Afkar

Menyoal Kaidah Al-Ashl fii al-mu’aamalah al-ibaahah hattaa yadulla ad-daliil ‘alaa tahriimih

Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah telah menerbitkan fatwa Nomor 077/I.1/F/2024 tertanggal 9 Juli 2024 tentang Pengelolaan Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan.1 Isi fatwa tersebut antara lain menyatakan bahwa pertambangan (at-ta’diin) sebagai aktivitas mengekstraksi energi mineral dari perut bumi (istikhraaj al-ma’aadin min bathn al-ardh) masuk dalam kategori muamalah atau al-umuur ad-dun-ya (perkara-perkara duniawi). Hukum asalnya adalah boleh (al-ibahah) sampai ada dalil, keterangan atau bukti yang menunjukkan larangan atau keharamannya. Ini sesuai dengan kaidah, “Al-Ashl fii al-mu’aamalah al-ibaahah hattaa yadulla ad-daliil ‘alaa tahriimih.”

Apakah argumentasi tersebut dapat diterima? Berikut ini adalah beberapa catatan kritis penulis atas dua perkara pokok yang menjadi inti dari kesimpulan pertama dalam fatwa tersebut, yaitu terkait: (1) terminologi “perkara dunia (al-umuur al-dun-ya)” yang mubah; (2) hukum asal muamalah yang juga dianggap mubah.

 

Perkara Dunia (al-Umuur ad-Dun-yaa’) yang Mubah Menurut Hadis Nabi saw.

Islam adalah sistem kehidupan yang khas. Syariahnya mencakup semua aspek kehidupan; menyeluruh dan sempurna. Hal itu karena datang dari Allah Tuhan semesta alam. Sistem kehidupan ini menggambarkan visi hidup seorang Muslim harus berorientasi ukhrawi. Ini sebagaimana pesan Nabi saw. dalam hadis dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada kehidupan, kecuali kehidupan akhirat.” (HR al-Bukhari No. 81 dan Muslim No. 1804).2

Bukan hanya ibadah, dalam al-Quran dan as-Sunnah terdapat ketentuan hukum yang mengatur urusan muamalah seperti jual-beli, serikat dagang, gadai, sewa-menyewa, utang-piutang dan sebagainya. Bahkan ayat yang sangat panjang dalam al-Quran turun membahas tentang aturan penulisan utang-piutang, yaitu QS al-Baqarah ayat 282.

Di antara “syubhat” yang disampaikan oleh sebagian kalangan adalah bahwa Rasulullah saw. menyerahkan urusan dunia secara mutlak kepada umatnya, sebagaimana sabdanya:

أَنَّ النَّبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّبِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

Sungguh suatu ketika Nabi saw. melewati Sahabatnya yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau  lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi saw. bertanya, “Mengapa kurma itu menjadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, engkau telah berkata kepada kami begini dan begitu.” Kemudian beliau  bersabda, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR Muslim No. 2363).3

 

Sebagian kalangan menjadikan hadis ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan masalah ekonomi, hukum, politik dan yang semisalnya. Alasan mereka, itu adalah urusan duniawi. Artinya, kita lebih mengetahui tentang urusan dunia dan Rasulullah saw. telah menyerahkan urusan tersebut kepada umatnya.

Padahal jika menengok asbaab al-wuruud-nya, kenyataanya tidak demikian. Hadis “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” harus dipahami berdasarkan sebab terjadinya hadis tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma yang dikomentari oleh Rasulullah. Lalu para Sahabat menjalankan saran Rasulullah tersebut dengan taat. Namun, mereka gagal melakukan penyerbukan dan berakibat buruk pada hasilnya. Kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadis tersebut. Jadi hadis ini terkait dengan penyerbukan kurma, model peningkatan produksi, suatu yang memang hukum dasarnya adalah mubah.

