Tafsir

Kemuliaan Bagi Kaum yang Bertakwa

وَأُزۡلِفَتِ ٱلۡجَنَّةُ لِلۡمُتَّقِينَ غَيۡرَ بَعِيدٍ  ٣١

Didekatkanlah surga itu kepada kaum yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh (dari mereka). (QS Qaf [50]: 31).

 

Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang keadaan Neraka Jahanam pada Hari Kiamat. Pada hari itu Allah SWT bertanya kepada Neraka Jahanam, apakah neraka tersebut sudah penuh. Kemudian dijawab: masih ditambah.

Kemudian dilanjutkan berita tentang surga; bahwa surga didekatkan kepada kaum yang bertakwa.

 

Tafsir Ayat:

وَأُزۡلِفَتِ ٱلۡجَنَّةُ لِلۡمُتَّقِينَ ٣١

Didekatkanlah surga itu kepada kaum yang bertakwa.

 

Ayat ini masih berbicara tentang keberadaan Hari Kebangkitan dengan mengabarkan sebagian kejadian yang terjadi pada hari itu. Setelah menerangkan percakapan yang terjadi antara orang kafir dan setan yang jadi qarîn-nya pada Hari Kiamat, Allah SWT menerangkan keadaan kaum yang bertakwa.

Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memberitakan tentang siksaan yang akan diterima oleh para penghuni neraka. Sebaliknya, ayat ini memberitakan kenikmatan yang akan diterima oleh penghuni surga. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ini sejalan dengan kelaziman al-Quran yang membandingkan hal-hal yang bertentangan atau berlawanan dengan penyebutan sesuatu yang menjadi lawannya. Dengan demikian diharapkan manusia waspada dan takut, serta berhasrat dan berharap pada rahmat Allah. Dengan begitu berarti terpenuhi­lah perpaduan antara tarhîb dan targhîb; antara rasa takut dan cemas dengan harapan dan keinginan kuat.1

Dalam ayat ini diberitakan bahwa surga itu didekatkan kepada al-muttaqîn (kaum yang bertakwa). Mereka adalah kaum yang tunduk dan taat pada syariah dalam semua aspeknya atas dasar keimanan dan dorongan mendapatkan ridha dan pahala-Nya.

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Surga didekatkan kepada kaum yang bertakwa kepada Tuhan mereka. Mereka takut terhadap hukuman Allah dengan menunaikan semua kewajiban-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”2

Secara bahasa, kata « أزلف الشَّيءَ » bermakna « قرَّبه وقدَّمه » (dia mendekatkan dan memajukannya). Makna tersebut seperti dalam firman-Nya:

وَأَزۡلَفۡنَا ثَمَّ ٱلۡأٓخَرِينَ  ٦٤

Di sanalah Kami mendekatkan golongan lain (QS asy-Syu’ara [26]: 64).

 

Artinya: « قرَّبناهم من البحر لأجل الإغراق » (Kami mendekatkan mereka dengan laut untuk ditenggelamkan).3

Makna yang sama juga terkandung dalam ayat ini. Menurut Qatadah, Abu Malik, al-Suddi, ayat ini bermakna: « أُدْنِيَتْ وَقُرِّبَتْ مِنَ الْمُتَّقِينَ » (didekatkanlah surga itu kepada kaum yang bertakwa).4

Menurut al-Qurthubi, maknanya: « فربت مِنْهُمْ » (didekatkan kepada mereka).5

Abu Bakar al-Jazairi berkata, “« قربت الجنة لِلْمُتَّقِينَ » (surga didekatkan kepada kaum yang bertakwa). Mereka adalah orang-orang yang menjauhi syirik dan kemaksiatan.”6

Penggunaan bentuk al-fi’l al-mâdhî (kata kerja lampau) pada kata tersebut: « أُزْلِفَتِ » (telah diidekatkan) dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peristiwa tersebut benar-benar telah terjadi dan pasti terjadi.7

Berita bahwa surga didekatkan kepada kaum yang bertakwa juga disebutkan dalam ayat lainnya, yakni:

وَأُزۡلِفَتِ ٱلۡجَنَّةُ لِلۡمُتَّقِينَ  ٩٠

Surga didekatkan kepada kaum yang bertakwa (QS asy-Syu’ara‘ [26]: 90).

 

Juga dalam firman-Nya:

وَإِذَا ٱلۡجَنَّةُ أُزۡلِفَتۡ  ١٣

Jika surga itu didekatkan (QS at-Takwir [81]: 13).

Hanya saja, terdapat perbedaan tentang waktu kejadian peristiwa itu. Ada yang mengatakan, itu terjadi sebelum mereka masuk surga saat masih di dunia. Kaum yang bertakwa itu sudah didekatkan dengan surga ketika dikatakan kepada mereka, “Hindarilah perbuatan maksiat!”8

Asy-Syaukani juga mengutip sebuah pendapat yang mengatakan bahwa ketika di dunia hati mereka sudah dihiasi dengan dorongan dan ancaman sehingga hati mereka menjadi dekat (dengan surga).9

Sebagian lainnya mengatakan, itu terjadi pada Hari Kiamat sesaat mereka akan dimasukkan surga. Surga itu didekatkan kepada tempat para penghuninya sehingga mereka tidak perlu menempuh perjalanan jauh.10

Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Surga itu didekatkan sehingga bisa disaksikan dan dilihat berbagai kenikmatannya yang abadi, keelokannya dan kesenangannya yang ada di dalamnya.”11

Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi mengutip penjelasan para ulama bahwa surga didekatkan kepada mereka sebelum mereka masuki. Padahal mereka masih berada dalam dahsyatnya keadaan, yaitu Hari Kiamat dan hisab. Surga didekatkan kepada mereka agar mereka merasa tenteram dengan itu dan agar keadaan yang berat itu menjadi lebih ringan bagi mereka.12

Menurut Ibnu Asyur, surga itu sudah ada sebelum kedatangan kaum yang bertakwa. Karena itu kata “mendekatkan” di sini bisa bermakna: mereka dibangkitkan di tempat hisab yang dekat dengan surga sebagai karâmah atau penghormatan kepada mereka untuk meringankan beban mereka. Bisa juga untuk mengungkapkan kemudahan sampainya mereka di surga dengan cara yang tidak diketahui menurut kebiasaan penduduk dunia.13 Menurut Muhammad al-Amin al-Harari, pendapat kedua lebih tepat.14

Kemudian disebutkan:

غَيۡرَ بَعِيدٍ  ٣١

Pada tempat yang tidak jauh (dari mereka).

 

Maknanya: « وَلَيْسَ بِبَعِيدٍ » (tidak jauh). Artinya, surga tidak jauh dari mereka. Ini merupakan ta’kîd (penguatan).15

Kata « غَيْرَ » pada frasa « غَيْرَ بَعِيدٍ » di-nashab-kan sebagai zharf (keterangan). Menurut sebagian ulama, ini merupakan zharf al-zamân (keterangan waktu). Dengan demikian makna ghayru ba’îd adalah tidak lama atau sebentar lagi. Hari Kiamat disebut ghairu ba’îd yang bermakna « وَلَيْسَ بِبَعِيدٍ » (tidak jauh), karena pasti terjadi, dan tidak mustahil. Setiap yang akan terjadi adalah dekat masanya.16 Allah SWT juga berfirman:

وَأَنذِرۡهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡأٓزِفَةِ ١٨

Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (Hari Kiamat) (QS Ghafir [40]: 18).

 

Hari Kiamat disebut dengan hari dekat karena: « كَلُّ مَا هُوَ آتٍ قَرِيبٌ » (semua yang pasti datang itu dekat).17  Ini memberikan makna at-tawkîd (menguatkan, mengukuhkan).

Ada juga yang mengatakan itu sebagai zharf al-makân (keterangan tempat), yakni: tempat yang tidak jauh dari mereka18. Artinya, tempatnya sangat dekat. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zamakhsyari; di tempat yang tidak jauh.19

Menurut al-Harari, frasa tersebut berarti tempat yang tidak jauh dari mereka. Dengan begitu mereka dapat menyaksikan tempat itu dari tempat mereka berdiri (pada Hari Kiamat). Meeka pun dapat melihat apa yang ada di dalamnya sebelum mereka masuki, yaitu berupa berbagai macam keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam hati manusia. Lalu mereka pun bergembira karena mereka digiring menuju surga itu dan akan mereka peroleh.20

Wahbah az-Zuhaili juga berkata, “Surga didekatkan kepada kaum yang bertakwa dengan sedekat-dekatnya dan tidak jauh, atau berada di tempat yang tidak jauh, bahkan dapat terlihat oleh mereka. Mereka dapat menyaksikan surga itu dari tempat mereka. Mereka pun bisa melihat apa saja yang ada di dalamnya, yaitu berupa berbagai hal yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga serta tak pernah terbersit dalam hati dan pikiran manusia.”

Asy-Syaukani juga mengetengahkan sebuah penafsiran yang mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah surga itu di tempat yang tidak jauh dari mereka. Dalam arti, mereka dapat menyaksikan surga dari tempat mereka sendiri dan mereka dapat melihat di dalamnya apa saja yang belum pernah dilihat, belum pernah didengar, dan belum pernah terbersit di dalam benak manusia.22

Hal yang sama juga dikemukakan oleh banyak mufassir lainnya, seperti al-Baidhawi, al-Khazin, al-Jazairi, Ibnu Asyur, dan lain-lain. Menurut mereka, makna « غَيْرَ بَعِيدٍ » adalah tempat surga tidak jauh karena mereka bisa lihat.23

Demikianlah. Kaum yang bertakwa mendapatkan kemuliaan dan penghormatan di akhirat. Mereka dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Lebih dari itu, surga pun didekatkan kepada mereka. Sudah semestinya kita merindukan untuk mendapatkan surga dengan mengokohkan keimanan dan meningkatkan ketaatan. Itulah ketakwaan yang sempurna.

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

  1. Al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 307
  2. al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 363
  3. Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 2 (tt: ‘Alam al-Kutub, 2008), 991
  4. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 40
  5. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 19
  6. al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5, 148
  7. Abu al-Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, 6 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 251; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993) , 99
  8. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 19
  9. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 92
  10. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 19
  11. al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 806
  12. al-Sya’rawi, al-Khawâthir, 17 (Kairo: Mtahabi’ Akhbar al-Yawm, 1997), 10607
  13. Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 26 (Tunis: Dar al-Tunisiyyah, 1984), 319
  14. al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, 27 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 469
  15. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 19
  16. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 406
  17. al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 15, 302
  18. al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 177
  19. al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1984), 389
  20. al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, 27, 469
  21. al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, 26, 307
  22. al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 92
  23. al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1998), 143; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 189; Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 26, 319; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 148

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three + 10 =

Back to top button