Iqtishadiyah

Pembiayaan Pendidikan Di Negara Islam

Di dalam Islam, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan. Orang yang berpengetahuan juga mendapat posisi yang tinggi di sisi Allah SWT. Dengan ilmu, seseorang dapat mempelajari manusia, alam semesta dan kehidupan. Dengan itu  ia semakin dekat kepada Pencipta. Ia pun dapat memanfaatkan ilmunya secara efektif  untuk memberikan kemaslahatan bagi umat  manusia di berbagai bidang seperti pertanian, teknik, kedokteran, farmasi, dan astronomi. Karena itulah pendidikan menjadi salah satu perhatian utama para penguasa di masa pemerintahan Islam.

 

Masa Nabi Muhammad saw.

Ketika Negara Islam pertama berdiri di Madinah, Rasulullah saw. sebagai kepala negara menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan. Selain shalat lima waktu, masjid juga menjadi tempat diadakan halaqah-halaqah ilmu, disampaikan khutbah setiap Jumat, dan di dalamnya dibacakan al-Quran.  Menurut an-Naqbi, pada masa Nabi saw. di Madinah terdapat lebih dari empat puluh masjid di Madinah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah jarak penduduk Madinah dengan masjid Rasulullah saw.1

Nabi saw. juga menyediakan fasilitas di sisi utara Masjid Nabawi, yaitu Shuffah, yang dihuni oleh fakir miskin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan para pendatang dari orang-orang asing. Di antara kegiatan penghuni Suffah adalah belajar membaca dan menulis. Salah satu yang menjadi pengajar mereka adalah Ubadah bin Shamit. Ubadah bin Shamit berkata: “Aku mengajarkan kepada sebagian penghuni Shuffah menulis dan al-Quran.”2

Selain masjid, berdiri pula pusat-pusat pengajaran lainnya di Madinah, seperti kuttaab. Kuttaab adalah ruangan kecil untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis dan menghapalkan al-Quran.3 Khatib al-Baghdadi menukil perkataan Ibnu Mas’ud: “Apakah kalian ingin saya membaca seperti bacaan Zaid? Saya telah membaca tujuh puluh surah langsung dari Rasulullah saw., sedangkan Zaid masih bolak-balik ke kuttaab.”4

Pentingnya pendidikan kepada rakyat juga ditunjukkan oleh Nabi saw. yang memberikan syarat tebusan kepada tawanan Perang Badar untuk mengajar anak-anak penduduk Madinah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang berkata: “Ada beberapa tawanan pada hari Perang Badar yang tidak memiliki tebusan. Rasulullah saw. menjadikan tebusan mereka adalah dengan mengajarkan anak-anak kaum Anshar menulis.”5

Ibnu Saad menuturkan riwayat dari ‘Amir yang berkata: “Tebusan bagi orang-orang yang tertawan dalam Perang Badar adalah empat puluh uqiyah.6

Bagi siapa yang tidak memilikinya, dia harus mengajarkan sepuluh orang Muslim cara menulis. Zaid bin Tsabit adalah salah satu dari mereka yang diajar.”7

Tindakan Nabi saw. tersebut menjadi dalil bahwa kepala negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya. Hal ini disebabkan oleh tawanan tersebut yang merupakan ghaniimah (harta rampasan perang) dan termasuk harta milik negara yang dibelanjakan demi kepentingan kaum Muslim. Selain itu, pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka. Dengan itu mereka mampu memperoleh manfaat dan menghindari kemadaratan. Oleh karena itu, negara wajib menyediakan layanan tersebut sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, khususnya pendidikan dasar dan menengah yang saat ini menjadi kebutuhan primer. Kemudian pendidikan tinggi yang menjadi kebutuhan pokok bagi umat, seperti kedokteran, juga wajib disediakan sebagaimana halnya pendidikan dasar dan menengah secara gratis tanpa bayaran.8

 

Masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara terhadap pendidikan semakin besar sejalan dengan makin luasnya wilayah Negara Islam.  Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. telah memerintahkan untuk memberikan tunjangan bagi para guru. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Al-Wadhin bin ‘Atha’ yang berkata: “Ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan nafkah kepada masing-masing dari mereka 15 dirham setiap bulan.”9   

Ketika penaklukan semakin banyak dan orang-orang non-Arab serta penduduk pedalaman memeluk Islam, serta banyak anak-anak yang lahir, Khalifah Umar memerintahkan untuk membangun rumah-rumah untuk pendidikan dan menempatkan orang-orang untuk mengajar dan mendidik anak-anak.10

Pada masa Khalifah Umar, Yazid bin Abi Sufyan menulis surat kepada dia: “Sesungguhnya penduduk Syam telah bertambah banyak. Mereka telah mengisi kota-kota. Mereka membutuhkan orang-orang yang dapat mengajarkan al-Quran kepada mereka dan memahaminya. Karena itu tolonglah saya dengan orang-orang yang dapat mengajarkan mereka.”

Lalu Khalifah Umar  mengutus Muadz, Ubadah dan Abu ad-Darda’.11

Diriwayatkan bahwa Abu ad-Darda’ mengajar lebih dari 1.600 orang di masjid jami’ di Damaskus. Dari Muslim ibn Mishkam: Abu ad-Darda berkata kepadaku: “Hitunglah jumlah orang yang ada di majelis kami.” Dia berkata, “Mereka datang berjumlah seribu enam ratus lebih sedikit. Mereka membaca dan berlomba-lomba masing-masing sepuluh orang. Ketika shalat shubuh selesai, beliau menghadap mereka, membaca satu juz, dan mereka berkumpul di sekelilingnya, mendengarkan kata-katanya.” 12

 

Masa Khilafah Umayah

Pada masa Daulah Umayah, pendidikan mengalami perkembangan seiring dengan meluasnya wilayah Negara Islam. Di era tersebut, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga berkembang menjadi pusat pendidikan, yang beberapa kemudian bertransformasi menjadi universitas terkemuka. Salah satunya adalah  Universitas Al-Karaouine (Al-Qarawiyyin) yang didirikan pada tahun 859 dan dianggap oleh UNESCO serta Guinness Book of World Records sebagai universitas yang terus beroperasi dan tertua di dunia.13

Beberapa masjid yang menjadi pusat pendidikan pada periode Khilafah Umayah antara lain: Masjid Agung Kairouan, Tunisia, yang  didirikan oleh panglima penakluk Uqbah bin Nafi’ pada tahun 53 H/693 M.  Di dalamnya terdapat dua sayap: sayap untuk para pria dan sayap untuk wanita.  Masjid lainnya, yaitu Masjid Zaituniyah, Masjid al-Aqsha dan Masjid Qubbah ash-Shakhrah, Masjid Agung Wasith di Iraq dan Masjid Jami Umawi di Damaskus. Selain itu, terdapat berbagai kuttaab yang menjadi tempat belajar anak-anak berbagai tsaqaafah Islam, seperti membaca dan menulis al-Quran.14

Madaini menyebutkan bahwa anggaran tahunan Damaskus yang ditetapkan oleh Muawiyah mencapai empat ratus ribu dinar. Itu setelah dipotong pengeluaran wajib untuk Diwan Tentara dan para gubernur, para ahli fiqh, muazin dan hakim.15

Rajaa’ bin Haywah (wafat 113 H/723 M)—seorang  tabiín ahli fiqih yang tinggal di Palestina—menerima gaji sebesar tiga puluh dinar setiap bulan dari Yazid bin Abdul Malik.16

Khatib al-Baghdadi menyatakan bahwa wajib atas Imam untuk menetapkan nafkah bagi orang yang menugaskan dirinya untuk mengajar fikih dan memberikan fatwa dalam hukum-hukum, sejumlah yang dapat mencukupi dirinya agar tidak perlu berprofesi lain untuk mencari nafkah. Nafkah tersebut diambil dari Baitul Mal kaum Muslim. Al-Baghdadi kemudian mengutip sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis kepada gubernur Homs: “Lihatlah kaum yang mengkhususkan diri mereka untuk ilmu fiqih sehingga mereka mengurung diri di masjid dan meninggalkan pencarian dunia. Berilah setiap orang dari mereka seratus dinar yang dapat mereka gunakan untuk kebutuhan mereka, dari harta umat Muslim, ketika suratku ini sampai kepadamu. Sebaik-baik kebaikan adalah yang dilakukan dengan segera. Semoga keselamatan tercurah kepada dirimu.”17

Khalifah juga berupaya memperluas jangkauan pendidikan ke berbagai wilayah hingga ke perkampungan dengan mengirim para ulama yang mendapatkan gaji dari Negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengutus Yazid bin Abi Malik ad-Dimasyqi dan Al-Harits bin Yamjud al-Asy’ari untuk mengajarkan fiqih kepada masyarakat badui dan memberikan gaji kepada keduanya. Yazid menerima, tetapi Al-Harits menolak. Lalu dia menulis hal itu kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar pun menulis, “Kami tidak memandang ada masalah dengan apa yang dilakukan Yazid, semoga Allah memperbanyak di antara kami seperti Al-Harits bin Yamjud.”18

 

Masa Khilafah Abbasiyah

Perhatian Khalifah pada masa Khilafah Abbasiyah terhadap pendidikan termasuk dari aspek pembiayaan juga sangat besar. Diriwayatkan oleh Ibnu Khalikah, bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Kufah, ia memerintahkan untuk memberikan dua ribu dirham kepada setiap qari’ yang masyhur. Meskipun demikian, karena kezuhudan terhadap dunia, tidak semua menerimanya. Salah satunya adalah Dawud ath-Tha’i. Dia dengan rendah hati menolak menerima uang itu.19

Pada masa itu orangtua murid juga dapat memberikan upah kepada guru yang mengajari anak-anak mereka. Meskipun demikian, sebagian dari guru tidak mengambil upah dari kegiatan mengajar mereka. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Aku adalah seorang yatim dalam asuhan ibuku. Dia mengirimku ke kuttaab. Namun, dia tidak memiliki uang untuk membayar guru. Guru itu rela aku gantikan ketika dia pergi. Ketika aku telah menghapal al-Quran, aku masuk ke masjid dan duduk bersama para ulama. Aku mendengar hadis dan permasalahan, lalu menghapalnya.”20

Pada masa Khilafah Abbasiyah, sekolah-sekolah dalam bentuk wakaf berkembang dengan pesat. Di antaranya ada yang khusus untuk mengajarkan al-Quran, tafsir, hadis dan fiqih. Ada pula madrasah untuk ilmu kedokteran. Juga madrasah untuk anak-anak yatim. Masa ini juga menyaksikan kelahiran madrasah-madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Naisabur dan Thus yang didirikan oleh Wazir Seljuk, Nizham Al-Mulk (w. 485H/1092M). Sistem tunjangan keuangan dan pelayanan khusus untuk guru dan murid diberikan secara sama.  Disebutkan bahwa Nizham al-Mulk menginfakkan 600.000 dinar untuk pendidikan. Nilai wakaf Nizhamiyah Baghdad saja diperkirakan 60.000 dinar, dengan penghasilan tahunan 15.000 dinar.21

Sistem pendidikan tersebut kemudian dikenal dengan istilah Nizhamiyyah. Dia meletakkan dasar bagi sekolah-sekolah lainnya.  Bahkan universitas-universitas Eropa saat ini pada dasarnya mengikuti model Nizhamiyyah yang ada di Baghdad.22

Pada masa Khilafah Abbasiyah, ilmu kedokteran juga berkembang pesat sejalan dengan perkembangan pelayanan kesehatan yang disediakan gratis. Salah satunya melalui pembangunan pelayanan kesehatan Bimaristan (bahasa persia, bimar yang berarti sakit dan satan berarti tempat atau rumah23), yang merupakan rumah sakit lengkap dengan layanannya. Bimaristan ini, selain sebagai tempat pengobatan, juga memiliki sekolah kedokteran, ruang-ruang kuliah, perpustakaan medis yang penuh dengan buku, dan layanan lainnya. Salah satu Bimaristan yang paling terkenal adalah Bimarastan ar-Rashid. Pelayanannya diberikan secara gratis. Ada pula Bimaristan Ahmad bin Thulun yang didirikan di Kairo pada tahun 259 H/873 M, yang terdiri dari rumah sakit dan fakultas kedokteran, serta perpustakaan yang berisi lebih dari seratus ribu jilid buku dalam berbagai spesialisasi.24

 

Khatimah

Demikianlah sekelumit gambaran politik pendidikan dalam Islam yang telah menjadi bagian integral dari pembangunan peradaban Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw., masa Khulafaur Rasyidin, serta Kekhilafahan setelahnya. Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya tanpa memandang agama, suku, ras, dan status ekonomi dan sosial mereka. Tunjangan diberikan kepada guru-guru secara layak. Khalifah juga mengutus para ulama ke berbagai wilayah Islam dengan dukungan finansial yang sangat memadai. Dengan model pendidikan tersebut, lahirlah para ulama yang menghasilkan karya-karya intelektual yang tinggi, tidak hanya terbatas pada tsaqaafah Islam, tetapi juga mencakup berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia seperti kedokteran, kimia dan astronomi. Semua itu adalah buah ketika ideologi Islam menjadi dasar politik pendidikan negara.

WalLaahu a’lam bi ash-shawab. [Muis].

 

Catatan kaki:

1        Abd al-Rahim ‘Abd Allah Muhammad al-Naqbiy, al-Ta’lîm fî al-‘Ashr al-Umawî (14 – 431 H / 664 – 917 M) (n.d., 1431 H / 2010), 40.

2        Abu Dawud Sulayman ibn al-Ash’ath al-Azdiy al-Sijistaniy, ed. Shu’ayb al-Arna‘um dan Muhammad Kamal Qara’bulus (Beirut: Dar al-Risalah al-‘Alamiyyah, 1430 H/2009), vol. 5, 290, no. 3417.

3        Ahmad Mukhtar Abdul Hamid Omar, Mu‘jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah (Cairo: ‘Alam al-Kutub, 2008), vol. 3, 930.

4        Al-Khatib al-Baghdadiy, al-Jâmi’ li-Akhlâq al-Râwî wa-Âdâb al-Sâmi’, ed. Dr. Mahmud al-Thahhan (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1444 H), vol. 2, 92.

5        Ahmad ibn Hanbal. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, ed. Syu’aib al-Arnauth, et al. (Beirut: Mu‘assasah al-Risalah, 1421 H/2001), vol. 4, 92, no. 2216. Menurut al-Arna’uth et al., hadis ini hasan.

6        Satu uqiyah setara dengan sekitar 29,75 gram perak, sehingga 40 uqiyah setara dengan sekitar 1.190 gram perak.

7        Ibn Sa’d, Muhammad ibn Sa’d ibn Mani’ al-Hashimiy al-Bashriy, ed. Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Atha (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410 H/1990), vol. 2, 16.

8        Hizbut Tahrir, Muqaddimah al-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibatu Lahu (Beirut: Dar al-Ummah, 2010), vol. 2, 174.

9        Abu Bakr bin Ahmad bin Husain bin ‘Aliy Al-Baihaqiy, Sunan al-Kubrâ, ed. al-Turkiy (Kairo: Dar al-Fikr, 2011), vol. 12, 138, no. 11.788.

10      ‘Abd al-Hayy al-Kattaniy, al-Tarâtîb al-Idârîyah, ed. ‘Abdullah al-Khalidiy, 2nd ed. (Beirut: Dar al-Arqam, n.d.), vol. 2, 200.

11      Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Uthman al-Dzahabiy, Siyar A’lâm al-Nubalâ` (Beirut: Mu`assasat al-Risalah, 3rd ed., 1405 H/1985), vol. 2, 344.

12      al-Dzahabi. Siyar A’lam al-Nubalâ‘, vol. 2, 346.

13      Chris Griffiths and Thomas Buttery, “The World’s Oldest Centre of Learning”, BBC Travel, March 20, 2018, diakses  10 Juni 2024, https://www.bbc.com/travel/article/20180318-the-worlds-oldest-centre-of-learning.

14      Al-Naqbiy, al-Ta’lîm fî al-‘Ashr al-Umawî, 91.

15      Ibn ‘Asakir, Târîkh Madînat Dimashqa, ed. Muhibbuddin Abu Sa’id ‘Umar ibn Gharama al-‘Amrawiy (Beirut: Dar al-Fikr li-al-Thaba’ah wa-al-Nashr wa al-Tawzi¿, 1415H/1995), vol. 1, 235.

16      Al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ‘, vol. 4, 559.

17      Al-Khathib al-Baghdadiy, al-Faqîh wa-al-Mutafaqqih, ed. Abu ‘Abd al-Rahman ‘Adil ibn Yusuf al-Gharaziy (Saudi Arabia: Dar Ibn al-Jawzi, 2nd ed., 1421 H), vol. 2, 347; Ad-Dimasyqi, Târîkh al-Dimasyqi, vol 46, 320.

18      Al-Khathib al-Baghdadi, vol. 46, 348.

19      Abu al-‘Abbas Shamsuddin Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abi Bakr ibn Khallikan al-Barmaki al-Irbiliy, Wafayât al-A’yân wa Anbâ` Abnâ` al-Zamân, ed. Ihsan ‘Abbas (Beirut: Dar Shadir), vol. 2, 261.

20      Abu Bakr Ahmad ibn al-Husayn al-Bayhaqi, Manâqib al-Syâfi’iy, ed. al-Sayyid Ahmad Shaqr (Cairo: Maktabat Dar al-Turatts, 1st ed., 1390 AH/1970 AD), vol. 1, 92.

21      Al-‘Amanah al-‘Âmmah li al-Awqâf, Mudawwanat Ahkâm al-Waqf al-Fiqhiyyah (Kuwayt: Al-Ula, 1439 H/2017), vol. 1, 56.

22      Said Nafisy, “al-Madrasah al-Nizhâmiyah fî Baghdâd”, al-Dirasah al-Adabiyyah 9, no. 1-2 (1967): 67-92.

23      Ahmad ‘Isa, Târîkh al-Bîmâristânât fî al-Islâm, 2nd ed. (Beirut: Dar al-Ra’id al-‘Arabi, 1981), 6.

24      Al-‘Amânah al-‘Âmmah li-l-Awqâf, Mudawwanat Ahkâm al-Waqf al-Fiqhiyyah, vol. 1, 53.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + one =

Back to top button