Siyasah Dakwah

Maulid Nabi SAW dan Pembebasan Tanah Suci

Dalam lintasan sejarah Islam setidaknya terjadi 3 (tiga) kali “musibah besar” yang menimpa umat dan menjadi penanda kemunduran paling rendah dari puncak kemajuannya, yakni: Tanah Suci, al-­Quds asy-­Syarif (Palestina) dan Syam dikuasai oleh kafir salibis dari Eropa; Ibukota Khilafah Abbasiyyah di Baghdad dihancurkan oleh kafir musyrik dari Tatar–Mongol; kaum Muslim Andalus di Eropa Barat dimusnahkan atau diusir oleh kafir Spanyol dan Portugis. Padahal pada masa sebelumnya, umat Islam terus melaju pesat dalam menyebarluaskan Islam melalui dakwah dan jihad hingga sampai batas terjauh Tours di Prancis Selatan, Kasyhgar di Turkistan Timur (Uighuristan) hingga Sind dan Hind. Peristiwa perbutan Tanah Suci al-­Quds tak pernah terlintas sebelumnya pada benak kaum Muslim. Kafir salibis atau Frank/Romawi Barat pada masa lalu berebut simpati dengan Rum/Romawi Timur untuk mendekati kaum Muslim dan negaranya pada era Khalifah Harun ar-­Rasyid dan para penerusnya. Kekuasaan mereka bertahan di Syam sekitar 1 abad. Padahal pasukan, panglima perang serta para sultan dan Khalifah masih eksis dengan segala kekuatan dan kuasanya. Ini jelas bukan sekadar “musibah” bagi kehormatan, harta dan nyawa kaum Muslim, namun juga agamanya. Sayangnya saat ini, hal semisal terjadi lagi dan bahkan lebih tragis. Yahudi yang kecil nan pengecut dengan brutal menguasai Tanah Suci, al-­Quds asy-­Syarif dan bahkan “menawan” negeri-­negeri sekitarnya dari Mesir, Turki hingga Syam dan Jazirah Arab.

Pada akhirnya, Tanah Suci al-­Quds dengan pertolongan Allah berhasil dibebaskan, pada masa lalu ataupun kelak masa mendatang. Upaya merebut kembali Tanah Suci al-­Quds pada masa lalu tak bisa dilepaskan dari rangkaian sinergi ulama, umara dan umat sejak era Hujjah Islam Imam al-­Ghazali, Sulthan al-­Auliya Imam Abdul Qadir al-­Jailani, Sultan Nuruddin az-­Zanki hingga Sultan Shalahuddin al-­Ayyubi. Di antara penguasa dan panglima perang yang menjadi rekan perjuangan Sultan Shalahuddin al-­Ayyubi ialah sang adik ipar, Al-­Malik al-­Muzhaffar Kukuburi, penguasa Irbil-­Irak. Biografi lengkap al-­Malik al-­Muzhaffar dapat ditelaah dalam Sîrah Shalâhuddîn-­nya Ibn Syaddad, Dzayl ar-­Rawdhatayn-­nya Ibn Syamah, An-­Nujûm az-­Zâhirah-­nya Ibn Tighribirdi, Al-­’Ibar­-­nya adz-­Dzahabi, Syadzarat adz-­Dzahab-­nya Ibn Rajab, Mir’ah az-­Zamân-­nya Sibth Ibn al-­Jauzi, At-­Târîkh al-­Bâhir-­nya Ibn al-­Atsir dan Wafiyât al-­A’yan-­nya Ibn Khalikan. Di antara kisah masyhur tentang beliau ialah riwayat yang menyebutkan beliau sebagai tokoh pelopor dalam mengadakan Peringatan Maulid Nabi saw. dengan uslûb perayaan yang dikenal hingga hari ini. Imam Jalaluddin as-­Suyuthi menyebutkan dalam karyanya, Husn al-­Maqshid fî ‘Amal al-­Mawlid sebagai berikut:

Yang mengawali pelaksanaan Peringatan Maulid itu ialah penguasa Irbil, Al-­Malik al-­Muzhaffar Abu Sa’id Kukuburi ibn Zainud­din Ali ibn Buktikin. Ia adalah salah seorang penguasa mulia dan pembesar yang dermawan. Ia meninggalkan jejak yang baik. Ia memakmurkan Mesjid Jami al-­Muzhaffari di lereng/kaki Gunung Qasiyun (Damaskus). Ibn Katsir berkata dalam Târîkh-­nya, ia mengadakan Maulid Syarif pada Rabi’ul Awwal dan melakukan peringatan besar-­besaran. Sifatnya gagah, pemberani, ksatria, cerdas nan berilmu rahimahulLâh wa akrama matswahu.

