Takrifat

Sebab dan Keadaan al-Mujmal

أَسْبَابُ وَحَالَاتُ الْمُجْمَلِ

Sebuah dalil, baik ayat al-Quran atau teks as-Sunnah, dikatakan sebagai dalil mujmal jika menunjukkan pada lebih dari satu madlûl (makna) yang salah satunya tidak memiliki keistimewaan atas yang lainnya dan untuk diamalkan memerlukan penjelasan. Jadi dalil mujmal itu memiliki dalâlah, tetapi dalâlah-nya tidak jelas. Karena itu untuk bisa diamalkan harus ada penjelasan atasnya.

Para ulama ushul telah merinci sebab-sebab dan keadaan-keadaan al-mujmal. Sebagiannya disepakati dan sebagiannya diperselisihkan apakah merupakan mujmal atau bukan mujmal.

Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, dengan mengelaborasi (istiqrâ‘) nas-nas syar’iyyah menjadi jelas bahwa keadaan-keadaan paling menonjol dari al-mujmal itu ada tujuh keadaan, yaitu: (1) ijmâl dalam perbuatan; (2) lafal-lafal musytarak; (3) lafal-lafal murakkab; (4) kembalinya dhamîr pada lebih dari satu arah secara setara; (5) keraguan antara al-waqfu dan al-ibtidâ‘; (6) ibhâm (ketidakjelasan) makna yang digunakan; (7) lafal-lafal yang dialihkan dari hakikat lughawiyah ke hakikat syar’iyyah.

 

  1. Ijmâl dalam Perbuatan.

Yang dimaksud adalah perbuatan Rasul saw. yang mujmal, yakni dalâlah-nya tidak jelas. Misal, Rasul saw. melakukan satu perbuatan di depan para Sahabat yang madlûl-nya yang dimaksudkan tidak jelas bagi mereka meski pada akhirnya menjadi jelas setelah ada penjelasan dari Rasul saw. Misal, dalam hadis Dzul Yadayn, bahwa Rasul saw. salam setelah dua rakaat dalam shalat ‘Ashr. Hal itu berkumungkinan dalâlah atas qashr shalat atau lupa. Itu memerlukan penjelasan (bayân) dari Rasulullah saw. berupa jawaban beliau pada Dzul Yadayn untuk menjelaskan dalâlah itu.

Abu Hurairah ra. menuturkan (dalam redaksi Imam al-Bukhari):

أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ انْصَرَفَ مِنَ اثْنَتَيْنِ، فَقَالَ لَهُ ذُو اليَدَيْنِ: أَقَصُرَتِ الصَّلَاةُ يَا رَسُولَ اللهِ، أَمْ نَسِيتَ؟ فَقَالَ: «أَصَدَقَ ذُو اليَدَيْنِ؟»، فَقَالَ النَّاسُ: نَعَمْ، فَقَامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ كَبَّرَ، ثُمَّ سَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ، ثُمَّ رَفَعَ، ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ، ثُمَّ رَفَعَ

Rasulullah saw. beralih (mengucap salam) setelah dua rakaat. Lalu Dzul Yadayn berkata kepada beliau, “Apakah shalatnya di-qashr atau engkau lupa, ya Rasulullah?” Beliau bertanya, “Apakah Dzul Yadayn benar?” Orang-orang berkata, “Benar.” Lalu Rasulullah saw. berdiri dan shalat dua rakaat lainnya, kemudian salam, lalu bertakbir, kemudian sujud seperti sujud beliau atau lebih lama, kemudian beliau mengangkat (duduk), lalu bertakbir dan sujud seperti sujud beliau, kemudian duduk.” (HR al-Bukhari no. 7250, Muslim no. 573, at-Tirmidzi no. 399).

Di sini salam Rasul saw. setelah dua rakaat itu mujmal dalâlah-nya antara karena lupa atau sebagai qashr shalat. Lalu ada penjelasan dari beliau bahwa itu lupa, kemudian beliau melengkapi dengan dua rakaat lagi, lalu sujud dua kali sujud (sujud sahwi).