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Muslim sebagai hadis ketiga pada bab, “Baab Wujuub Imtitsaal Maa Qaalahu Syar’[an] duuna Maa Dzakarahu shalla AlLaaahu ‘alaihi wa sallam Min Ma’ayisi al-Dunya ‘ala Sabili ar-Ra’y” (Bab tentang Kewajiban Menaati Apa yang Dikatakan Rasulullah saw. dalam Perkara Syariah Islam, Bukan Perkara yang Rasulullah saw. Sebutkan Mengenai Persoalan Duniawi Sebagai Sebuah Pendapat Pribadi).4

Judul bab dan ketiga hadis dalam bab itu menegaskan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. untuk mengambil dan menjalankan semua hukum syariah yang beliau bawa. Adapun dalam segala urusan dunia yang tidak berkaitan dengan hukum syariah (hukum halal, haram, sah, batal, dll.), hendaknya seseorang berusaha untuk mendalaminya sendiri dengan melakukan berbagai percobaan agar dapat meraih kesuksesan.

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim menjelaskan: Para ulama berkata, “Sabda Rasul saw. ‘min ra’y[in] (berupa pendapat)’, artinya dalam perkara dunia dan ma’aayisy (mata pencaharian/penghidupan), bukan sebagai tasyrii’. Adapun apa yang beliau sabdakan dengan pendapat beliau dan yang beliau pandang sebagai syariah itu wajib diamalkan. Penyerbukan bukanlah termasuk dari jenis ini, tetapi termasuk jenis yang disebutkan sebelumnya.”5

Memang sabda Rasulullah saw. “antum a’lamu bi amri dun-yakum” itu bersifat umum. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan ushul, ungkapan umum itu, jika datang sebagai komentar atau jawaban atas suatu pertanyaan atau situasi, maka ia bersifat umum pada jenis masalah atau situasi itu. Narasi hadis-hadis tersebut jelas mengenai penyerbukan kurma. Jadi, sabda Rasulullah saw. berlaku untuk perkara-perkara yang serupa dengan penyerbukan kurma. Itulah yang disebut dengan ”amr al-dunyaa’ (perkara dunia)”.

Islam tidak datang mengatur amr al-dunyaa’, yakni masalah teknikal dan semacamnya, secara detil. Islam hanya mengatur perkara itu melalui hukum-hukum umum. Perkara teknikal dan eksperimental itu bisa dipilih sesuai dengan hasil eksperimen, pengalaman, menurut situasi dan keadaan selama dalam batas-batas hukum-hukum syariah. Misalnya adalah bagaimana teknik eksplorasi tambang dan pengolahannya.

Adapun dalam perkara-perkara agama, termasuk di dalamnya perkara tasyrii’, kaum Muslim wajib hanya mengambil dan menerapkan apa yang dibawa oleh Rasul saw., yaitu syariah Islam. Misalnya adalah terkait hukum kepemilikan dan pengelolaan tambang. Islam telah menetapkan bahwa sumber energi dan tambang yang depositnya banyak adalah milik umat yang harus dikelola oleh Negara. Hukum syariat terkait kepemilikan barang tambang ini sudah sangat jelas dalam Hadis Nabi saw.6

 

Mengkritisi Kaidah “Al-Ashl fii al-Mu’aamalah al-Ibaahah hattaa Yadulla ad-Daliil ‘alaa Tahriimih

Kaidah “Al-Ashl fii al-mu’aamalah al-ibaahah hattaa yadulla ad-daliil ‘alaa tahriimih” asal-muasalnya bisa dilacak dari kaidah yang masyhur di kalangan ulama terdahulu yang berbunyi:

اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِ

Hukum asal sesuatu adalah mubah hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.7

 

Ini adalah kaidah yang menjadi pegangan mazhab Syafii dan jumhur ulama, kecuali Mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi berpendapat sebaliknya: “Al-Ashl fiihaa at-tahriim hattaa yadulla ad-daliil ‘alaa al-ibaahah”. (Hukum asal sesuatu adalah haram hingga ada dalil yang menunjukkan kemubahannya).8

Kaidah fikih itu didokumentasikan dalam kitab Al-Asybaah wa an-Nazhaa’ir. Penulisnya, Imam as-Suyuthi mendasarkan kaidah tersebut pada dalil-dalil yang berkaitan dengan pemaafan atas perkara yang didiamkan oleh Syariah. Penerapan kaidah tersebut adalah pada benda-benda dan makanan. Hal itu tampak pada contoh-contoh yang beliau ketengahkan. Salah satu dalilmya adalah ketika Rasulullah saw. ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang di samak, beliau menjawab:

الحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ الله في كتابِه، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عنه

Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya. Yang haram adalah yang Allah haramkan dalam Kitab-Nya. Apa saja yang Dia diamkan,  itu termasuk perkara yang dimaafkan (HR at-Tirmidzi No. 1726 dan Ibnu Majah No. 3367).9

 

Hadis di atas dan yang semisalnya sebenarnya tidak menunjukkan adanya sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariah. Hadis ini hanya menunjukkan bahwa di sana ada sesuatu yang tidak Allah haramkan sebagai bentuk rahmat untuk umat manusia. Allah memaafkan serta tidak mengharamkan sesuatu tersebut. Artinya, topik bahasan hadis-hadis tersebut bukanlah diam dari mensyariatkan hukum syariah, tetapi tidak mengharamkan. Pengertian “tidak mengharam-kan” itu bukan berarti pensyariatan hukum mubah atas semua hal yang tidak dijelaskan oleh Syariah, tetapi sesungguhnya bermakna diamnya Asy-Syaari’ (Pembuat Syariah) dari pengharaman. Itu artinya hukumnya adalah halal. Oleh karena itu sesungguhnya hadis tersebut tidaklah menunjukkan bahwa terdapat perbuatan manusia yang tidak dijelaskan oleh syariah.10

Masalah yang kemudian muncul adalah ketika lahir kaidah turunannya yang berbunyi:

وَالْأَصْلُ فِي الْعُقُودِ وَالْمُعَامَلَاتِ الصِّحَّةُ حَتَّى يَقُوْمُ دَلِيل عَلَى الْبُطْلَانِ وَالتَّحْرِيْمِ

Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah absah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.11

 

Penggunaan kaidah ini sering tidak tepat karena didasarkan pada asumsi bahwa semua akad, syarat dan muamalah telah dima’fu (diberikan dispensasi) oleh Allah SWT sehingga hukum asalnya dianggap mubah.

Dengan mencermati dalil yang dijadikan dasar penggalian kaidah tersebut (seperti QS al-Maidah [5]: 1, QS al-Isra’ [17]: 34, QS al-Ma’arij [70]: 32, QS al-Baqarah [2]: 177, QS Ali Imran [3]: 76, dll), terlihat dengan jelas bahwa itu semua berkaitan dengan akad, janji dan syarat yang secara hukum dibolehkan oleh syariah Islam. Bukan hukum asal dari semua akad. Akad dan syarat sendiri ada yang absah dan ada yang batil. Akad dan syarat yang batil tentu haram.

Lebih jauh lagi, lahir kaidah turunan yang kemudian masyhur di kalangan ahli fikih muamalah kontemporer, yaitu “Hukum asal segala praktik muamalah adalah mubah”. Jika ditelusuri, kaidah ini bisa kita jumpai dari Imam asy-Syathibi dengan redaksi yang sedikit berbeda:

إِنَّ الْأَصْلَ فِي الْمُعَامَلَاتِ الْإِبَاحَة حَتَّى يَدُل دَلِيلٌ عَلَى خِلَافِهِ

Sungguh hukum asal dalam segala praktik muamalah adalah mubah sampai ada dalil yang menunjukkan sebaliknya (menyatakan keharamannya).12

 

Lalu kaidah itu berkembang sedemikian rupa dan menjadi acuan para pakar dan praktisi muamalah maaliyyah kontemporer. Kaidah ini telah digunakan secara bebas dan pada akhirnya lepas dari ketentuan hukum syariah. Jika mendapati persoalan muamalah, langsung dihukumi mubah, tanpa dicari bagaimana hukum syariah terkait hal tersebut.

Padahal muamalah termasuk ke dalam kategori perbuatan, bukan benda. Dengan mecermati dalil-dalil yang ada, hukum asal perbuatan manusia itu adalah mengikuti dan terikat dengan hukum syariah.13 Manusia terikat dengan apa pun yang Rasulullah saw. bawa dan setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi. Kaidahnya:

الْأَصْلُ فِي أَفْعَالِ الِانْسَانِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ الله

Hukum asal pada perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.14

 

Artinya, tidak dibolehkan bagi seorang Muslim untuk melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut yang bersumber dari seruan-Nya (Lihat, antara lain dalilnya: QS asy-Syura [42]: 10, QS an-Nisa’ [4]: 59 dan QS an-Nahl [16]: 89).

