
Penjajahan Palestina: Perang Peradaban Islam vs Peradaban Kufur
Banyak pihak melakukan propaganda bahwa penjajahan yang dilakukan entitas Yahudi terhadap tanah Palestina bukanlah perang agama. Ini hanyalah karena kepentingan politik dan perebutan wilayah antara bangsa Yahudi dan bangsa Palestina. Mereka beralasan, jika disebut sebagai perang agama, dikhawatirkan akan terjadi perluasan konflik di berbagai wilayah lainnya.
Propaganda tersebut tentu sangat keliru dan tidak sesuai dengan kenyataan. Realita yang terjadi di Palestina jelas merupakan perang agama bahkan merupakan pertarungan Peradaban Islam dengan peradaban kufur. Di antara alasannya sebagai berikut:
Pertama, entitas Yahudi melakukan pencaplokan wilayah dan kemudian mendirikan negara yang mereka namakan “Israel” adalah karena dalih agama. Mereka mengklaim tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Dengan klaim tersebut, mereka melakukan berbagai macam cara untuk menguasai tanah Palestina.
Adapun terkait nama negara, sebelum dinamakan “Israel”, Theodor Herzl, orang yang disebut sebagai Bapak Zionis, menyebut negara yang hendak didirikan di tanah Palestina sebagai Der Judenstaat, alias Negara Yahudi. Kita tentu mengetahui, Yahudi bukan hanya sekadar sebuah bangsa, melainkan juga sebagai agama.
Simbol bendera Israel, yakni Bintang Daud, juga diyakini sebagai simbol dari perisai yang digunakan Raja Daud. Kita tentu mengetahui, kaum Yahudi pun meyakini Daud bukan sekadar seorang raja. Ia juga seorang nabi yang diutus kepada Bani Israil. Jadi jelas, penjajahan Yahudi atas tanah Palestina karena motivasi agama.
Kedua, bagi umat Islam, tanah Palestina atau Baitul Maqdis adalah tempat terpenting ketiga setelah Makkah dan Madinah. Di antara alasannya karena di wilayah tersebut terdapat Masjid al-Aqsha, yakni tempat yang menjadi kiblat pertama umat Islam, juga sebagai tempat singgah Nabi Muhammad saw. dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Bagi umat Islam, tanah Palestina, Baitul Maqdis atau Masjid al-Aqsha adalah simbol kesucian dan persatuan umat Islam.
Selain itu, umat Islam di seluruh dunia bagaikan satu tubuh. Jika ada anggota tubuh yang sakit, seluruh anggota tubuh yang lain juga ikut merasakan sakit. Bagi umat Islam, permasalahan umat Islam di Palestina adalah permasalahan seluruh kaum Muslim. Karena itu jika ada umat Islam di wilayah tersebut mengalami penderitaan, pengusiran, apalagi pembunuhan maka umat Islam di seluruh dunia wajib melakukan pembelaan. Bagi umat Islam, membela saudara Muslim yang dizalimi adalah bagian dari jihad fii sabiilillah yang diwajibkan di dalam Islam.
Di sisi yang lain, kita mengetahui bahwa penjajahan atas tanah Palestina tidak murni dilakukan oleh entitas Yahudi semata, melainkan didukung penuh oleh kekuatan negara-negara kafir imperialis seperti Inggris dan Amerika. Karena itu sangat jelas bahwa penjajahan atas wilayah Palestina adalah masalah agama, sekaligus pertarungan Peradaban Islam dengan peradaban kufur.
Aktor Utama Kejahatan di Palestina
- Kepentingan Negara Kafir Barat di Timur Tengah.
Bagi negara-negara kafir Barat, paling tidak ada empat kepentingannya di Kawasan Timur Tengah yakni: Islam; kawasan yang strategis; minyak; dan negara Yahudi.
