Tafsir

Bantahan Terhadap Orang Yang Mengingkari Hari Kiamat

(QS Qaf [50]: 15)

أَفَعَيِينَا بِٱلۡخَلۡقِ ٱلۡأَوَّلِۚ بَلۡ هُمۡ فِي لَبۡسٖ مِّنۡ خَلۡقٖ جَدِيدٖ  ١٥

Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru. (QS Qaf [50]: 15).

 

Ayat ini mengingatkan tentang kekuasaan Allah SWT terhadap manusia, terutama dalam hal penciptaan.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

أَفَعَيِينَا بِٱلۡخَلۡقِ ٱلۡأَوَّلِۚ ١٥

Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama?

 

Yang dimaksud dengan al-khalq al-awwal atau penciptaan pertama adalah penciptaan manusia dari nuthfah, kemudian dari ‘alaqah. Ada juga yang mengatakan, penciptaan Adam.1 Sebabnya, menurut al-Khazin, ini merupakan jawaban atas ucapan mereka: « ذلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ » (itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin). Artinya: “Apakah Kami lemah ketika menciptakan mereka yang pertama sehingga Kami letih mengembalikan kedua kalinya?”2

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah penciptaan langit. Sebabnya, langit itulah yang diciptakan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

أَفَلَمۡ يَنظُرُوٓاْ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَوۡقَهُمۡ ٦

Apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka (QS Qaff [50]: 6).3

 

Menurut yang lainnya, selain langit, juga bumi. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya:

أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَٱلۡأَرۡضَ وَلَمۡ يَعۡيَ بِخَلۡقِهِنَّ بِقَٰدِرٍ عَلَىٰٓ أَن يُحۡـِۧيَ ٱلۡمَوۡتَىٰۚ بَلَىٰٓۚ ٣٣

Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan langit dan bumi, sementara Dia tidak merasa payah dalam penciptaan keduanya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? (QS al-Ahqaf [46]: 33).4

 

Adapun kata « عَيَّ » bermakna « عَجَزَ عَنْهُ » (lemah, tidak mampu).5 Kalimat: « عَيَّ بِالْأَمْرِ وَعَيِيَ » diungkapkan untuk menunjukkan « إِذَا لَمْ يَهْتَدِ لِوَجْهِهِ » (ketika seseorang tidak mengetahui arah atau maksudnya).6 Dikatakan: « عَيِيتُ بِالْأَمْرِ », artinya: « عَجَزْتُ عَنْهُ وَلَمْ أَعْرِفْ وَجْهَهُ » (aku tidak mampu terhadap urusan itu dan tidak mengetahui caranya).7

Dalam konteks ayat ini, makna kata tersebut adalah: « لم يتعب ولم ينصب لخلق السموات والأرض » (Allah SWT tidak merasa lelah dan letih untuk menciptakan langit dan bumi). Demikian menurut al-Jazairi.8

Huruf hamzah pada awal ayat ini adalah istifhâm (kalimat tanya). Dalam konteks ayat ini, hamzah istifhâm tersebut li al-inkâr, yakni untuk menunjukkan pengingkaran.9

Menurut asy-Syaukani kalimat tersebut « لِلتَّقْرِيعِ وَالتَّوْبِيخِ » (sebagai kecaman dan celaan).10

Kalimat ini berguna untuk menetapkan perkara Hari Kebangkitan yang diingkari oleh umat-umat itu. Artinya, “Apakah Kami lemah, tidak bisa menciptakan kembali, padahal Kamilah yang menciptakan mereka perrama kalinya ketika mereka sebelumnya tidak ada? Lalu bagaimana mungkin Kami tidak mampu membangkitkan mereka kembali?11

Menurut Ibnu Jarir, ini merupakan taqrî’ atau kecaman Allah SWT terhadap kaum musyrik Quraisy yang mengatakan (sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya):

أَءِذَا مِتۡنَا وَكُنَّا تُرَابٗاۖ ذَٰلِكَ رَجۡعُۢ بَعِيدٞ  ٣

Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah [kami akan kembali lagi]? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin (QS Qaff [50]: 3).

 

Allah SWT berfirman kepada mereka, “Apakah Kami letih dengan penciptaan pertama yang Kami ciptakan, padahal sebelumnya tidak ada, sehingga Kami letih mengembalikan mereka menjadi makhluk yang baru setelah bercampur dengan tanah dan binasa? Kami sama sekali tidak letih karena itu semua. Bahkan Kami kuasa melakukan itu.”12

Dengan demikian, ayat ini kembali mengecam orang-orang yang mengingkari al-ba’ts (kebangkitan setelah kematian) sekaligus menjawab perkataan mereka: « ذلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ » (itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin), bahwa apakah Allah Swt lemah atau tidak mampu menciptakan pada penciptaan pertama sehingga Dia pun tak mampu mengembalikan lagi?