Selian kitu Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang melakukan perbuatan yang bukan termasuk ke dalam urusan kami (tidak kami perintahkan) adalah tertolak (HR Muslim).15

 

Setelah datangnya hukum syariah, maka sesuatu/benda (al-asy-yaa’) dan perbuatan (al-af’aal) ada hukumnya. Pada dasarnya di dalam syariah yang harus dilakukan adalah membahas sesuatu (benda) dan perbuatan itu apakah ada hukum atau tidak, bukan langsung menganggap keduanya sebagai hal yang mubah. Kita tidak boleh menetapkan hukum mubah atas perbuatan dan sesuatu (benda) berdasarkan akal secara langsung, padahal di sana ada hukum syariah. Demikian pula tidak bisa dikatakan bahwa hukum asal sesuatu itu adalah tawaqquf dan tidak ada hukumnya. Pasalnya, tawaqquf artinya mengabaikan hukum syariah. Hal itu tentu tidak boleh. Sesungguhnya yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah, ketika tidak ada pengetahuan tentang hukum perbuatan dan benda, adalah bertanya.16

Adapun hukum atas benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya (al-ashl fii al-asy-yaa’ al-ibaahah maa lam yarid daliil at-tahriim).17 Kaidah ini diformulasikan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah di langit dan di bumi diperuntukkan bagi umat manusia dan telah dihalalkan atau dibolehkan oleh Allah (Lihat, misalnya: QS al-Hajj [22]: 65, QS al-Baqarah [2]: 168 dan QS al-Mulk [67]: 15).

Al-Asy-yaa’ (sesuatu/benda) dalam kaidah ini sebagaimana dipahami dari sumber pembentukan kaidahnya (ayat-ayat al-Quran) adalah materi-materi yang digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di dalamnya.18

Dengan demikian semua ayat yang membolehkan segala benda yang ada di bumi ini datang dalam bentuk umum. Keumuman ayat-ayat tersebut menunjukkan pada kebolehan semua benda. Ketika ada suatu benda yang diharamkan, harus ada nas yang mengkhususkan (takhshîsh) dalil umum tersebut yang menunjukkan adanya pengecualian, seperti keharaman bangkai dan khamr.

Hukum asal benda ini, seperti yang tercantum dalam Kitab Al-Asybaah wa an-Nazhaa’ir, juga selaras dengan kaidah yang dikutip Imam asy-Syaukani, adalah sebagai berikut:

أَنَّ الْأَصْلَ في الْأَشْيَاءِ الْمَخْلُوقَةِ الْإِباحَة حَتَّى يَقُوم دَلِيل يَدُلُّ عَلَى النَّقْلِ عَنْ هَذَا الْأَصْلِ

Sesungguhnya hukum asal dari segala sesuatu (benda) yang diciptakan adalah mubah sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.19

 

Imam asy-Syaukani berdalil dengan ayat yang terkait dengan sesuatu (benda) ciptaan Allah SWT seperti dalam al-QS  al-Baqarah ayat 29.

Dengan demikian tidak tepat mengatakan hukum asal muamalah—sementara muamalah adalah bagian dari perbuatan, bukan bagian dari benda—adalah mubah sampai ditemukan ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Apalagi jika hal itu digunakan untuk melegalisasi kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan barang tambang. Pada saat yang sama terdapat dalil yang jelas bahwa kepemilikan tambang adalah milik umat dan pengelolaannya harus dilakukan oleh Negara.20

 

Penutup

Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa pertambangan (at-ta’diin), dari sisi kepemilikan dan pengeloaannya, tidak termasuk dalam kategori al-umur ad-dun-yaa’ (perkara-perkara duniawi [baca: teknikal]), yang hukum asalnya adalah boleh (al-ibaahah) dan diserahkan kepada manusia untuk mengkreasinya. Tidak tepat juga penggunaan kaidah “Hukum asal muamalah adalah mubah sampai ada dalil, keterangan atau bukti yang menunjukkan bahwa ia dilarang atau haram (Al-Ashl fii al-mu’aamalah al-ibaahah hatta yadulla ad-daliil ‘alaa tahriimih).” Apalagi digunakan sebagai dasar argumentasi kebolehan kepemilikan dan pengelolaan tambang. Pasalnya, secara faktual  pertambangan ada hukumnya secara rinci sehingga tidak tepat jika dianggap hukum asalnya mubah. Apalagi dalam kajian ushul fikih, terkait kaidah tersebut ada beberapa kritik yang cukup serius.

