TarikhTsaqafah

Jaringan Ulama Bogor – Pejuang Islam Sejak Era Utsmaniyah (Abad 19–20 M) (Bagian 4)

Sejak masa Rasulullah saw. dan para Sahabat ra., Hijaz atau al-­Haramain, yakni Makkah dan Madinah, telah menjadi pusat keilmuan Islam, terutama dari sanad murid-­muridnya Sayidina Abdullah ibn Abbas ra. dan Sayidina Abdullah ibn Umar ra. Bahkan kondisinya tetap demikian meskipun ibukota Khilafah silih berganti hingga masa Khilafah Utsmaniyah di Istanbul. Peran Syarif Makkah sebagai Wali Hijaz sangat erat kaitannya dengan aktivitas ilmiah para pelajar dari berbagai negeri.

Bilad al-­Jawi sebagai negeri Islam menjadikan Hijaz sebagai “kiblat” islamisasi, terkhusus pada masa Kesultanan dan setelahnya. Pattani, Johor, Aceh, Minangkabau, Palembang, Cirebon, Banten, Mataram, Makassar, Banjar, Sambas, Mindanau hingga Bima dan Sumbawa adalah di antara bagian Bilad al-­Jawi yang terhubung secara keilmuan dengan Hijaz, tempat ibadah Haji dilaksanakan.

Disebutkan bahwa telah dikirim utusan asal Sumedang atas perintah Amir Banten, Pangeran Ratu ibn Maulana Muhammad (kelak dikenal sebagai Sultan Abu al-­Mafakhir Mahmud Abdul Qadir) kepada Syarif Makkah Sayyid Zaid ibn Muhsin al-­Hasani di Hijaz. Sepulang dari Makkah para utusan bukan hanya menerima pemberian gelar atas sang Sultan, namun juga membawa beberapa kitab yang ditujukan untuk Sultan Abu al-­Mafakhir maupun putranya, Sultan Abu al-­Ma’ali Ahmad dari Ulama Makkah, Imam Muhammad ibn ‘Allan ash-­Shiddiqi, penulis Dalîl al-­Fâlihîn Syarh Riyâdh ash-­Shâlihîn. Di antara utusan yang kembali ialah Imam Haji Wangsakara, Mufti Kesultanan Banten sekaligus pendiri Kaariaan Tangerang. Hubungan ini terus berlanjut hingga era sang Cucu, Sultan Abu al-­Fath Abdul Fattah, yang dikenal sebagai Sultan Ageung Tirtayasa. Beliau memiliki menantu sekaligus Qadhi Kesultanan Banten, yakni Syaikh Yusuf Makassar, alumni Hijaz atau al-­Haramain. Keduanya semasa dengan Shahib ar-­Ratib Habib Abdullah ibn ‘Alawi al-­Haddad al-­Husaini dan Syarif Makkah Sayyid Barakat ibn Muhammad al-­Hasani. Bahkan di lembaga pendidikan Kasunyatan di Banten terdapat ulama yang dikenal sebagai “Syaikh Madinah”.

Bukan hanya di Banten, disebutkan pula ulama yang membantu Jihad fî Sabilillah atau perlawanan Syaikh Yusuf Makassar, yakni Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan di Priangan. Beliau merupakan murid Syaikh Abdurrauf Singkel, Mufti Kesultanan Aceh dan Syaikh Abdus­syakur Banten. Ketiganya merupakan alumni Hijaz atau al-­Haramain. Di Goa Safarwadi, tempat Syaikh Abdul Muhyi membina para muridnya, terdapat simbolisasi “Jalan ke Makkah”. Inilah jaringan Ashabul Jawi yang terbentuk dan berperan dalam mentransfer pemikiran dan hukum Islam di Nusantara, sejak Aceh hingga Makassar. Jaringan tersebut memiliki pengaruh kuat dalam politik Kesultanan maupun Jihad fî Sabilillah melawan Kafir Penjajah sekitar abad ke-­17 M.

Dalam suasana panas perlawanan atau Jihad fî Sabilillah di berbagai wilayah Bilad al-­Jawi, terutama setelah Banten, Mataram dan Makassar “dikalahkan”, pada abad ke-­18 – ke-­19 M terbentuk jaringan Ulama Jawi selanjutnya. Di antara tokohnya semisal:

  1. Syaikh Abdusshamad al-­Asyi al-­Falimbani.
  2. Syaikh Daud al-­Fathani.
  3. Syaikh Abdul Wahhab al-­Buqisi.
  4. Syaikh Arsyad al-­Banjari al-­Martapuri.
  5. Syaikh Ahmad Khathib as-­Sambasi.
  6. Syaikh Abdul Mannan at-­Tarmasi.
  7. Syaikh Muhammad Shahih asy-­Syanjuri.
  8. Syaikh Muhammad Adzra‘i al-­Qaruti.

Dari daftar ulama tersebut diketahui jaringan alumni al-­Haramain menjadi penghubung Bilad al-­Jawi (Nusantara) dari Pattani, Sumatra, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi. Secara umum, mereka berperan dalam dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sebagiannya menjadi Mufti Kesultanan atau terjun ke medan Jihad fî Sabilillah.

Adapun peranan Syaikh Baing Yusuf lebih banyak terasa di Sindangkasih atau Purwakarta masa kini, yakni sebagai penghulu/qadhi dan guru/mu’allim sekaligus dai bagi masyarakat pedalaman. Di antara karya beliau yang pernah dicetak ialah Kitab Fiqih Sunda – Tasawuf Sunda. Kegiatan utama dipusatkan di Mesjid Agung yang dibangun bersama Dalem Solawat, sehingga terbentuk masyarakat Kauman di sekitar mesjid. Trah Syaikh Baing Yusuf banyak tinggal di sana dan sebagian lain membangun beberapa pesantren di daerah Pasawahan yang lebih jauh lokasinya dari pusat kota. Bersama Dalem Solawat, selain menjabat di bidang peradilan, juga berperan dalam mengatasi kekacauan yang dilakukan kaum Cina Makao di daerah Wanayasa dan sekitarnya.

Islamisasi yang diupayakan Syaikh Baing Yusuf menjadi modal yang cukup bagi masyarakat Sindangkasih (Purwakarta) dalam menghadapi westernisasi dan kristenisasi yang dilakukan Kafir Belanda di masa setelahnya. Melalui penataan kota berdasarkan etnis sebagaimana Batavia, dibangunlah Gereja Kristen Pasundan dan Rumah Sakit Zending di wilayah Pecinan (Pasar Jumat saat ini), serta diizinkan pendirian Sekolah Katolik untuk pendidikan guru, Normaal School asuhan Van Lith dari Ordo Yesuit. Hingga saat ini di wilayah Pecinan tersebut berdiri banyak gereja dengan beragam alirannya. Peranan Syaikh Baing Yusuf dan penerusnya, serta ulama-ulama setelahnya cukup berhasil melawan strategi Kolonial Belanda di bidang pemikiran. [Bagian 4]

 

Catatan kaki:

  1. Ricko Andhitiyara, Baing Yusuf Ulama Central dalam Islamisasi di Purwakarta, Al-­Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 15 No.2, Desember 2018, hlm. 211-­226

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 + 4 =

Back to top button