Memang benar, bahwa penguasa Mesir era Fatimiyah terlebih dulu mengadakan Peringatan Maulid Nabi saw. sebelum penguasa Irbil. Karena itu ada tuduhan bahwa Peringatan Maulid Nabi saw. adalah “jejak kesesatan” Syiah Isma’iliyah pada masyarakat Ahlus Sunnah. Hanya saja, hal demikian ditolak oleh Sejarahwan Mesir, Dr. Abdul Mun’im Abdul Hamid Sulthan dalam karyanya, Al-­Hayâh al-­Ijtimâ’iyyah fî al-­Ashr al-­Fâthimi dengan argumentasi sebagai berikut:

Peringatan Maulid Nabi saw. pada masa Daulah ‘Ubaidiyah (Fatimiyah) terbatas pada pembuatan dan pembagian manisan serta pemberian sedekah. Adapun perayaan resmi dilaksanakan dalam bentuk arak-­arakan yang dipimpin oleh Qadhi al-­Qudhah. Saat itu nampan-­nampan berisi manisan dibawa, lalu semua orang bergerak menuju Masjid Jami’ al-Azhar, kemudian ke Istana Khalifah tempat khutbah disampaikan. Setelah itu, mereka dipanggil menghadap Khalifah, lalu semuanya kembali ke tempat masing-­masing. Sementara itu, perayaan yang paling mendapat perhatian besar adalah hari-­hari raya Syiah.

Adapun yang dilaksanakan oleh Al-­Malik al-­Muzhaffar tak jauh berbeda dengan Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini sebagaimana disebutkan Imam as-­Suyuthi:

Sesungguhnya bentuk asal Peringatan Maulid adalah orang-­orang berkumpul. Mereka membaca ayat-­ayat al-­Quran yang mudah dibaca, meriwayatkan khabar-­khabar yang datang mengenai permulaan kehidupan Nabi SAW dan peristiwa-­peristiwa yang terjadi saat kelahirannya berupa tanda-­tanda. Lalu disajikan hidangan makanan yang mereka makan bersama. Lalu mereka pulang tanpa tambahan selain itu. Itu termasuk bagian dari bid’ah hasanah, yang pelakunya mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat bentuk pengagungan terhadap kedudukan Nabi SAW serta perwujudan rasa gembira dan sukacita atas kelahiran beliau yang mulia.

Sulit dipahami jika Shalahuddin al-­Ayyubi dan pengikutnya yang dikenal tegas terhadap Syiah Ismailiyah dan negaranya di Mesir justru melestarikan kesesatan mereka, bahkan membiarkan al-­Malik al-­Muzhaffar menjadi penyelenggara utama syiar aliran tersebut. Perlu diketahui bahwa Imam as-­Suyuthi termasuk ulama Mesir yang tentu paham dengan sejarah negerinya. Beliau bahkan menulis karya secara khusus tentang Mesir, yakni Husn al-Muhâdharah fî Akhbâr Mishr wa al-­Qâhirah.

Para penulis biografi menyebutkan bahwa Peringatan Maulid Nabi saw. yang dilakukan Al-­Malik al-­Muzhaffar ialah menebar sedekah dan hadiah, terutama makanan-­minuman serta mengundang masyarakat untuk menghadiri majelis zikir dan mendengarkan nasihat di maidan (tempat terbuka). Acara ini juga dihadiri oleh para fuqaha, kaum sufi, ahli nasihat, pakar al-­Quran dan penyair dari berbagai daerah sekitar Irbil semisal Baghdad, Maushil, Sanjar, Jazirah, Nushaibin dan negeri Ajam. Yang lebih memungkinkan, Al-­Malik al-­Muzhaffar melanjutkan amalan yang dibiasakan oleh Syaikh Umar al-­Mula‘u, ulama kinasih yang sangat dihormati nan ditaati oleh Sultan Nuruddin az-Zanki. Ibn Syamah dalam Dzayl ar-­Rawdhatayn menyebutkan, “Setiap tahun beliau mengundang untuk memperingati hari-­hari kelahiran Rasulullah SAW, yang dihadiri oleh penguasa Maushil dan para penyair. Mereka melantunkan pujian-­pujian untuk Rasulullah SAW dalam peringatan tersebut.”