Di dalam as-Sunnah, dijelaskan beberapa kejadian semisal itu, yakni perbuatan Rasul saw. yang awalnya mujmal, lalu ada penjelasan dari beliau.

Secara keseluruhan, yakni pada akhirnya, perbuatan-perbuatan Rasul saw. itu semuanya jelas dalâlah-nya bagi kita. Hal itu dengan adanya penjelasan dari Rasul saw. tentang dalâlah perbuatan beliau; atau dalâlah-nya menjadi jelas melalui indikasi (qarînah) yang ada, baik indikasi yang menunjukkan arah perbuatan Rasul saw. ke arah wajib, manduub atau mubah; dan indikasi yang menunjukkan apakah perbuatan itu berlaku umum untuk beliau dan kita atau hanya khusus bagi beliau dan tidak untuk kita. Pembahasan ini sudah dibahas dalam pembahasan indikasi arah perbuatan Rasul saw.

 

  1. Lafal Musytarak.

Mujmal dapat terjadi karena lafal mufrad musytarak, yakni lafal yang secara bahasa mempunyai beberapa makna, baik yang berbeda seperti lafal al-‘ayn yang bermakna: mata air, mata, matahari, emas; lafal al-mukhtâr dengan makna faa’il atau maf’uul; atau dengan makna berlawanan seperti lafal al-qur`u yang bermakna haid dan suci. Ini seperti dalam firman Allah SWT:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ٢٢٨

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS al-Baqarah [2]: 228).

Lafal qurû‘ bermakna haid dan suci sehingga bersifat mujmal. Dengan adanya indikasi (qarînah) menjadi jelas bahwa yang râjih (kuat) adalah makna haid.

 

  1. Lafal Murakkab (Tarkîb).

Mujmal juga dapat terjadi pada lafal murakkab atau tarkîb. Dalam hal ini, tarkiib di dalam nas memiliki lebih dari satu dalâlah yang setara. Karena itu untuk dapat diamalkan perlu penjelasan (bayân) berupa indikasi yang menjelaskan atau menguatkan makna yang dimaksudkan. Contohnya dalam firman Allah SWT:

أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ ٢٣٧

…atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (QS al-Baqarah [2]: 237).

Lafal ( الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ) dalâlah-nya menunjuk pada wali atau suami sehingga bersifat mujmal. Dengan adanya indikasi menjadi jelas bahwa yang râjih adalah suami.

 

  1. Kembalinya Dhamîr pada Lebih dari Satu Secara Sama.

Contohnya dalam firman Allah SWT:

… إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥۚ ١٠

…Kepada Allahlah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih Dia naikkan (QS Fathir [35]: 10).

Dhamîr muttashil dalam lafal yarfa’uhu berkemungkinan kembali pada amal shalih, dengan makna, Allah menaikkan amal shalih, yakni menerimanya; atau berkemungkinan kembali pada alkalimu ath-thayyibu, yakni bermakna bahwa amal shalih menaikan perkataan baik kepada Allah SWT.

 

  1. Keraguan al-waqfu dan al-ibtidâ‘.

Misal, dalam firman Allah SWT:

… وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ ٧

…dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya… (QS Ali Imran [3]: 7).

Untuk menentukan posisi al-waqfu, apakah setelah lafal Allâh atau setelah lafal ar-râsikhûna fî al-‘ilmi, memerlukan adanya indikasi (qarînah). Dengan indikasi yang menyertai, menjadi jelas bahwa yang râjih adalah al-waqfu itu setelah lafal ar-râsikhûna fî al-‘ilmi. Dengan demikian ayat ini memberikan dalâlah bahwa takwil ayat mutasyabih juga diketahui oleh ar-râsikhûna fî al-‘ilmi (ulama yang mendalam ilmunya).

