Takrifat

Pengkhususan As-Sunnah (Bagian 2)

Pengkhususan as-Sunnah dengan as-Sunnah

Pengkhususan as-Sunnah dengan as-Sunnah boleh terjadi, baik as-Sunnah mutawatir atau ahad. Alasannya: Pertama, karena as-Sunnah baik yang mutawatir dan yang ahad sama-sama didatangkan oleh wahyu secara makna. Dengan demikian sebagian tentu boleh mengkhususkan sebagian yang lain.

Kedua, pengkhususan as-Sunnah dengan as-Sunnah benar-benar terjadi secara riil. Fakta ini merupakan dalil atas kebolehan hal itu terjadi. Misalnya, Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاء فَفِيهِ الْعُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالْغَرْبِ وَالدَّالِيَةِ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ

Pada apa yang diairi oleh langit maka di dalamnya (ada zakat) sepersepuluh. Apa yang diairi dengan geriba dan timba maka di dalamnya (ada zakat) seperduapuluh (HR Ahmad).

 

Rasul saw. juga bersabda:

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا العُشْرِ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ العُشْرِ

Pada apa yang diairi oleh langit (air hujan) dan mata air atau terairi sendiri dari mata air (ada zakat) sepersepuluh. Apa yang diairi dengan kolam pengairan (zakatnya) seperduapuluh (HR al-Bukhari, Ibnu Majah, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

 

Hadis ini dikhususkan oleh sabda Rasul saw.:

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ صَدَقَة

Pada apa yang kurang dari lima wasaq tidak ada sedekah (zakat) (HR Ahmad, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah).

 

Rasul saw. juga bersabda:

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ مِنْ تَمْرٍ، وَلَا حَبِّ صَدَقَةٌ

Pada apa yang kurang dari lima wasaq berupa kurma atau biji-bijian (gandum) tidak ada sedekah (zakat) (HR Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah).

 

Dengan demikian, zakat hasil pertanian dan buah-buahan yakni kurma, gandum, jewawut dan kismis, hanya ketika jumlahnya lima wasaq atau lebih; sementara yang jumlahnya kurang dari lima wasaq maka tidak ada kewajiban wasaq. Zakatnya, jika diairi secara alami ari air hujan, adalah sepersepuluh, dan jika diairi dengan pengairan buatan atau menggunakan alat dan perlu biaya, maka zakatnya seperduapuluh.

Contoh lainnya, Rasul saw. bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ، وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ

Tidak halal sedekah (zakat) untuk orang kaya dan tidak pula untuk orang yang mampu bekerja (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasai, Ibnu Hibban, ad-Daraquthni, al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Darimi).

 

Hadis ini menyatakan bahwa zakat tidak halal untuk orang kaya secara umum. Namun, hadis ini dikhususkan oleh sabda Rasul saw.:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ : لِعَامِلٍ عَلَيْهَا، أَوْ رَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ غَارِمٍ، أَوْ غَازٍ فِي سَبِيلِ اللهِ، أَوْ مِسْكِينٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا، فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ

Tidak halal sedekah (zakat) untuk orang kaya kecuali untuk lima golongan: ‘amil yang mengurusi zakat; atau orang yang membeli harta zakat dengan hartanya; atau orang ghaarim; atau orang yang berperang di jalan Allah; atau orang miskin yang dia bayarkan zakat kepada dia, lalu orang itu menghadiahkan sebagiannya kepada orang kaya (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).

 

Dengan demikian, harta zakat itu tidak halal untuk orang kaya selain kelima golongan ini. Adapun untuk kelima golongan ini maka zat harta zakat itu halal.

Pengkhususan as-Sunnah dengan as-Sunnah itu bukan hanya manthuuq dengan manthuuq. Manthuuq as-Sunnah juga boleh dikhususkan dengan mafhuum as-Sunnah, baik mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah. Hal itu karena mafhuum merupakan hujjah dan lafal umum nas juga merupakan hujjah. Jika keduanya bertentangan maka harus dibawa ke pengkhususan lafal umum itu dengan mafhuum dan tidak boleh mengabaikan dalil pertama, yakni mafhuum.

Abu Umamah al-Bahili ra. menuturkan, Rasul saw. bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنُجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

Sungguh air tidak dinajisi oleh sesuatu kecuali apa yang mendominasi aroma, rasa dan warnanya (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi, ad-Daraquthni dan ath-Thabarani).

 

Dalam redaksi yang lain, dari jalur Abu Umamah al-Bahili, Rasul saw. juga bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ طَاهِرٌ إِلَّا أَنْ تُغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَة تَحْدُثُ فِيهَا

Sungguh air itu suci kecuali diubah aromanya atau rasanya atau warnanya dengan najis yang terjatuh padanya (HR al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 1228).

 

Manthuuq hadis ini menyatakan bahwa air itu tidak ternajisi kecuali berubah aroma, warna dan rasanya. Ini mencakup semua air, baik air itu banyak atau sedikit, mengalir atau menggenang. Hadis ini dikhususkan oleh riwayat dari jalur Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasul saw. bersabda:

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ

Jika air mencapai dua qullah maka tidak dinajisi oleh sesuatu pun (HR Ibnu Majah, ad-Darimi dan ad-Daraquthni).

