Hukum Hijrah Bagi Kaum Muslim
Soal:
Apa dan bagaimana sesungguhnya hijrah menurut pengertian syariah? Lalu bagaimana hukum hijrah bagi kaum Muslim?
Jawab:
Kata hijrah secara harfiah (bahasa) artinya keluar dari satu tempat ke tempat yang lain (khurûj min ardh[in] ilaa ardh[in]).1
Adapun menurut syariah bisa didefinisikan sebagai berikut: Pertama, menurut Al-‘Allamah Syaikh Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie:
اَلْهِجْرَةُ هِيَ تَرْكُ اْلإِقَامَةِ فِي الْوَطَن إِلَى بَلَدٍ أَخَرٍ لِلإِقَامَةِ الدَّائِمَةِ فِيْهِ
Hijrah adalah meninggalkan tempat menetap di suatu tanah air ke negeri lain untuk menetap secara permanen di sana. 2
Kedua, menurut Al-‘Allamah Syaikh Dr. Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya, Al-Jihâd wa al-Qitâl fii as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, meski tidak didefinisikan dengan tegas, bisa disimpulkan, sebagaimana pembahasan beliau tentang hukum hijrah:
اَلْهِجْرَةُ هِيَ الْخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْكُفْرِ إِلَى دَارِ اْلإِسْلاَمِ، أَوْ إِلَى غَيْرِهَا .
Hijrah adalah meninggalkan darul kufur ke Darul Islam atau ke negeri lainnya.3
Ketiga, Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, dengan tegas mendefinisikan hijrah:
اَلْهِجْرَةُ هِيَ الْخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْكُفْرِ إِلَى دَارِ اْلإِسْلاَمِ
Hijrah adalah meninggalkan darul kufur ke Darul Islam.4
Darul Islam dan darul kufur telah dibahas panjang lebar oleh para fuqaha’ pada masa lalu sebagai berikut:
Pertama, pendapat al-Kasani, dalam kitabnya, Badaa’i’ ash-Shanaa’i’:
وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ أَصْحَابِنَا فِي أَنَّ دَارَ الْكُفْرِ تَصِيْر دَارَ إِسْلاَمٍ بِظُهُوْرِ أَحْكَامِ اْلإِسْلاَمِ فِيْهَا. وَاخْتَلَفُوْا فِي دَارِ اْلإِسْلاَمِ، أَنَّهَا بِمَاذَا تَصِيْرُ دَارَ الْكُفْرِ؟ قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَة: إِنَّهَا لاَ تَصِيْرُ دَارَ الْكُفْرِ إِلاَّ بِثَلاَثِ شَرَائِطِ :أَحَدُهُمَا: ظُهُوْرُ أَحْكَامِ الْكُفْرِ فِيْهَا. وَالثَّاني: أَنْ تَكُوْنَ مُتَاخِمَةً لِدَارِ الْكُفْرِ. وَالثَّالِثُ: أَنْ لاَ يَبْقَى فِيْهَا مُسْلِمٌ وَلاَ ذِمِيٌّ آمِناً بِالْأَمَانِ اْلأَوَّلِ. وَهُوَ أَمَانُ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْهَا، وَقَال أَبُوْ يُوْسُفُ وَمُحَمَّدٌ رَحِمَهُمَا اللهُ : إِنَّهَا تَصِيْرُ دَارَ الْكُفْر بِظُهُوْرِ أَحْكَامِ الْكُفْرِ فِيْهَا .