Lalu apa tujuan Peringatan Maulid Nabi di era Al-­Malik al-­Muzhaffar? Memang benar, belum ditemukan literatur yang menyebutkan secara jelas alasan khusus Peringatan Maulid Nabi saw. pada masa tersebut. Namun, dengan uslûb peringatan yang menghimpun beragam kebaikan mulai dari tilawah al-­Quran, pembacaan pujian untuk Nabi saw., majelis zikir dan nasihat hingga sedekah dan pertemuan ulama, umara dan umat maka dapat dipahami apa yang menjadi tujuan dari Peringatan Maulid Nabi saw. yang dilaksanakan. Sebagian ulama menjelaskan alasan diadakan Peringatan Maulid Nabi saw. ialah untuk menampakkan syukur dan bahagia atas nikmat kelahiran beliau karena tak ada kenabian tanpa kelahiran. Imam Ibn Hajar al-­Asqalani, sebagaimana dinukil Imam as-­Suyuthi menjelaskan:

Dari peringatan itu diambil pelajaran amalan syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan pada hari tertentu, berupa nikmat atau dihindarkan dari celaka serta amalan itu diulangi pada hari tersebut setiap tahun. Syukur kepada Allah SWT bisa dilakukan dalam berbagai bentuk ibadah seperti sujud, puasa, sedekah dan tilawah. Nikmat mana yang lebih agung daripada nikmat kelahiran Nabi SAW, Nabi rahmat, pada hari tersebut?

Inilah ta’lîl (alasan) yang disampaikan oleh para ulama setelah era Al-­Malik al-­Muzhaffar yang menjelaskan tujuan umum Peringatan Maulid Nabi saw. Dari nukilan Imam as-­Suyuthi dari Imam Ibn Katsir mungkin dipahami adanya tujuan khusus dari amalan Peringatan Maulid Nabi saw. di era al-­Malik al-­Muzhaffar:

Syaikh Abu al-­Khatthab Ibn Dahiyah telah menulis untuknya beberapa jilid tentang Maulid Nabi dan menamainya At-­Tanwîr fî Mawlid al-­Basyîr an-­Nazhîr, maka dia memberikan 1000 dinar atas karyanya. Sungguh panjang masanya dalam kekuasaan hingga saat meninggalnya dan dia sedang mengepung Frank (Salibis Eropa) di Kota ‘Akka (daerah di Palestina) tahun 630.

Apakah amalan Maulid Nabi saw. pada masa tersebut secara khusus untuk menguatkan semangat Jihad fî Sabilillah? Simpulan tersebut memerlukan data dan kajian lebih lanjut. Namun, hal yang jelas ialah perintis Peringatan Maulid Nabi dari kalangan Ahlus Sunnah merupakan pahlawan umat yang “tenggelam” dalam medan Jihad fî Sabilillah hingga wafatnya, terutama dalam upaya mengusir Salibis Eropa dari al-­Quds asy-­Syarif dan Syam secara umum. Sulit dipahami jika Peringatan Maulid Nabi saw. pada masa Sang Mujahid sama sekali tak terkait dengan amal juangnya saat kondisi terjadinya salah satu dari 3 (tiga) “musibah besar” yang menimpa umat. Amalan Maulid pada masa al-­Malik al-Muzhaffar jelas bukan sekadar “ritual keagamaan” yang terbatas pada aspek ruhiah ataupun perayaan nan menghibur.

Dengan memperhatikan perjalanan umat mulai dari era Fuqaha kritis terhadap Sufiyah hingga era rihlah dan karyanya Imam Abu Hamid al-­Ghazali serta madrasah dan murid Imam Abdul Qadir al-­Jailani, maka dapat dikatakan bahwa Peringatan Maulid Nabi saw. pada masa Al-­Malik al-­Muzhaffar adalah ”puncak” dari Harakah Ishlâhiyah. Pasalnya, dalam situasi politik dan sosial sebelum, para ulama antar mazhab pemikiran atau fiqih berebut pengaruh dan kedudukan. Umara saling bersaing untuk kekuasaan hingga melemahkan Khilafah, bahkan berencana melengserkan Khalifah pada masanya. Setelah itu, kondisinya menjadi lebih baik sebagaimana tampak pada Peringatan Maulid Nabi saw. yang terdiri dari tilawah al-­Quran, syair pujian, nasihat hingga sedekah dan ekspresi bahagia. Semua itu melibatkan sinergi ulama, umara dan umat secara umum. Peringatan diselenggarakan oleh para pahlawan Islam yang berhasil mengusir Salibis Eropa dan setia kepada Sang Khalifah. Inilah amalan Maulid Nabi saw. pada masa terdahulu. Bagaimana dengan masa kini? [Ahmad Abdurrahman al- Khaddami]

 

Daftar Referensi

  1. Husn al-­Maqshid fî ‘Amal al-­Maulid, Jalaluddin as-­Suyuthi
  2. Tarikh al-­Ihtifal bi Maulid an-­Nabi, Muhammad Khalid Tsabit

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − three =

Back to top button