 

Mafhuum hadis ini menunjukkan bahwa air yang kurang dari dua qullah ternajisi meski tidak berubah warna, aroma atau rasanya. Mafhuum hadis ini mengkhususkan hadis sebelumnya. Dengan demikian air yang kurang dari dua qullah, jika terkena najis, air itu menjadi bernajis. Adapun air yang dua qullah atau lebih, jika terkena najis maka akan menjadi bernajis jika berubah warna, aroma atau rasanya. Namun, jika tidak berubah maka tetap suci.

Contoh lain, Rasul bersabda:

…وَفِي الْغَنَمِ مِنْ أَرْبَعِينَ شَاة إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ…

…pada domba dari empat puluh ekor sampai 120 ekor ada zakat satu ekor… (HR Ahmad).

 

Manthuuq hadis ini menunjukkan kewajiban zakat pada semua domba sesuai keumuman lafal al-ghanam (domba). Namun, hadis ini dikhususkan oleh hadis lainnya:

«… وَفِي صَدَقَةِ الغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا …»

“…pada zakat domba yang digembalakan… (HR al-Bukhari, Ahmad, an-Nasai, al-Baihaqi, ad-Daraquthni dan Ibnu Khuzaimah).

 

Mafhûm al-mukhâlafah hadis ini menunjukkan tidak ada zakat pada domba yang tidak digembalakan, yakni dikandangkan dan diberi pakan (al-ma’lûfah). Jadi mafhuum hadis ini mengkhususkan manthuuq hadis sebelumnya dengan mengeluarkan domba al-ma’lûfah dari keumuman kewajiban zakat pada domba.

 

Pengkhususan as-Sunnah dengan Ijmak Sahabat

Telah jelas bahwa pengkhususan al-Quran dengan as-Sunnah adalah boleh. Demikian juga pengkhususan as-Sunnah dengan Ijmak Sahabat. Sebabnya, apa yang boleh mengkhususkan al-Quran tentu saja juga boleh mengkhususkan as-Sunnah.

Selain itu, karena Ijmak Sahabat itu menyingkap adanya dalil Syariah, yaitu menyingkap bahwa di situ ada dalil syar’i, yakni mereka mendengar Rasulullah saw. bersabda, atau berbuat atau beliau diam tanda setuju. Jadi itu seperti as-Sunnah. Dengan demikian Ijmak Sahabat itu menyingkap adanya dalil syariah yang dibawa oleh wahyu sehingga boleh mengkhususkan as-Sunnah yang juga dibawa oleh wahyu.

 

Pengkhususan as-Sunnah dengan Qiyas Syar’iy

Pengkhususan as-Sunnah dengan Qiyas Syar’iy adalah boleh. Qiyas Syar’iy adalah Qiyas yang ‘illat-nya syar’iy, yaitu ‘illat yang dinyatakan atau ditunjukkan oleh nas syar’iy atau di-istinbaath dari nasy syar’iy atau dikiaskan pada ‘illat syar’iy. Dengan kata lain, Qiyas Syar’iy itu adalah jika ‘illat-nya dinyatakan di dalam al-Quran atau as-Sunnah.

Dengan demikian pengkhususan as-Sunnah dengan Qiyas Syar’iy itu pada dasarnya adalah pengkhususan dengan nas yang menyatakan ‘illat syar’iy dari Qiyas itu. Jika nas ‘illat syar’iy dari Qiyas itu adalah al-Quran maka berarti pengkhususan as-Sunnah dengan Qiyas itu merupakan pengkhususan as-Sunnah dengan al-Quran. Ini jelas boleh. Jika nas ‘illat syar’iy dari Qiyas itu adalah as-Sunnah maka artinya pengkhususan as-Sunah dengan Qiyas tersebut merupakan pengkhususan as-Sunnah dengan as-Sunnah. Ini juga jelas boleh. Dengan demikian, jelas pengkhususan as-Sunnah dengan Qiyas Syar’iy adalah boleh.

Contohnya, Ubadah bin ash-Shamit ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ الله لَهُنَّ سَبِيلًا، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ، وَالرَّجْمُ

Ambil dariku, ambil dariku, Allah telah menjadikan untuk mereka (para wanita) jalan. Perjaka dengan gadis (sanksinya) cambuk seratus kali dan diasingkan setahun, sedangkan duda dengan janda (maksudnya sudah pernah menikah) (sanksinya) cambuk seratus kali dan rajam (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai di Sunan al-Kubrâ, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ dan asy-Syafi’iy di dalam Musnad asy-Syâfi’iy).

 

Hadis ini dikhususkan dengan Qiyas untuk pelakunya hamba sahaya laki-laki. Hal itu karena firman Allah SWT:

…فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ … ٢٥

… kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami… (QS an-Nisa’ [4]: 25).

 

Ayat ini menyatakan bahwa sanksi hamba sahaya perempuan (al-ammatu) yang berzina adalah separuh dari sanksi atas wanita merdeka, yaitu cambuk 50 kali. Dalam hal ini, sanksi atas hamba sahaya laki-laki (al-‘abdu) dikiaskan pada hukum ini, yakni sanksi atas hamba sahaya perempuan, dengan ‘illat adalah status budaknya. Dengan begitu, sanksi hamba sahaya laki-laki yang berzina adalah cambuk 50 kali. Sekaligus Qiyas ini mengkhususkan hadis di atas.

 

Khatimah

Dari semua itu, pengkhususan as-Sunnah boleh dengan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’iy.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 11 =

Back to top button