Menurut Wahbah az-Zuhaili bahwa ini merupakan dalil dari jiwa manusia yang ditambahkan pada bukti-bukti sebelumnya dari alam semesta mengenai kebenaran kebangkitan dan pengumpulan adalah sesuatu yang sangat mungkin, baik menurut akal maupun kebiasaan. Karena itu Zat Yang berkuasa untuk menciptakan pada penciptaan pertama, bagaimana mungkin Dia tidak mampu mengembalikan lagi?13

Artinya, apakah penciptaan yang pertama itu melemahkan Kami sehingga mereka meragukan adanya pengembalian (setelah kematian) mereka? Demikian menurut Ibnu Katsir.14

Maksud dari ayat ini menjadi al-istidlâl atau penetapan dalil penciptaan yang pertama atas adanya Hari Kebangkitan.15

Menjelaskan ayat ini, Wahbah al-Zuhaili berkata, “Sungguh Kami tidak lemah (untuk menghidupkan manusia kembali). Mengembalikan itu lebih mudah daripada menciptakan pertama kali. Ini sebagaimana firman-Nya:

وَهُوَ ٱلَّذِي يَبۡدَؤُاْ ٱلۡخَلۡقَ ثُمَّ يُعِيدُهُۥ وَهُوَ أَهۡوَنُ عَلَيۡهِۚ ٢٧

Dialah Yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)-nya kembali. Menghidup-kan kembali itu adalah lebih mudah bagi Allah (QS ar-Rum [30]: 27).16

 

Menurut Ibnu Katsir, makna yang dimaksud: “Permulaan penciptaan itu tidaklah melemahkan Kami. Tentulah mengembalikan-nya seperti semula adalah hal yang jauh lebih mudah daripada penciptaan yang pertama kali.” Ini seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَهُوَ ٱلَّذِي يَبۡدَؤُاْ ٱلۡخَلۡقَ ثُمَّ يُعِيدُهُۥ وَهُوَ أَهۡوَنُ عَلَيۡهِۚ ٢٧

Dialah Yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)-nya kembali. Menghidup-kan kembali itu adalah lebih mudah (QS al-Rum [30]: 27).

 

Juga firman Allah SWT:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلٗا وَنَسِيَ خَلۡقَهُۥۖ قَالَ مَن يُحۡيِ ٱلۡعِظَٰمَ وَهِيَ رَمِيمٞ  ٧٨ قُلۡ يُحۡيِيهَا ٱلَّذِيٓ أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٖۖ وَهُوَ بِكُلِّ خَلۡقٍ عَلِيمٌ  ٧٩

Dia telah membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa atas kejadiannya. Dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan Yang menciptakannya  pertama kali. Dia Mahatahu atas segala makhluk (QS Yasin [36]: 78-79).17

 

Dalam hadis dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw. bahwa Allah SWT telah berfirman:

فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّاىَ فَقَوْلُهُ لَنْ يُعِيدَنِى كَمَا بَدَأَنِى، وَلَيْسَ أَوَّلَ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَىَّ مِنْ إِعَادَتِهِ

Adapun pendustaannya (Bani Adam) kepada-Ku adalah perkataannya bahwa Aku tidak akan dapat mengembalikan dirinya (hidup lagi) seperti pada permulaan Aku menciptakan dia, padahal penciptaan pertama lebih mudah dari mengembalikan-nya (HR al-Bukhari).

 

Menurut Imam al-Qurthubi, ini merupakan kecaman terhadap orang-orang yang mengingkari kebangkitan dan jawaban atas perkataan mereka: « ذلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ » (itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin).18

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya:

بَلۡ هُمۡ فِي لَبۡسٖ مِّنۡ خَلۡقٖ جَدِيدٖ  ١٥

Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru. 

 

Kata « فِي لَبْسٍ » bermakna [ في خلط وشبهة ] (dalam kerancuan dan kesamaran). Makna tersebut sebagaimana terkandung dalam perkataan Sayidina Ali ra: « يَا جَارِ إِنَّهُ لَمَلْبُوسٌ عَلَيْكَ، اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ » (Wahai Har, sungguh ini samar bagi. Ketahuilah kebenaran, maka engkau akan mengetahui orangnya). Demikian menurut az-Zamakhsyari.19

Ada yang juga yang memaknainya: « فِي شَكٍّ وَحَيْرَةٍ وَاخْتِلَاطٍ » (dalam keraguan, kebimbangan dan kerancuan). Asy-Syaukani berkata, “Mereka dalam keraguan,  kembimbangan dan kebingungan mengenai penciptaan yang baru (pembangkitan kembali orang-orang yang mati).” 20

Kata « بَلْ » dalam ayat ini bermakna « الْإِضْرَابُ » (mengalihkan satu tema kepada tema lainnya) yang tidak menafikan makna sebelumnya. Sebagaimana diterangkan oleh asy-Syaukani, makna al-idhrâb di sini adalah mereka tidak mengingkari kekuasaan Allah SWT dalam penciptaan yang pertama.” 21

Dengan demikian, yang mereka ragukan adalah « خَلْقٍ جَدِيدٍ » (penciptaan yang baru). Dengan kata lain, mereka merasa ragu terhadap akan kebangkitan manusia kembali setelah kematiannya.

