak proposal bantuan masuk ke Pemerintah. Dengan alasan itu, menurut Pemerintah, Ormas lebih baik dikasih ijin tambang. Bagaimana menurut pendapat Ustadz?

Ini logika yang tidak tepat. Memang, Pemerintah harus membantu Ormas. Apalagi ormas Islam yang telah banyak sekali membantu Pemerintah, khususnya dalam pembinaan umat. Dalam kegiatan itu diperlukan banyak biaya, memang betul. Namun, tidak boleh karena hal itu lantas Pemerintah memberikan hak pengelolaan tambang kepada Ormas. Mengapa? Karena sesungguhnya Pemerintah tidak berhak memberikan sesuatu yang bukan miliknya. Barang tambang, apalagi jumlahnya sangat banyak seperti batubara ribuan hektar, hakikatnya adalah milik rakyat. Tambang itu harus dikelola oleh Pemerintah. Lalu hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Bukan malah diberikan kepada Ormas atau korporasi seperti yang sebelumnya sudah dilakukan.

 

Bisakah Ormas menerima tawaran ijin pengelolaan tambang itu dengan alasan untuk memakmurkan jamaah?

Bisa saja. Namun, ingat, barang tambang itu milik seluruh rakyat. Bukan milik jamaah dari ormas tertentu. Karena itu tidaklah tepat jika dengan alasan mau digunakan untuk menyejahterakan jamaah, Ormas kemudian menerima tawaran izin pengelolaan tambang.

 

Bagaimana jika Ormas penerima izin tambang juga beralasan ingin memberikan contoh mengelola tambang  dengan amanah, yakni dengan memperhatikan lingkungan, dll?

Bisa saja. Sudah banyak contoh, bagaimana penambangan dilakukan dengan tetap menjaga lingkungan. Namun,  lingkungan menjadi rusak akibat penambangan itu sudah jamak terjadi. Mana ada penambangan, apalagi open pit mining (penambangan terbuka), seperti dalam penambangan barubara atau emas, yang tidak merusak lingkungan. Karena itu lalu  banyak dikembangkan cara-cara guna mengembalikan fungsi daya dukung lingkungan seperti melalui program reklamasi dan lainnya.

Namun, isu pengelolaan tambang oleh Ormas di sini bukan hanya soal lingkungan. Bahkan bukan itu yang utama. Yang utama adalah tadi: Berhakkah Pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang kepada Ormas? Jika tidak berhak—memang menurut syariah mestinya barang tambang dikelola hanya oleh Pemerintah—kehendak untuk memberi contoh pengelolaan tambang yang ramah lingkungan tak lagi relevan.

 

Ada juga Ormas yang beralasan bahwa ini adalah saatnya bersaing dengan oligarki tambang. Mampukah?

Bisa saja Ormas bersaing dengan oligarki dalam pengelolaan tambang. Namun, banyak pihak meragukan hal itu. Faktanya, Ormas belum memiliki kemampuan dan pengalaman dalam pengelolaan tambang.  Namun, sekali lagi, bukan di situ soalnya. Soalnya adalah apakah Pemerintah berhak memberikan ijin pengelolaan tambang kepada Ormas. Jika tidak berhak—dan memang menurut syariah tidak berhak karena mestinya barang tambang dikelola hanya oleh Pemerintah—maka pengelolaan tambang oleh oligarki pun harus dikoreksi, bukan malah diikuti.

 

Alasan lainnya, selama ini yang menikmati hasil tambang adalah oligarki. Karena itu sekaranglah saatnya umat Islam bisa menikmati langsung. Bagaimana menurut Ustadz?

Betul. Namun, caranya bukan dengan meminta atau menerima pengelolaan tambang oleh Ormas. Mestinya dengan meminta Pemerintah mengelola semua barang tambang yang ada dengan sebaik-baiknya. Bukan diberikan kepada korporasi, seperti selama ini terjadi. Bukan pula diberikan kepada Ormas. Hanya jika semua barang tambang itu dikelola oleh Negara, maka hasilnya akan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Termasuk tentu saja umat Islam. Justru karena selama ini tambang dikelola oleh korporasi itulah yang membuat hasil tambang lebih banyak jatuh kepada mereka. Jika pun ada yang masuk kepada rakyat melalui kas Negara, itu hanya sebagian kecil saja, sekitar 20%, melalui pajak. Jika dikelola oleh Negara, bukan hanya 20%, tapi malah 100% hasilnya akan masuk kas Negara.  

 

Di sisi lain ada masyarakat yang menolak ijin tambang tersebut. Mereka beralasan bahwa hal itu akan menambah kerusakan lingkungan. Benarkah?