Kaidah yang benar dalam topik ini adalah “Hukum asal muamalah adalah terikat dengan hukum-hukum syariah (Al-Ashl fii al-mu’aamalah at-taqayyud bi ahkaam as-syar’i)”.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Yuana Ryan Tresna]

 

Penulis adalah Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung dan Mahasiswa Doktor Hadits dan Ilmu Hadits Universitas Al-Azhar Mesir.

 

Catatan kaki:

1        Lihat Kurniawan Eka Mulyana, “Majelis Tarjih Muhammadiyah Terbitkan Fatwa Pengelolaan Tambang: Minimalkan Kerusakan Alam”, Kompas TV, https://www.kompas.tv/nasional/526147/majelis-tarjih-muhammadiyah-terbitkan-fatwa-pengelolaan-tambang-minimalkan-kerusakan-alam?page=all (Diakses pada: 9 Agustus 2024).

2        Lihat Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (India: Markaz Syaikh Abi al-Hasan al-Nadwi, 2011), Hadits No. 81, juz 12, hlm. 561; Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1955), Hadits No. 1804, juz 3, hlm. 1431.

3        Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1955), Hadits No. 2363, juz 7, hlm. 95.

4        Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1955), hlm. 95.

5        Lihat Imam al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1392 H), juz 15, hlm. 117-118.

6        Lihat Hadits, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, No. 3477) dan hadits Abyad bin Hammal tentang tambang garam yang mana Rasulullah menarik kembali pemberian pemilikan tambang karena depositnya banyak. (HR. Abu Dawud No. 3064 dan al-Timidzi No. 1380).

7        Lihat Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qawa’id wa Furu Fiqh al-Syafi’iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), hlm. 60.

8        Lihat Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qawa’id wa Furu Fiqh al-Syafi’iyyah, hlm. 60.

9        Lihat Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1975), Hadits No. 1726, juz 4, hlm. 220; Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1403 H), Hadits No. 3367, juz 2, hlm. 1117.

10      Lihat Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 3 (Ushul al-Fiqh) (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), hlm. 24.

11      Lihat Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Arab Saudi: Dar Ibn a-Jauziy, 1423 H), juz 3, hlm. 108.

12      Syaikh Abdurrahman Abu Auf, Buhuts wa Dirasat min Mauqi’ al-Islam al-Yaum (Eropa: Tanpa Penerbit, 2006), juz 1, hlm. 298; Tim Penulis, Majalah Majma’ Fiqh al-Islamiy (Jedah: al-Mu’tamar al-Islamiy Jedah), hlm. 603.

13      Lihat Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Ushul al-Fiqh) (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), juz 3, hlm. 22.

14      Lihat Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 3 (Ushul al-Fiqh), hlm. 27; Ibnu Mulaqin, ‘Ijalah al-Muhtaj ila Taujih al-Minhaj, Tahqiq: Syaikh Izzuddin Hisyam al-Badrani (Yordanian: Dar al-Kitab, 2001), juz 1, hlm. 126.

15      Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1955), Hadits No. 1344, juz 3, hlm. 1343.

16      Lihat firman Allah Swt “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui…” (TQS. Al-Nahl: 43).

17      Lihat Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 3 (Ushul al-Fiqh), hlm. 27; Ibnu Mulaqin, ‘Ijalah al-Muhtaj ila Taujih al-Minhaj, Tahqiq: Syaikh Izzuddin Hisyam al-Badrani, juz 1, hlm. 126.

18      Lihat Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila al-Ushul (Beirut: Dar al-Ummah, 2000), hlm. 15.

19      Lihat Imam al-Syaukani, Fath al-Qadir (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1414 H), juz 1, hlm. 71.

20      Lihat Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), hlm. 212-216.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven + eighteen =

Back to top button