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan pengikut kami bahwa darul kufur menjadi Darul Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di dalamnya. Mereka berbeda pendapat mengenai tempat Darul Islam: Bagaimana Darul Islam bisa menjadi darul kufur? Abu Hanifah mengatakan, “Tidak menjadi darul kufur kecuali dengan tiga syarat: Pertama, tampaknya hukum kufur di dalamnya. Kedua, berdekatan (atau menjadi bagian dari) darul kufur. Ketiga, tidak ada lagi seorang Muslim maupun ahludz-dzimmah yang hidup aman dengan jaminan keamanan yang pertama (Muslim), yaitu jaminan keamanan kaum Muslim di sana.” Abu Yusuf dan Muhammad, semoga Allah mengasihi mereka, mengatakan, “Darul Islam itu menjadi darul-kufur dengan tampaknya hukum kufur di dalamnya.” 5
Kedua, pendapat Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf, dalam kitabnya, As-Siyaasah asy-Syar’iyyah:
دَارُ اْلإِسْلاَمِ: هِيَ الدَّارُ الَّتِيْ تَجْرِيْ عَلَيْهَا أَحْكَامُ اْلإِسْلاَمِ، وَيَأْمَنُ مَنْ فِيْهَا بِأَمَانِ الْمُسْلِمِيْنَ، سَوَاءٌ أَكَانُوْا مُسْلِمِيْنَ أَمْ ذِمِّيِّيْنَ. وَدَارُ الْحَرْبِ: هِيَ الدَّارُ الَّتِيْ لاَ تَجْرِيْ عَلَيْهَا أَحْكَامُ اْلإِسْلاَمِ، وَلاَ يَأْمَنُ مَنْ فِيْهَا بِأَمَانِ الْمُسْلِمِيْنَ
Darul Islam adalah negeri yang di dalamnya hukum-hukum Islam diterapkan dan rakyatnya aman dengan jaminan keamanan kaum Muslim, baik mereka Muslim maupun ahludz-dzimmah. Adapun darul-harb adalah negeri yang di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam dan rakyatnya tidak mendapatkan jaminan keamaman dari kaum Muslim.6
Ketiga, pendapat Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, yang mendetilkan penjelasan Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf di atas:
وَاْلحَقُّ أَنَّ اِعْتِبَارَ الدَّارِ دَارُ إِسْلاَمٍ، أَوْ دَارُ كُفْرٍ، لاَ بُدَّ أَنْ يُنْظَرَ فِيْهِ إِلَى أَمْرَيْن: أَحَدُهُمَا، اَلْحُكْمُ بِالْإِسْلاَمِ. وَالثَّانِي، اْلأَمَانُ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِيْنَ، أَيْ بِسُلْطَانهم… فَإِذَا تَوَفَّرَ فِي الدَّارِ هَذَانِ الْعُنْصُرَان: …كَانَتْ دَارَ إِسْلاَمٍ، وَتَحَوَّلَتْ مِنْ دَارِ كُفْرٍ إِلَى دَارِ إِسْلاَمٍ. أَمَّا إِذَا فَقَدَتْ أَحَدُهُمَا فَلا تَصِيْرَ دَارَ إِسْلاَمٍ
Yang benar, sebuah negeri itu dianggap sebagai Darul Islam, atau darul kufur, harus diperhatikan dua hal: Pertama, pemerintahan-nya memerintah dengan hukum Islam. Kedua, keamanannnya di tangan kaum Muslim, yaitu dengan adanya kekuasaan mereka…Jika negeri tersebut memenuhi dua komponen ini..maka negeri tersebut telah menjadi Darul Islam, dan berubah dari darul kufur menjadi Darul Islam. Namun, jika salah satunya hilang maka negeri tersebut tidak akan menjadi Darul Islam. 7
Jadi, dari penjelasan para ulama di atas bisa disimpulkan, bahwa sebuah negeri disebut Darul Islam jika memenuhi dua syarat. Pertama, menerapkan hukum Islam secara kaaffah. Kedua, keamanannya untuk melindungi rakyatnya berada di tangan kaum Muslim. Jika dua syarat ini terpenuhi maka negeri tersebut disebut Darul Islam. Jika salah satunya hilang maka disebut darul kufur.
Hukum Hijrah
Adapun hukum hijrah, dengan meninggalkan darul kufur ke Darul Islam, bisa dipilah menjadi menjadi tiga:
Pertama: Wajib. Wajib bagi orang yang mampu untuk berhijrah, sementara di negeri asalnya (darul kufur) dia tidak mampu menampakkan agamanya, tidak pula mampu menerapkan hukum-hukum Islam yang dituntut untuk dia terapkan. Termasuk ketika Khalifah meminta dirinya untuk memperkuat kekuasaannya. Dalam kondisi seperti ini, hijrah bagi dirinya, dengan meninggalkan negerinya (darul kufur) menuju Darul Islam, hukumnya wajib. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ٩٧
Sungguh orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kalian ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahanam. Neraka Jahanam itu seburuk-buruk tempat Kembali (QS an-Nisa’ [4]: 97).
Bahkan di dalam Al-Mughni, Ibn Qudamah, menyatakan adanya ancaman yang keras di ujung QS an-Nisa’ ayat 97, Neraka Jahanam sebagai seburuk-buruk tempat kembali sebagai qariinah, bahwa hijrah dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib.8
Kedua: Haram. Haram bagi orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk mengubah negeri asalnya (darul kufur) menjadi Darul Islam, tetapi dia tidak melakukan itu, justru dia tinggalkan, maka hukum hijrah bagi dirinya, dengan meninggalkan negerinya (darul kufur) ke Darul Islam, adalah haram. Syaikh An-Nabhani menjelaskan:
إِذَا كَانَ يَمْلِكُ الْقُدْرَةَ عَلىَ تَحْوِيْلِ دَارِ الْكُفْرِ الَّتِيْ يَسْكُنُهَا إِلَى دَارِ إِسْلاَم… سَوَاءٌ أَكَانَ يَمْلِكُ الْقُدْرَةَ بِذَاتِهِ، أَوْ بِتَكَتُّلِهِ مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ فِي بِلاَدِهِ، أَوْ بِالْإِسْتِعَانَةِ بِمُسْلِمِيْنَ مِنْ خَارِجِ بِلاَدِهِ، أَوْ التَّعَاوُنِ مَعَ الدَّوْلَةِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ، أَوْ بِأَيِّ وَسِيْلَةٍ مِنَ الْوَسَائِلِ، فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعْمَلَ لِجَعْلِ دارِ الْكُفْرِ دَارَ إِسْلاَمٍ، وَتَحْرُمُ عَلَيْهِ حِيْنَئِذٍ اْلِهجْرَةِ مِنْهَا
Jika dia mempunyai kemampuan untuk mengubah darul kufur yang dia diami sehingga menjadi Darul Islam, baik dia mempunyai kekuatan sendiri, atau dengan bersatu dengan umat Islam di negerinya, atau dengan meminta bantuan umat Islam yang berada di luar negaranya, atau bekerjasama dengan Daulah Islam, atau dengan cara apa pun, maka dia harus berusaha menjadikan darul kufur ini menjadi Darul Islam, dan dalam hal itu haram hukumnya untuk hijrah dari negeri itu.9
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Al-Allamah al-Khathib as-Syarbini, dalam Mughni al-Muhtaaj, Syarh al-Minhaaj. Ini juga merupakan pendapat al-Qadhi al-Imam al-Mawardi.10
Ketiga: Manduub (Sunnah). Manduub (Sunnah) bagi orang yang mampu hijrah, tetapi pada saat yang sama, dia pun mampu menampakkan agamanya di negeri asalnya (darul kufur), dia juga mampu menerapkan hukum-hukum Islam yang dituntut untuk dia terapkan di sana. Dalam kondisi seperti ini hukumnya manduub (sunnah). Tidak wajib. Ini seperti kasus Nuaim bin an-Nahham dari Bani ‘Adi. Ibn Qudamah memberikan penjelasan:
لِيَتَمَكَّنَ مِنْ جِهَادِهِمْ، وَتَكْثِيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَمَعُوْنَتِهِمْ، وَيَتَخَلَصَ مِنْ تَكْثِيرِ الْكُفَّارِ، وَمُخَالَطِهْمْ، وَرُؤْيَةِ الْمُنْكَرِ بَيْنَهُمْ، وَلاَ تَجِبُ عَلَيْهِ لِإِمْكَانِ إِقَامَةِ وَاجِبِ دِيْنِهِ بِدُوْنِ الْهِجْرَةِ…
Supaya memungkinkan untuk memerangi mereka, memperbanyak jumlah kaum Muslim, dan membantu mereka, serta terhindar dari dominasi banyaknya kaum kafir, bercampur-baur dengan mereka dan menyaksikan kemungkaran di tengah mereka maka, bagi dia tidak wajib untuk berhijrah, karena dia mampu menunaikan kewajiban agamanya, tanpa harus hijrah.11
Inilah pendapat yang raajih seputar hukum hijrah, Darul al-Islam dan darul kufur menurut pendapat para fuqaha’ kaum Muslim.
WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah Abu al-Fadhl Jamalu ad-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Beirut, Dar al-Fikr, cet. t.t., Juz V, hal. 251.
2 Al-Ustadz Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Beirut, Dar an-Nafais, cet. I, 1421 H/2000 M, Juz II, hal. 1931.
3 Al-Ustadz Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, Beirut, Dar al-Bayariq, cet. I, 1417 H/1996 M, Juz I, hal. 687.
4 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Beirut, Dar al-Ummah, cet. I, 1424 H/2003 M, Juz II, hal. 267.
5 Al-‘Allamah al-Kasani, Bada’i’ as-Shana’i’, Juz VII, hal. 130.
6 Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf, as-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 69.
7 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hal. 251.
8 Al-‘Allamah Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X, hal. 514.
9 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hal. 270.
10 Al-‘Allamah al-Khathib as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Juz IV, hal. 239.
11 Al-‘Allamah Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X, hal. 514.