Betul juga. Faktanya memang demikian. Lihatlah apa yang terjadi di Kalimantan. Khususnya di Kalimantan Selatan. Lebih khusus lagi di wilayah sekitar penambangan batubara sekala besar yang dikelola oleh Adaro, KPC atau Arutmin. Hancur lingkungan. Hutan gundul. Vegetasi tutupan habis. Lahan berlubang-lubang. Debu. Jalan kotor. Banjir. Jadi sangat wajar jika masyarakat lantas menolak penambangan itu karena jelas merugikan mereka dari sisi lingkungan.

Namun, sekali lagi, mestinya bukan hanya soal itu. Yang paling prinsip, ya tadi. Semua tambang itu sesungguhnya adalah milik rakyat. Tak semestinya barang tambang yang bisa memberikan hasil luar biasa itu diserahkan oleh Negara kepada korporat, juga ormas, sedangkan rakyat, sang pemilik, justru hanya mendapat dampak buruknya saja. Jika pun ada, itu hanya sak cuprit dibandingkan dengan hasil yang semestinya mereka dapat jika tambang itu dikelola oleh Negara secara langsung.

 

Ada pula yang meragukan kemampuan Ormas dalam pengelolaan tambang. Bagimana pandangan Ustadz?

Benar. Memang faktanya  mereka tidak memiliki keahlian di bidang itu. Meski nantinya mereka akan menggandeng kontraktor penambangan profesional, tetap saja basis keahlian Ormas bukanlah di bisnis pertambangan.

 

Apakah pemberian ijin tambang ini ditengarai sebagai alat kendali untuk membungkam sikap kritis Ormas?

Mungkin saja. Benar-tidaknya ormas yang setelah diberi tambang menjadi tidak kritis, waktulah yang akan membuktikan. Tapi tidak usah nanti, sekarang pun kritisisme ormas, khususnya terkait pengelolaan tambang juga sudah hilang. Buktinya, ada ormas yang dulu tegas bilang haram, sekarang setelah mendapat ijin pengelolaan tambang menjadi  berubah pikiran.

 

Sejatinya dalam Islam barang tambang itu seperti apa kedudukannya? Mesti bagaimana pula pengelolaannya, Ustadz?

Ketentuan syariahnya sangat jelas.  Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi diceritakan, bahwa Abyadh bin Hamal pernah datang menemui Rasulullah saw. Dia meminta kepaa beliau agar diberi tambang garam yang ada di Ma’rib. Rasul saw., yang memang dikenal pemurah, memenuhi permintaan Abyadh. Setelah Abyadh pergi, salah seorang yang ada di majelis itu kemudian mengingatkan beliau, “Apakah engkau tahu apa yang telah engkau berikan kepada dia, ya Rasulallah? Tidak dijelaskan apa jawaban Rasulullah. Orang itu kemudian melanjutkan, “Sungguh yang engkau berikan itu (bagaikan) air yang terus mengalir.”

Rasul yang mulia, yang mengajari kita untuk jangan sekali-kali menarik kembali pemberian kepada orang lain, hari itu justru menarik kembali pemberiannya berupa tambang garam kepada Abyadh. Sebabnya, defosit tambang garam tersebut amat berlimpah.

Hadis ini menjadi dasar bahwa barang tambang yang kandungannya sangat banyak, seperti batubara, sesungguhnya adalah milik umum yang tidak boleh dikelola kecuali oleh Negara. Tidak boleh diserahkan kepada individu atau kumpulan individu (korporasi atau Ormas).

 

Apa dampak buruknya jika tambang dikelola bukan oleh Negara?

Pelanggaran terhadap ketentuan syariah menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, apalagi yang memiliki kandungan yang sangat banyak seperti tambang barubara, akan memberikan dampak buruk yang sangat serius. Pertama, akan makin memperburuk pola distribusi kekayaan di negeri ini yang selama ini sudah buruk. Lihatlah, hari ini ada tidak kurang 30 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk mendapatkan Rp 10.000/orang/hari saja mereka kesulitan. Sebaliknya, segelintir orang memiliki kekayaan sangat melimpah. Dari Rp 5,7 ribu triliun total dana publik di perbankan, sekitar 85 persen dikuasai oleh hanya 2 persen dari 209 juta pemilik rekening, sedang sekitar 15 persen sisanya dikuasi oleh 98 persen.

Kemiskinan memunculkan problem lanjutan. Yang utama adalah rapuhnya kualitas SDM akibat minimnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Kebanyakan dari mereka tentu saja adalah saudara-saudara kita sesama Muslim. Jika dibiarkan kekayaan SDA itu dikelola oleh korporasi, pasti akan membuat kesenjangan itu makin bertambah lebar.

Kedua, makin kokohnya oligarki pemilik modal. Sebelum ini saja, oligarki pemilik modal sudah demikian berpengaruh terhadap lahirnya peraturan perundang-undang dan kebijakan di negeri ini. Contohnya, sesaat setelah penandatanganan UU Omnibus Law oleh Presiden Jokowi pada 2 November 2020 lalu, Pemerintah memberikan perpanjangan usaha kepada PT Arutmin Indonesia yang 1 November 2020 itu habis masa kontraknya. Dengan perpanjangan ini, mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan luasan 57.107 hektar (setara 3 kali luas Kota Bandung), sama dengan sebelumnya.  Perpanjangan ini mengkonfirmasi apa yang sebelumnya menjadi kecurigaan besar publik, bahwa UU Omnibus dibuat tak lain untuk kepentingan oligarki. Utamanya pemilik tambang batubara besar. Hanya saja, yang publik tidak terlalu menyadari adalah bahwa bergegasnya pengesahan UU itu ternyata terkait erat dengan bakal habisnya salah satu dari 7 pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), yakni PT Arutmin pada 1 November itu.

Sebelumnya, melalui UU Minerba yang baru, khususnya Pasal 169,  pemilik PKP2B telah mendapatkan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula. Jika mengacu pada ketentuan sebelumya, yakni Pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan pada Negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD.

Namun, ketentuan yang berpihak pada rakyat ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan baru yang sangat jelas lebih mengutamakan pemilik PKP2B, yang tak lain adalah para pengusaha besar, yang hampir seluruhnya terhubung dengan kekuatan politik negeri ini. Hebatnya, perpanjangan izin bahkan diberikan secara otomatis karena dibubuhi kata “diberikan jaminan”. Di aturan sebelumnya hanya menggunakan diksi “dapat diperpanjang”. Pasal 169 itu juga memberi jangka waktu 10 tahun untuk 2 kali perpanjangan dan 2 kali lagi sehingga total masa konsesi bisa mencapai 40 tahun. Perpanjangan bahkan dapat dilakukan 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Dalam aturan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan paling cepat dilakukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir.

Bukan hanya perpanjangan, pemilik PKP2B melalui UU Omnibus juga mendapatkan tambahan keistimewaan. Dalam Penambahan pasal 128 A dalam UU Omnibus Cipta Kerja, dinyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara, yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).

Ketentuan ini tentu saja sangat aneh. Bagaimana bisa DPR yang hakikatnya adalah wakil rakyat justru bertindak merugikan rakyat. Padahal potensi tambang yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B yang luasnya mencapai 370.775 hektare itu sangatlah besar.  Menurut keterangan Dirjen Minerba sendiri, sumberdaya dan cadangan batubara di wilayah itu mencapai 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton.  Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000, maka nilai aset  itu  Rp13.730 triliun, dan keuntungan bersih tahunan tidak kurang dari Rp 2 triliun.

Bukankah jika dikelola oleh Negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta? Kini menjadi sangat jelas, bahwa semua proses dan kelit-kelindan lahirnya UU Minerba dan UU Omnibus Cipta Kerja, tak lain adalah demi memuluskan kepentingan oligarki pemilik modal. Termasuk mengapa semua dibuat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata karena ada perusahaan yang bakal segera habis masa kontraknya.

 

Jadi, bolehkah dalam Islam Pemerintah punya kuasa membagi-bagi barang tambang kepada siapapun, termasuk kepada Ormas?

Tidak.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam terkait polemik pengelolaan tambang oleh Oramas ini?

Harus dihentikan. Utamanya harus dihentikan juga pengelolaan tambang oleh korporasi. Jika tidak, negeri ini makin jauh meluncur menuju korporatokrasi (kedaulatan di tangan pemilik modal), bukan demokrasi (kedaulatan di tangan rakyat). Pemberian tambang kepada ormas sesungguhnya tak lepas dari  kepentingan oligarki. Dengan begitu, mereka akan merasa aman, oleh karena toh ormas juga mengelola tambang. Akhirnya, oligarki makin kuat. Dengan kekuatan modalnya, oligarki itu bisa membeli apa saja: membeli regulasi, politisi, partai, birokrasi, bahkan para menteri dan atasannya menteri. Rakyat hanya dijadikan alat legitimasi untuk nafsu serakah (greedy) mereka. Tentu keadaan makin buruk. Kebijakan dan peraturan perundangan makin dikendalikan para pemilik modal, sehingga makin merugikan rakyat banyak serta makin menindas golongan ekonomi lemah. Ini akan terjadi, bila rezim macam ini terus berkuasa dan membiarkan SDA terus dikuasi oligarki pendukung dirinya.

Jika sudah demikian keadaannya, tidak ada jalan lain, mesti tegak sistem yang baik, yang berasal dari Allah SWT, Tuhan Yang Mahabaik; dengan penguasa yang baik, yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah urgensi dari selamatkan Indonesia dengan syariah kaaffah. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × two =

Back to top button