Afkar

Lantang Kritik Islam Politik Tapi Bisu Atas Kejahatan AS

Tidak sedikit pihak mengkritik Islam politik, khususnya yang dipresentasikan oleh Hizbut Tahrir (HT). Mereka menuding Islam politik dan HT sebagai gerakan esktremisme. Jika pelakunya orang kafir, masih bisa dimaklumi. Masalahnya, sungguh disayangkan, ada juga pelakunya dari kalangan Muslim.

Tidak terbayangkan, bagaimana bisa mereka rela menjadikan dirinya sebagai ujung tombak kaum kafir dalam memerangi Islam politik, Hizbut Tahrir dan kelompok yang mereka tuding sebagai ekstremis. Namun, anehnya orang-orang yang seperti ini tidak pernah memerangi ekstremisme dan terorisme Yahudi. Mereka tidak mengutuk tindakan entitas penjajah Zionis Yahudi yang menghancurkan Gaza, membunuh puluhan ribu warganya dan mengusir ratusan ribu lainnya. Mereka juga tidak mengecam perusakan kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat. Mereka tidak mengecam terorisme Amerika Serikat di Somalia, Irak, Afganistan dan Yaman. Mereka juga tidak mengecam terorisme India di Kashmir, atau pembantaian terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, serta penindasan terhadap Muslim Uighur di Turkistan Timur dan wilayah lainnya.

Sebaliknya, orang-orang seperti ini hanya sibuk memerangi Hizbut Tahrir dan dakwahnya untuk menyatukan kaum Muslim di bawah panji Islam, yakni panji Khilafah!

Meski disebut sebagai anggota lembaga Islam, artikel maupun ucapan orang seperti ini sama sekali tidak memancarkan aroma Islam. Pemikirannya tidak berangkat dari akidah Islam. Pemikirannya justru dipenuhi dengan nasionalisme sempit yang berusaha memecah-belah umat Islam ke dalam berbagai negara kecil, bukannya menyatukan mereka dalam satu entitas, yaitu Khilafah.

Pendapat mereka yang dipublikasikan juga berbau chauvinisme nasionalistik yang telah dikecam keras oleh Islam. Mereka membela demokrasi kufur serta negara republik yang tidak menerapkan hukum Allah!

Mereka pun mengadopsi sudut pandang Barat tentang isu Palestina sebagai “konflik” semata, bukan sebagai tanah Islam yang diduduki oleh Yahudi. Aneh, orang seperti ini melihat Palestina hanya sebagai isu kemanusiaan dan hak asasi manusia, tanpa dasar akidah Islam. Mereka mendukung solusi Barat (lama), yaitu pendirian negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967. Seakan-akan tanah yang diduduki entitas penjajah Zionis Yahudi sebelum 4 Juni bukanlah tanah Islam!

Padahal, bahkan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump telah meninggalkan solusi ini. AS kini mendorong ekspansi entitas Zionis Yahudi serta pengusiran penduduk Gaza. Namun, pihak yang menuduh Hizbut Tahrir ekstremis tidak bereaksi terhadap hal ini dan tidak mengecam ekstremisme Trump dalam menindas kaum Muslim di Palestina!

Sebaliknya, ia justru menuduh kelompok-kelompok Islam sebagai pihak yang memanfaatkan situasi untuk menuduh negara-negara Arab telah mengkhianati Palestina. Padahal sudah jelas bagi siapa pun yang memiliki akal sehat bahwa negara-negara Arab, juga negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, termasuk Indonesia, semuanya telah mengabaikan perjuangan Palestina!

 

Contoh Kasus

Salah satu contoh kasusnya adalah sebuah artikel yang mengkritik bahkan cenderung fitnah tidak berdasar yang dilakukan oleh orang semacam ini dan dimuat pada surat kabar internasional berbahasa Arab Al-Arab yang terbit di London, Inggris, beberapa waktu lalu.

Artikel tersebut merupakan respon si penulis terhadap masîrah (aksi) akbar yang menyerukan jihad dan khilafah sebagai solusi tuntas Palestina. Aksi ini dilakukan di lebih dari 20 kota di Indonesia beberapa waktu sebelumnya.

Penulis artikel ini menuduh Hizbut Tahrir sejak dari judul hingga seluruh paragraf dalam tulisannya. Namun, sangat jelas bahwa ia tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang Hizbut Tahrir. Walhasil tidak sedikit kesalahannya. Berikut lima di antaranya.

Pertama: Kesalahan dalam judul utama: “Hizbut Tahrir Indonesia”. Penulis seakan tidak memahami bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh umat Islam, bukan hanya di Indonesia. Atau mungkin, ia sengaja mengadopsi sudut pandang nasionalisme sempit dan menganggap bahwa Hizbut Tahrir hanyalah partai lokal.

Padahal Hizbut Tahrir adalah partai politik dengan Islam sebagai asasnya, yang bertujuan menyatukan umat Islam dalam satu entitas politik, yaitu Khilafah, yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Kedua: Kesalahan kalimat “Hizbut Tahrir mengandalkan emosi publik untuk menguatkan legitimasi ideologinya”. Kalimat ini menunjukkan kebohongan besar. Pasalnya, Hizbut Tahrir tidak mendasarkan legitimasi ideologinya pada emosi publik, melainkan pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaklah di antara kalian ada segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (TQS Ali Imran [3]: 104).

Selain itu Rasulullah saw. telah mewajibkan umat Islam untuk melakukan muhaasabah (kontrol) terhadap penguasa. Karena itulah Hizbut Tahrir tidak bergerak berdasarkan emosi, melainkan berdasarkan kewajiban syar’i dalam mendakwahkan hukum Islam dan menjelaskan status Palestina dalam perspektif syariah. Sebaliknya, sang penulis justru menuduh Hizbut Tahrir dan aktivisnya sebagai pihak yang hanya berpura-pura peduli pada Palestina. Tuduhan ini jelas merupakan fitnah tanpa dasar.

Ketiga: Tuduhan dalam kalimat, “Hizbut Tahrir berusaha menghidupkan proyek Khilafah”. Penulis tampaknya tidak memahami bahwa Khilafah bukanlah sekadar “proyek” Hizbut Tahrir, melainkan sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan. Para ulama seperti Al-Mawardi, An-Nawawi, Al-Juwayni, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Haitami, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, al-Qurthubi, dan banyak lainnya telah menegaskan kewajiban menegakkan Khilafah. Seharusnya, penulis merujuk pada pendapat mereka sebelum menentang Khilafah secara membabi-buta.

Keempat: Tuduhan dalam kalimat, “Hizbut Tahrir menyalahgunakan isu Palestina”. Penulis menuduh bahwa Hizbut Tahrir menggunakan isu Palestina untuk menyerang demokrasi dan negara-negara nasional. Padahal Palestina bukan sekadar konflik politik biasa, melainkan tanah Islam yang wajib dibebaskan. Jika Hizbut Tahrir menekankan pentingnya jihad dan khilafah sebagai solusi untuk membebaskan Palestina, hal itu justru sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, sang penulis malah membela solusi negara dua wilayah yang jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap hak umat Islam atas Palestina. Bahkan ia tidak mengutuk pengkhianatan para penguasa Muslim yang menjalin hubungan dengan entitas penjajah Zionis Yahudi.

Kelima: Tuduhan dalam kalimat, “Hizbut Tahrir memiliki agenda khusus”. Penulis menuduh Hizbut Tahrir memiliki agenda. Seakan-akan memiliki agenda adalah sesuatu yang salah. Padahal setiap kelompok, termasuk negara dan individu, pasti memiliki agenda. Yang lebih penting adalah apakah agenda itu sesuai dengan Islam atau tidak. Agenda Hizbut Tahrir sangat jelas: menghapus sistem kufur dan menegakkan Khilafah Islamiah. Mengapa ini dianggap sebagai kesalahan?

Dari lima poin tersebut dapat disimpulkan, artikel yang ditulis di surat kabar Al-Arab ini adalah serangan sistematis terhadap Hizbut Tahrir dan Khilafah. Ia mencerminkan sudut pandang sekuler dan nasionalistik yang bertentangan dengan Islam.

Penulisnya tidak memahami esensi Khilafah, jihad, dan solusi Islam untuk Palestina. Sebaliknya, ia lebih sibuk membela demokrasi kufur dan penguasa yang berkhianat terhadap Islam. Maka dari itu, sudah jelas bahwa artikel ini adalah bagian dari kampanye untuk menghalangi kembalinya Islam sebagai sistem kehidupan.

 

Al-Arab

Pertanyaan pun muncul, mengapa artikel busuk semacam itu bisa dimuat di Surat Kabar Al-Arab, yang dikira sebagian pembaca sebagai surat kabar yang menjadi media publikasi dunia Arab (yang notabene negeri Islam) dan syiar Islam? Pertanyaan tersebut mengandung ekspektasi yang terlalu tinggi. Pasalnya, sejatinya surat kabar tersebut memainkan peran utama dalam memerangi Islam politik dan segala sesuatu yang terkait dengannya.

Bagi siapa pun yang mencari kata “Hizbut Tahrir” di kolom pencarian situs Surat Kabar Al-Arab, ia akan menemukan puluhan artikel, laporan dan berita yang menyerang Hizbut Tahrir serta konsep Khilafah.

Hal itu wajar saja terjadi jika melihat konteks sejarah yang melatarbelakangi kelahiran surat kabar tersebut. Pada saat Liga Arab mengadakan Konferensi Menteri Penerangan tahun 1961, merekomendasikan proyek pendirian Lembaga Penerangan dan Informasi Arab di Eropa. Kemudian proyek tersebut dibentuk dengan berbagai hal yang berhubungan dengan media dan proyek tersebut ditugaskan kepada Komisi Informasi di Liga Arab yang terdiri dari berbagai tokoh media dari berbagai negara anggota termasuk dari Libya.

Menindaklanjuti Komisi Informasi di Liga Arab, Libya yang dipresentasikan Menteri Penerangan dan Kebudayaan Haji Ahmed Salihin menerbitkan Al-Arab sebagai surat kabar berbahasa Arab yang terbit secara internasional dari London, Inggris pada 1977.

Seperti diketahui, Liga Arab sendiri merupakan lembaga perkumpulan negara-­negara bangsa Arab yang berdiri di atas puing-puing Khilafah Utsmani. Liga Arab didirikan oleh beberapa negeri Arab yang bughat (memberontak) terhadap Khilafah ketika Perang Dunia I berlangsung. Alih-alih mendukung Ibukota Istambul untuk berjihad melawan Inggris dan sekutunya, para bughat ini malah mengikuti instruksi Inggris dan sekutu untuk melepaskan diri dari Khilafah Utsmani. Dalam catatan sejarah, peristiwa bughat tersebut dikenal dengan istilah Pemberontakan Arab 1916. Maka dari itu, tidak aneh jika Liga Arab memusuhi ajaran Islam di bidang pemerintahan, yakni Khilafah, dan para pengemban dakwahnya, terutama Hizbut Tahrir.

Begitu juga dengan Libya. Meskipun bukan termasuk anggota Pemberontakan Arab 1916 dan bukan pendiri, tetapi sekadar anggota Liga Arab, Libya juga memiliki rasa permusuhan yang sama terhadap Hizbut Tahrir. Apalagi sejak 1978, Hizbut Tahrir Libya secara lantang melakukan nahyi mungkar terhadap penguasa Libya Muammar Qaddafi yang ingkar sunah. Qaddafi meyakini semua hadis itu palsu (mawdhû’), tidak ada yang merupakan wahyu Allah SWT. Karena itu dia tidak mau menerapkan hukum yang terkandung dalam hadis. Sebagai gantinya ia menerapkan sosialisme.

Pada 1983, tiga belas aktivis HT Libya yang paling lantang pun ditahan dan diintimidasi di dalam penjara. Namun, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Tidak sedikit pun goyah dan meninggalkan prinsipnya untuk terus berjuang menegakkan Khilafah Islam, yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukumnya.

Qaddafi kian berang. Ia mengancam akan memenjarakan mereka seumur hidup. Mereka tidak goyah. Bahkan dengan lantang Muhammad Muhazhab Havan (aktivis HT Libya) menjawab, Sungguh dipenjara seumur hidup itu merupakan kebanggaan dan kehormatan bagi saya.

Mendengar itu, Qaddafi pun memutuskan untuk menghukum mati mereka. Mereka pun dieksekusi mati dengan cara digantung di sekolah-sekolah dan universitas. Itu dilakukan di depan para guru, dosen, murid dan mahasiswa, serta di depan keluarga dan anak-anak mereka.

Meski rezim para penguasa anggota Liga Arab silih berganti, sikap mereka tetap sama: memusuhi Khilafah ajaran Islam dan para pengemban dakwahnya. Maka dari itu, tidak aneh media-media massa yang diterbitkan Liga Arab ini memainkan peran utama dalam memerangi Islam politik dan segala sesuatu yang terkait dengannya. [Joko Prasetyo/Dari berbagai sumber dan sumber utamanya adalah artikel, “Surat Kabar Al-Arab Memimpin Kampanye Memusuhi Khilafah dan Hizbut Tahrir,” karya Khalifah Muhammad, Aktivis Hizbut Tahrir Yordania]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × one =

Check Also
Close
Back to top button