 

  1. Ibhâm (Ketidakjelasan) Makna yang Digunakan.

Ini seperti bahwa lafal itu mubham (tidak jelas), tidak tertentu (ma’lûm) makna yang diinginkan pada pihak yang diseru, kecuali dengan penjelasan seperti tafsir atas lafal tersebut atau ada indikasi lainnya. Contohnya lafal al-kalâlah dalam firman Allah SWT QS an-Nisa‘ [4]: 12 dan 176. Ini lafal mujmal yang memerlukan penjelasan dan telah dijelaskan dalam riwayat yang ada.

 

  1. Lafal yang Dialihkan dari Makna Bahasa (Haqîqat Lughawiyyah) ke Makna Syar’iy (Haqîqat Syar’iyyah)

Ini seperti lafal ash-shalât, az-zakât, ash-shawm dan isim-isim syar’iy lainnya. Terkait isim syar’iy ini, tata cara baru mengenai lafal-lafal ini setelah dialihkan dari makna bahasanya adalah termasuk mujmal yang memerlukan penjelasan (bayân).

Adapun dari sisi unit/satuan yang terderivasi di bawahnya atau dari sisi cakupan lafal itu terhadap unit/satuannya, maka lafal itu merupakan lafal umum yang tidak memerlukan penjelasan. Contohnya sabda Rasul saw:

«لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ إِلَّا بِطُهُورٍ»

Shalat tidak diterima kecuali dengan kesucian (HR. ad-Daraquthni no. 1341, at-Tirmidzi no. 1, Ibnu Khuzaimah no. 9, Ibnu Hibban no. 3366).

Shalat tidak sah kecuali dengan wudhu (bersuci). Lafal shalât[un] adalah nakirah dalam konteks penafian dan itu termasuk lafal umum. Jadi hukum itu berlaku atas semua unitnya, yakni atas semua shalat tanpa perlu penjelasan.

Adapun firman Allah SWT:

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ ١١٠

Tegakkanlah oleh kalian shalat (QS al-Baqarah [2]: 110).

Lafal ash-shalâh di sini bersifat mujmal. Ini memerlukan penjelasan dengan ucapan atau perbuatan Rasul saw. untuk tata cara penegakan atau pelaksanaan shalat itu. Tanpa itu perintah tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Hal ini sama dengan lafal ash-shadaqah di dalam QS at-Taubah [9] ayat 60: “Innamâ ash-­shadaqah li al-fuqarâ‘i…” Lafal ash-shadaqah, yakni zakat, di sini termasuk redaksi umum. Jadi hukumnya berlaku atas semua unit zakat baik zakat emas dan perak, zakat uang, zakat ternak, zakat hasil pertanian dan buah-buahan, zakat perdagangan, zakat fitrah. Hal ini jelas tidak perlu penjelasan.

Namun demikian, dalam firman Allah:

وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ ١١٠

Tunaikanlah oleh kalian zakat (QS al-Baqarah [2]: 110).

Lafal az-zakâh di sini mujmal dan perlu penjelasan tentang bagaimana diambil zakat itu baik dari sisi jenisnya, kadarnya, waktunya, dan sebagainya.

Begitu pula lafal al-hâj, ash-shawm dan isim syar’iy lainnya. Semua itu adalah lafal mujmal yang memerlukan penjelasan tentang tata caranya.

Inilah sebab dan keadaan paling menonjol untuk dalil al-mujmal. Dalam hal ini, dalil itu (berupa lafal atau perbuatan) memiliki dalâlah, tetapi dalâlah-nya tidak jelas baik secara bahasa, ‘urf maupun syar’iy. Untuk bisa diamalkan, ia memerlukan penjelasan (bayân).

Semua dalil yang mujmal telah ada penjelasannya baik penjelasan secara gamblang (sharîh) atau dalam bentuk indikasi-indikasi (qarînah) yang menyertai atau berkaitan dengannya baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dengan demikian semua dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah dapat dipahami madlûl-nya dan dapat diamalkan.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 2 =

Check Also
Close
Back to top button