Islam telah dan senantiasa menjadi bahaya besar bagi Amerika Serikat (AS) dan Barat. Kawasan Timur Tengah dianggap sebagai titik tolak dakwah Islam ke seluruh dunia. Karena itu AS menjadikan Islam sebagai musuh utama satu-satunya setelah keruntuhan Sosialisme. AS menggunakan slogan-slogan terorisme, ekstremisme agama dan fundamentalisme agama sebagai kedok untuk menyerang Islam dan kaum Muslim di kawasan Timur Tengah. AS dengan segala kekuatan yang dia miliki berusaha menjauhkan gerakan-gerakan Islam dan kekuasaan. Hal itu dilakukan melalui cara-cara kekerasan, kebrutalan serta penyiksaan yang dijalankan oleh rezim-rezim pemerintahan yang menjadi pengikut AS di kawasan ini.
Kawasan Timur Tengah dipandang sangat strategis sedikitnya karena dua alasan. Pertama, karena kawasannya berada di tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. ia secara otomatis menjadi penghubung ketiga benua tersebut dan menjadi penting bagi strategi ekonomi, perdagangan serta pertahanan global.
Kedua, negara-negara di Kawasan Timur-Tengah berbatasan dengan beberapa laut dan selat, yang letaknya sangat strategis, yakni: (1) Laut Tengah (Mediterania) yang terletak di sepanjang perbatasan Mesir, Libya, Tunisia. Laut ini memisahkan daratan Afrika dan Eropa; (2) Laut Merah yang terletak di antara Afrika dan Arabia; (3) Laut Arab yang terletak di bagian barat laut Samudera Hindia antara Arabia dan India; (4) Laut Mati yang terletak di perbatasan Yordania dan Palestina; (5) Laut Kaspia yang berbatasan dengan Iran; (6) Laut Hitam yang terdapat di Turki; (7) Laut Aegean, yang terletak di perbatasan Turki dan Yunani.
Selain memiliki laut-laut penting, kawasan Timur Tengah juga memiliki selat-selat strategis dan sangat penting untuk jalur perdagangan (khususnya minyak), yakni Selat Giblaltar (pemisah Afrika Utara dan Eropa), Selat Bab-Al Mandap (Pesisir Yaman), Selat Bosporus di Turki, Selat Hormuz (Iran sebelah Utara dan Oman sebelah Selatan) dan Terusan Suez (jalur pelayaran dari Laut Tengah ke Afrika dan Asia).
Letak strategis tersebut telah menjadikan Timur Tengah sebagai kiblat para penjajah dan sasaran utama orang-orang serakah. Hal itu karena kawasan tersebut mempunyai urgensi yang luar biasa dalam hal jalur transportasi dan komunikasi; bukan hanya pada masa sekarang, melainkan sejak Perang Salib hingga hari ini.
Selain kawasannya yang strategis, di Timur-Tengah juga terdapat kandungan mineral yang melimpah seperti tembaga, batu bara, dan besi dan tentu saja minyak yang merupakan aset terbesar kawasan ini. Dua pertiga cadangan minyak dunia diperkirakan tersimpan di kawasan yang sebagian besar wilayahnya berpadang pasir yang tandus. Cadangan minyak kawasan Timur Tengah sangat melimpah. Sebagimana diketahui, seluruh cadangan minyak kawasan lainnya (Asia Pasifik, Afrika, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Selatan juga Eropa), jika digabungkan, diperkirakan berjumlah 362 ribu juta barel. Jumlah ini belumlah menyamai jumlah cadangan minyak kawasan Timur Tengah yang diperkirakan 685 ribu juta barel.
Kepentingan lain negara-negara kafir Barat adalah entitas Yahudi yang ditanam di Palestina. Negara itu telah menjadi poros masalah Timur Tengah dan menjadi penyebab ketidakstabilan. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), berupaya keras untuk mendirikan sebuah negara di Palestina. Hal itu dimaksudkan untuk menjadikan negara Yahudi itu sebagai alat menjajah dan mengontrol kawasan Timur Tengah.
- Peran Inggris dan Amerika dalam Penjajahan Palestina.
Di antara negara yang memiliki peran paling besar dalam memuluskan dan melanggengkan penjajahan terhadap Palestina adalah Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Inggris, bersama dengan Prancis, dua negara pemenang Perang Dunia I, telah merancang pembagian wilayah negeri kaum Muslim melalui Perjanjian Sykes-Picot pada tanggal 16 Mei 1916. Perjanjian ini diberi nama sesuai dengan nama diplomat Prancis François Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Keduanya merundingkan pemecahan wilayah Khilafah Turki Utsmani yang kalah perang saat itu.