Al-Baidhawi berkata, “Mereka tidak mengingkari kekuasaan Kami dalam penciptaan pertama. Namun, mereka dalam kerancuan dan kesamaran terhadap penciptaan berikutnya. Pasalnya, hal itu menyimpang dari kebiasaan. Mereka mengingkari penciptaan yang baru karena besarnya urusan tersebut. Itu dirasakan tidak dikenal dan tidak biasa.”22

Penjelasan senada juga disampaikan Ibnu Jarir ath-Thabari. Mufassir tersebut berkata berkata, “Kaum musyrik yang mendustakan Hari Kebangkitan itu tidak ragu bahwa Kami tidak letih dengan penciptaan pertama. Akan tetapi, mereka ragu-ragu terhadap kekuasaan Kami pada penciptaan baru setelah hancurnya mereka di dalam kubur.”23

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, Allah SWT sama sekali tidak letih dan tidak lemah dalam penciptaan pertama. Tentang hal ini, mereka pun tidak meragukan itu. Hanya saja, mereka fî labs[in] (dalam keraguan) tentang penciptaan yang baru. Tentang hal inilah mereka merasa ragu dan samar. Padahal, tidak ada tempat bagi keraguan. Sebabnya, mengembalikan itu lebih mudah daripada mengadakan yang baru, sebagaimana disebutkan dalam QS ar-Rum [30]: 27.24

Penjelasan senada juga dikemukakan para mufassir lain, seperti al-Khazin, dan lain-lain.25

 

Beberapa Pelajaran Penting

Sangat banyak ayat dan hadis yang memberitakan kepastian dan kebenaran hari Kiamat. Peritiswa itu pasti terjadi. Tak ada yang bisa menghalangi dan tak boleh diragukan (Lihat: QS  al-Hajj [22]: 7).

Ketika peristiwa itu terjadi, semua manusia yang telah dimatikan dihidupkan kembali. Mereka dibangkitkan untuk mempertangung-jawabkan semua amalnya ketika di dunia. Selanjutnya mereka diberi balasan sesuai dengan amalnya. Sebagian dimasukkan ke dalam surga. Sebagian lainnya dilemparkan ke dalam neraka.

Meskipun demikian, banyak di antara manusia ingkar. Tidak mengimani (Lihat: QS Ghafir [40]: 59).

Mereka yang mengingkari Hari Kiamat itu berdalih bahwa manusia yang telah mati dan tubuhnya telah menjadi tanah adalah sesuatu yang mustahil (Lihat: Qaf [50]: 3).

Ayat di atas membantah pengingkaran mereka. Menurut Abdurrahman as-Sa’di, dalam ayat ini Allah SWT menjadikan penciptaan pertama sebagai dalil penciptaan yang lain, yakni kebangkitan kembali nanti. Sebagaimana Allah SWT menciptakan mereka dari ketiadaan, Dia juga bisa mengembalikan mereka lagi setelah mereka mati dan setelah jasad mereka hancur.26 (Lihat juga: QS ar-Rum [30]: 27; QS al-Anbiya [21]: 104).

Demikianlah. Ayat ini dan ayat-ayat lain dengan mudah membantah klaim dan dalih orang-orang kafir yang mengingkari Hari Kiamat. Oleh karena itu, jika mereka tetap bersikeras mengingkari Hari Kiamat, tidak ada yang pantas bagi mereka kecuali mendapatkan azab neraka yang sangat dahsyat (Lihat: QS al-Furqan [25]: 11).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 301

2        al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 187

3        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 127 (Bierut: Dar Ihya‘ a;-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 128

4        al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 328

5        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008 ), 1587

6        al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 32

7        al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 87

8        al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 67

9        al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 328; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Syarikah Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1996), 301

10      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 87

11      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 87

12      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 340

13      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 291

14      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 397

15      Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 301

16      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 290

17      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7, 397

18      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 8

19      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 382

20      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 87

21      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 87

22      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 140

23      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 340

24      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 805

25      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 187

26      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 805

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + ten =

Back to top button