Hasil perjanjian tersebut adalah: Prancis menguasai wilayah Turki tenggara, Irak utara, termasuk Mosul, sebagian besar Suriah dan Lebanon. Rusia menguasai Istanbul, Armenia dan Selat strategis Turki. Inggris menguasai Jordan, Irak selatan, Haifa dan Acre di Palestina dan jalur pantai antara Laut Tengah dan Sungai Yordan.
Kemudian pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Britania Raya/Inggris; Arthur James Balfour, mengirimkan surat dukungan yang ditujukan kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk disampaikan kepada Federasi Zionis. Surat itu berisi dukungan Inggris terhadap rencana Zionis untuk menempati wilayah di Palestina sebagai tanah air bagi mereka. Sikap tersebut disetujui pada rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917. Dalam sejarah, surat itu dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Kemudian dalam rentang waktu 1918 hingga 1947, orang-orang Yahudi di Eropa melakukan migrasi ke wilayah Palestina. Di bawah mandat Inggris, populasi Yahudi di Palestina yang pada tahun 1918 hanya berjumlah 6%, pada tahun 1947 berkembang pesat hingga mencapai angka 33% dari keseluruhan populasi penduduk.
Manuver Inggris untuk mengokohkan posisi Yahudi di tanah Palestina dan Timur Tengah dikuatkan oleh keputusan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang disponsori Amerika Serikat (AS) pada tanggal 29 November 1947. Pada saat itu, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang merekomendasikan pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, beserta dengan zona internasional yang meliputi Yerusalem dan Betlehem. Secara khusus, rencana tersebut mengusulkan sebuah negara Yahudi yang menguasai lebih dari separuh Mandat Palestina, yakni Yahudi mendapatkan 55% tanah wilayah Palestina.
Hingga hari ini, Inggris, Amerika dan negara-negara Barat lainnya, senantiasa mendukung eksistensi Negara Yahudi itu; selalu membenarkan langkah brutalnya; juga hampir pasti akan menggagalkan setiap upaya menghukum negara Yahudi itu dengan berbagai cara, termasuk dengan hak veto.
- Kelanjutan dari Perang Salib
Penjajahan atas tanah Palestina diyakini sebagai kelanjutan dari Perang Salib. Perang Salib bermula karena Paus Urbanus II (1088-1099) berinisiatif mempersatukan dunia Kristen, yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel. Bersamaan dengan itu, Raja Byzantium juga merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.
Ketika menemukan kesulitan mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Musuh itu ditemukan: umat Islam. Sasaran jangka pendeknya pun mereka definisikan, yakni pembebasan tempat-tempat suci Kristen di Bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Sasaran jangka panjangnya adalah menghabisi umat Islam. Pasukan salib berencana membunuh Islam, menghapus Khilafah dan menghancurkan umat yang melindungi Khilafah dan hidup untuk Khilafah. Pasukan yang dimobilisasi untuk rencana tersebut mengenakan salib sebagai simbol dari gereja dan Kristen.
Perang Salib berlangsung sangat panjang, sekitar 175 tahun, yakni sejak tahun 1096 hingga 1271. Dalam rentang panjang Perang Salib tersebut, ada tragedi yang tidak akan pernah dilupakan umat Islam, yakni Baitul Maqdis direbut oleh tentara Salib. Pada Mei 1099, Pasukan Salib dengan personel ratusan ribu orang bergerak menuju Baitul Maqdis. Pasukan Salib pun bergerak cepat dan mengepung kota itu pada 7 Juni 1099. Kota itu hanya bertahan satu bulan. Pada 15 Juli 1099 kota itu akhirnya jatuh, diiringi pembantaian mengerikan atas penduduknya. Para saksi mata mencatat genangan darah sampai setinggi mata kaki dan mayat ditumpuk-tumpuk bak piramida. Selanjutnya, Masjid Al-Aqsa diubah menjadi istana Kerajaan Yerusalem, sedangkan Masjid Kubah Batu diubah menjadi gereja.
Umat membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk membebaskan Baitul Maqdis dari penguasaan tantara Salib. Pada tahun 1187 di bawah komando Shalahuddin al-Ayyubi, Baitul Maqdis kembali direbut umat Islam setelah dikuasai selama 88 tahun oleh Pasukan Salib Kristen. Shalahuddin menjamin keselamatan pasukan Salib yang tersisa untuk kembali ke Eropa. Menurut Karen Amstrong dalam bukunya, The Crusades, saat membebaskan Palestina, Salahudin al-Ayyubi dan Pasukan Islam tidak melakukan pembunuhan dan perampasan harta benda.
- Upaya Mengontrol dan Menghambat Kebangkitan Islam.
Keberadaan entitas Yahudi di Timur Tengah sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan dari AS. Di antaranya untuk melakukan kontrol dan menguasai sumberdaya alam, terutama minyak. Konstelasi politiknya, harus ada ada negara yang mengawasi negara-negara di Timur Tengah secara geopolitik. Entitas Yahudi itu telah mengoordinasikan dan mengintegrasikan politiknya dengan kepentingan AS. Ia senantisa menjaga kepentingan AS di Timur Tengah. AS pun senantiasa menjaga posisi entitas Yahudi itu sebagai negara regional yang besar di kawasan Timur Tengah. AS menganggap bahwa membela eksistensi entitas Yahudi itu hakikatnya adalah membela AS itu sendiri.
Bukan hanya melakukan kontrol dan penguasaan atas sumberdaya alam, entitas Yahudi juga diperlukan AS untuk melakukan kontrol langsung atas potensi kebangkitan Islam di Timur Tengah. Secara faktual, Timur Tengah merupakan wilayah yang sangat potensial bagi tegaknya Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Islam dan menyatukan kekuatan dunia Islam. Ini karena berabad-abad lamanya wilayah tersebut menjadi pusat peradaban Islam.
Dalam hal ini, AS harus memastikan bahwa potensi kebangkitan Islam harus diredam bahkan dilumpuhkan. Entitas Yahudi diperlukan untuk memecah fokus perhatian dan kekuatan umat Islam. Seolah-olah masalah Dunia Islam hanyalah “kemerdekaan Palestina”. Dengan itu energi dan perhatian umat Islam habis tanpa sisa. Di sisi lain, Barat telah berhasil menggiring opini dunia Islam bahwa untuk menyelesaikan masalah Palestina adalah dengan solusi dua negara (two state solution). Dunia Islam pun semakin terjebak dalam upaya melanggengkan penjajahan di Palestina.
Manuver Barat untuk memecah-belah dan melemahkan umat Islam semakin nyata. Ketika negeri-negeri Muslim menolak eksistensi negara Yahudi di Palestina, ternyata ada beberapa negeri Muslim yang penting—seperti Turki, Mesir, Uni Emirat Arab, Jordania, Bahrain, Sudan, Maroko, Bosnia-Herzegovina dan Kosovo—telah mengakui bahkan menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara Yahudi tersebut.
Khilafah sebagai Solusi Satu-satunya.
Penting bagi umat Islam untuk memahami akar pemasalahan Dunia Islam. Dengan itu langkah dan energi umat Islam terfokuskan untuk menjalankan dengan metode yang benar (shahih) dan tepat sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
Umat wajib mengetahui bahwa akar permasalah Dunia Islam adalah karena syariah Islam tidak diterapkan secara kaffah dan Dunia Islam tidak Bersatu dalam naungan Khilafah.
Karena itu fokus perhatian umat Islam seharusnya dicurahkan untuk perjuangan penegakan syariah Islam dan Khilafah. Keberadaan Khilafah Islam tidak hanya dapat menerapkan syariah Islam, melainkan juga akan mampu menyatukan Dunia Islam, termasuk militer-militer terbaiknya untuk membebaskan negeri Muslim yang terjajah, termasuk Palestina.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Luthfi Afandi; Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah]