
Bahaya Keppres 17/2022 & Inpres 2/2023
Presiden RI menerbitkan Keppres 17 /2022 yang berisikan pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Manusia Yang Berat di Masa Lalu (selanjutnya disebut Tim PPHAM) pada 26 Agustus 2022. Kemudian disusul terbitnya Inpres 2/2023 yang berintikan Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat pada 15 Maret 2023.
Merujuk Keppres tersebut, penyelesaian nonyudisial adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM tanpa melalui jalur hukum. Alih-alih mengadili pelaku pelanggaran HAM, metode ini justru menekankan pemulihan korban melalui berbagai bantuan material.
Penyelesaian non-yudisial itu ditujukan untuk tiga maksud. Pertama, melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Kedua, merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya. Ketiga, merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi pada masa yang akan datang.
Sebagaimana dijelaskan dalam Keppres, rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya dapat diberikan dalam bentuk rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, dan rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.
Apa Itu Pelanggaran HAM Berat?
Pelanggaran HAM berat adalah kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian yang bersifat sulit dikembalikan ke keadaan semula. Korban pelanggaran HAM berat umumnya menderita luka fisik, mental, penderitaan emosional dan kerugian lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pelanggaran HAM berat juga menyebabkan kerugian materiil bagi korbannya.
Penting dicatat, perumusan tentang pelanggaran HAM berat belum secara jelas ditetapkan dalam berbagai resolusi maupun deklarasi yang telah diadakan oleh negara-negara di dunia.1
Di Indonesia, pelanggaran HAM berat telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pelanggaran HAM berat adalah segala bentuk tindak pelanggaran HAM berupa pembunuhan massal (genosida), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). (Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999). Selain UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000, penanganan kasus pelanggaran HAM berat juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan beberapa undang-undang tertentu lainnya.
Menurut catatan Komnas HAM, ada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Ada kasus pelanggaran HAM berat yang sudah terselesaikan dan ada juga yang belum terselesaikan.
Terkait pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum terselesaikan, Presiden Jokowi mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Ada 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia yang diakui Jokowi. Berikut ini daftar pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia yang diakui Jokowi: (1) Peristiwa 1965-1966; (2) Penembakan Misterius 1982-1985; (3) Peristiwa Talangsari Lampung 1989; (4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998; (5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; (6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; (7) Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999; (8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; (9) Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999; (10) Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; (11) Peristiwa Wamena Papua 2003; (12) Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.2
Menyoal Rekomendasi Komnas HAM
Yang menjadi persoalan penting adalah mengapa suatu peristiwa dikategori pelanggaran HAM berat dan yang lain tidak. Di sinilah rekomendasi Komnas HAM ke Presiden patut dikritisi. Contoh sederhananya, seperti mengapa di poin pertama dari 12 peristiwa yang dimasukkan pelanggaran HAM berat, adalah peristiwa 1965-1966 yang diklaim korbannya adalah anggota PKI dan simpatisanya? Kalau PKI korban, maka pelakunya (umat Islam dan TNI) adalah penjahat? Bagaimana dengan korban pembantaian oleh PKI terhadap banyak tokoh umat Islam dan TNI sebelum 1965? Mengapa ketika PKI melakukan pembantaian kepada ulama dan tokoh Muslim di Madiun 1948 tidak dimasukkan sebagai pelanggaran HAM berat? Apa konsekuensi multi aspek bila kebijakan ini dipaksakan?
Ini dari sisi jenis pelanggaran HAM berat yang direkomendasi Komnas HAM. Selain itu, dari sisi cara penyelesaiannya, metode non-yudisial ini menuai banyak kritik. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, melalui pernyataan resminya memandang bahwa pembedaan antara metode yudisial dan non-yudisial merupakan kamuflase dari lemahnya Negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan di Indonesia.
Kontras menilai metode ini tak lebih dari upaya Pemerintah untuk memperkuat impunitas dan mengabaikan hak-hak dasar korban. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik hukum dari ketentuan yang sudah ada dan sudah berjalan.3
PKI pada 1965-1966 Korban atau Pelaku?
Jika kita mendalami berbagai peristiwa yang terkait dengan kudeta yang dilakukan oleh PKI (sebelum, saat dan sesudah) 30 September 1965, yang dikenal dengan Peristiwa G30S/PKI yang kemudian digagalkan oleh TNI dan umat Islam, berbuntut pada terjadinya polarisasi tajam antar kelompok (antara pro dan kontra PKI) karena ketidaktegasan Presiden Sukarno dalam bersikap terhadap kudeta PKI dan Komunisme.
Konsekuensi
- Aspek Sejarah.
Dari aspek sejarah, klaim bahwa PKI adalah korban pelanggaran HAM berat dan pelakunya adalah TNI dan umat Islam, sesungguhnya adalah upaya jahat untuk mengkaburkan sejarah bahkan menguburkan sejarah. Seolah mereka adalah korban. Padahal mereka adalah pelaku. Jika diyakini klaim bahwa PKI adalah korban maka terkuburlah fakta bahwa mereka itu adalah pelaku.
Pendukung PKI dan Komunisme sedang melakukan apa yang disebut sebagai politik “playing- victim”. Mereka pelaku, tetapi teriak sebagai korban. Maling teriak maling. Pola kebohongan dan pemutarbalikan fakta inilah salah satu ciri pendukung PKI dan Komunisme. Andai pendukung PKI dan Komunisme adalah korban pelanggaran HAM berat, konsekuensi-nya TNI dan umat Islam adalah penjahat HAM berat. Ini jelas kesimpulan yang ahistoris (tidak berdasar fakta sejarah) dan tuduhan yang sangat keji.
Fakta sejarahnya, pendukung PKI dan Komunisme adalah pelaku kejahatan. Korbannya adalah TNI, umat Islam dan rakyat. Sejak kemunculannya, PKI dan Komunisme telah tiga kali melakukan kejahatan, pemberontakan dan kudeta pada tahun 1927, 1948, dan 1965.
- Aspek Hukum.
Dari aspek hukum, andai pendukung PKI dan Komunisme diklaim sebagai korban, terbuka peluang para pelaku kejahatan akan dituntut oleh korban. Tentu menjadi jungkir balik logikanya. Para korban yang sesungguhnya, yaitu rakyat khususnya umat Islam dan TNI, akan dianggap sebagai pelaku kejahatan. Ini tentu hal yang harus dihentikan.
Bahkan implikasi lebih luas, TAP MPRS XXV/MPRS/1966 yang berisi tentang “Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme”, berpotensi untuk dibatalkan karena dianggap tidak relevan. Alasannya, pendukung PKI dan Komunisme adalah korban, bukan pelaku kejahatan dan kudeta.
Munculnya produk hukum TAP MPRS XXV/1966 ini adalah bukti faktual bahwa PKI dan pendukung Komunisme adalah pelaku kejahatan bukan korban.
- Aspek Politik.
Adapun dari aspek politik, andai PKI dan Komunisme dianggap korban pelanggaan HAM berat, maka pemulihan dan pengembalian hak mereka menjadi terbuka. Padahal telah terbukti bahwa mereka pelaku dari pelanggaran HAM berat yang sesungguhnya dalam kasus pembantaian tahun 1948 dan pengkhianatan melalui kudeta 1965. Hak yang dipulihkan adalah hak sebagai korban dan hak politik sebagai warganegara. Lantas bagaimana hak dari korban yang sesungguhnya, yaitu hak umat Islam dan TNI yang sejak 1948 juga dibantai; yang pada tahun 1965, umat Islam, para ulama dan TNI menyabung nyawa dalam rangka penumpasan kudeta dan pemberontakan PKI; sementara ada adagium saat itu karena konflik dan kerusuhan yang ada di masyarakat saat itu “kill or to be killed”?
Jelas, konsekuensi terbitnya Keppres dan Inpres ini akan membangkitkan kembali komunisme (KGB/Komunisme Gaya Baru).Narasi kebohongan sangat dominan manakala mereka mengatakan bahwa PKI dan Komunisme adalah korban.
Kejahatan Ideologi Komunisme Terhadap Kaum Muslim
Kejahatan Komunisme di berbagai belahan dunia, selain menimpa manusia secara umum, mereka juga melakukan berbagai kejahatan khususnya terhadap kaum Muslim.
Di Indonesia sendiri ada dua peristiwa yang menjadi gambaran kejahatan tersebut. Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan Kudeta PKI 1965 yang telah memakan korban yang sangat banyak. Di Madiun, 1948, tak tanggung-tanggung, korban pembantaian PKI kala itu mencapai 1.920 orang. Padahal PKI hanya menduduki Madiun selama 13 hari saja, terhitung sejak tanggal 18-30 September 1948. “Sesuai data resmi dari Kodim Madiun yang kita buat referensi pembuatan brosur bahwa PKI menguasai Madiun sejak 18 hingga 30 September 1948. Singkat namun ada ribuan korban yang berhasil dibinasakan dengan kejam,” ujar pengelola monumen lainnya, Tri Sugianto.4
Peristiwa kudeta 1965, PKI dan Komunisme juga telah membantai 6 jenderal dan 1 perwira. Sebelumnya mereka melakukan teror, agitasi, dan pembantaian di berbagai wilayah di Indonesia.5
Saat era Uni Sovyet yang dikuasai partai komunis, dari 15 negara federal yang menjadi bagian Uni Soviet, enam di antaranya memiliki penduduk mayoritas Islam. Keenam wilayah tersebut yakni Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan, Kirgisztan, Turkmenistan dan Azerbaijan. Tak cuma itu, umat Islam di Uni Soviet juga ditemukan dalam jumlah besar di Idel-Ural, Kaukasus Utara, dan Tatarstan (saat ini Republik Tatarstan). Selama Stalin berkuasa, sebagaimana dikutip dalam buku “The National Republics Lose Their Independence” karya Helene Carrere d’Encausse, Tentara Uni Soviet menutup bahkan menghancurkan sejumlah masjid yang menjadi salah satu sarana dakwah. Sejumlah madrasah juga dihancurkan. Para ulama yang coba mempertahankan kultur Islam disiksa secara keji dan bahkan dibunuh. Pada Mei 1944, hampir 200 ribu Muslim Tatar Krimea dideportasi ke sejumlah negara bagian seperti Republik Kazakhstan, Republik Mari, Republik Uzbekistan, dan ke beberapa wilayah lain di negara-negara federal Uni Soviet. Sebagai pengaman, lebih dari 32 ribu Tentara Merah Uni Soviet dikerahkan. Menurut laporan Time, lebih dari 10 ribu Muslim Tatar Krimea meninggal dunia akibat kelaparan.6
Di Cina, sampai saat ini, Muslim Uighur mendapatkan perlakuan jahat dari rezim Komunisme. Human Right Watch memperkirakan 1 juta orang telah ditahan di 300 hingga 400 fasilitas penahanan di seluruh Xinjiang sejak tahun 2017. Pengadilan di wilayah tersebut diduga menjatuhkan “hukuman penjara yang berat” tanpa adanya proses hukum. “Menurut statistik resmi, penangkapan di Xinjiang menyumbang hampir 21% dari semua penangkapan di Cina pada tahun 2017, meskipun orang-orang di Xinjiang hanya 1,5% dari total populasi,” kata laporan itu.
Bukti menunjukkan bahwa otoritas di Xinjiang telah menggunakan berbagai cara untuk merusak atau menghancurkan setidaknya dua pertiga masjid di Xinjiang. Otoritas lokal juga menerapkan jaringan pengawasan yang luas di seluruh wilayah dengan mengumpulkan sampel DNA, sidik jari, pemindaian mata, dan golongan darah penduduk Xinjiang yang berusia antara 12 dan 65 tahun.
Kepada DW, aktivis HRW Richardson mengatakan bahwa laporan tersebut menyoroti kebijakan Pemerintah Cina yang telah menyasar warga Muslim Uighur dan minoritas Muslim Turki lainnya dalam beberapa tahun terakhir. “Kami sampai pada kesimpulan bahwa pelanggaran ini sesuai dengan definisi meluas dan sistematis,” tutur Richardson.7
Kegagalan Komunisme dan Kapitalisme
Sebagaimana Komunisme yang telah gagal hingga bubarnya Uni Sovyet pada 1989, 8 dan di negara-negara komunis Eropa Timur, ideologi Kapitalisme pun terbukti gagal dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi manusia.
Kedua ideologi ini mengalami kegagalan karena keduanya dibangun di atas asas yang batil. Tidak sesuai dengan fitrah manusia. Tidak sesuai dengan akal sehat. Tidak menenteramkan hati. Komunisme dibangun di atas asas materialisme. Kapitalisme dibangun di atas asas sekulerisme. Berikut ini fakta kerusakan yang terjadi ketika dunia saat ini dalam dominasi Kapitalisme.
Pada bidang ekonomi, fakta menunjukkan bahwa “Capitalism isn’t working, another world is possible”. Kapitalisme gagal membawa kesejahteraan untuk rakyat. Istilah “TINA” (There Is No Alternative) telah runtuh. Slogan ini digaungkan sejak Presiden Reagen (1981-1989) bahwa satu-satunya alternatif untuk dunia adalah kapitalisme, liberalisme dan globalisasi.
Begitu dalamnya ketidakadilan karena gap kesenjangan ekonomi antara “the have” dan “the have not”. Perbandingannya, hanya 1 persen yang diuntungkan dengan penerapan Kapitalisme, sementara 99 persen adalah menderita kesengsaraan. Menurut laporan Badan Amal asal Inggris, Oxfam9 , yang berjudul “Time to Care”, 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat kekayaan dari seluruh umat manusia. “Ketimpangan ekonomi telah menjadi di luar kendali, dengan 2.153 miliarder memiliki kekayaan lebih dari 4,6 miliar orang pada 2019,” tulis laporan tersebut, dikutip melalui Bloomberg, Senin (20/1/2020). Menurut Bloomberg, tiga orang terkaya di dunia telah mengumpulkan kekayaan total sebesar US$231 miliar selama 1 dekade terakhir. Total kekayaan 20 miliarder teratas telah berlipat ganda dari US$672 miliar menjadi US$1.397 miliar sejak 2012.10
Di bidang sosial, dalam statistik resmi AS (2017), per 100.000 penduduk, tingkat kejahatan dengan kekerasan dalam bentuk pembunuhan angkanya 5.3, perkosaan 41.7, perampokan 98, serangan yang diperparah 248.9, kejahatan kekerasan total 382.9. Kejahatan properti berupa perampokan 430.4, pencurian 1.694, pencurian kendaraan bermotor 237.4.11
Di bidang kesehatan, masih massifnya persebaran virus Covid-19 di seluruh dunia, telah menujukkan kegagalan pencegahan dan penanganan sehingga membawa kematian manusia lebih dari 5.5 juta orang dan angka yang terjangkit lebih dari 343 juta orang (21/01/2022). Ironisnya, Kapitalisme menunjukkan bahwa yang diuntungkan secara materi dengan tingginya angka kematian tersebut adalah perusahan-perusahan farmasi dunia yang mendominasi produksi obat (vaksin). Belum lagi sebaran berbagai penyakit menular lainnya, seperti AIDS dll.
Di bidang pendidikan, Survei NBC News Wall Street Journal yang dilakukan 10 -14 Agustus 2019 menyimpulkan bahwa nilai-nilai yang dipandang penting oleh AS telah berubah selama dua dekade terakhir. Anak muda AS kini kurang mementingkan patriotisme, agama dan keinginan memiliki anak. Generasi muda AS lebih menghargai kerja keras, toleransi, keamanan finansial dan kepuasan diri. Hanya 30 persen yang menganggap agama sangat penting. Demikian pula tentang keinginan memiliki anak, hanya 43 persen mengatakan itu sangat penting. Perubahan pandangan generasi baru juga menunjukkan patriotisme bukan lagi hal penting, seiring 51 persen dari mereka tidak mendukung Kapitalisme.
Di kancah politik luar negeri, dalam rangka menerapkan Kapitalisme secara global, Amerika dan Barat menerapkan metode penjajahan (imperialisme), baik pola lama (melalui militer) maupun pola baru (neo imperialisme, melalui dominasi ekonomi dan budaya). Hasilnya kita bisa saksikan, Perang Dunia I menewaskan lebih dari 31 juta orang. Sebanyak 58 juta jiwa kehilangan nyawa dalam Perang Dunia II. Sebanyak 1.7 juta tewas dalam Perang AS melawan Uni Sovyet di Afganistan, 1.5 juta tewas dalam Perang Vietnam. Belum lagi yang tewas dalam Perang Melawan Terorisme pasca Peristiwa 11 September. Korban akibat nafsu penjajahan Kapitalisme ini menelan ratusan juta yang meninggal, cacat permanen dan berbagai kerugian fisik dan psikis.
Kerusakan lingkungan bukanlah hal yang terpisah dari ekonomi-politik Kapitalisme. Energi-energi fosil, meski dengan daya rusak lingkungan yang sangat besar, dipilih karena dapat menekan ongkos produksi sekaligus dijadikan komoditi dalam Kapitalisme. Harga yang harus dibayar sangat besar, yaitu dengan pemanasan global. Sebelum Revolusi Industri angka emisi gas rumah kaca hanya 1 gigaton, lalu menjadi 46,6 juta gigaton pada 2015; atau sekitar 1,4 juta kg setiap detik. Efek rumah kaca memerangkap panas yang harusnya kembali ke luar angkasa. Panas ini kemudian menyebabkan es di kutub mencair sehingga membuat kenaikan permukaan air laut. Antara tahun 1992 sampai tahun 2011 Antartika telah kehilangan 76 milyar ton es tiap tahunnya. Sejak tahun 2012, pencairan lapisan es itu telah mencapai 219 milyar ton per tahun. Kenaikan permukaan air laut mengalami tambahan kenakan setinggi 0,08 mm pertahun, yang terjadi setiap tahun sejak 1993.
Keunggulan Islam dan Sistem Khilafah
Jadi, kemana kita akan berpaling dan menuju? Hanya satu jawabannya, Islam. Secara konsep (fikrah, thought) dan metode (thariiqah, method). Islam adalah agama yang unggul, tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi. Fokuslah hanya ke Islam Kaffah. Tidak ke kanan: kapitalisme-sekuler-demokrasi. Tidak ke kiri: komunisme-sosialisme-materialisme.
Secara historis, Islam dan Daulah Islam (Khilafah) telah membawa manusia dari berbagai ras, suku, wilayah, berpindah dari kegelapan menuju cahaya tauhid. Secara empiris, lebih dari 1300 tahun, Khilafah telah membersamai peradaban Islam dan memberikan kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan bagi umat manusia.
Karena itu umat Islam harus makin bersemangat dan terus istiqamah dalam menggelorakan dakwah secara intelektual, politis dan damai untuk melanjutkan kehidupan Islam, menjemput kemenangan dan kemerdekaan hakiki, menyatukan seluruh wilayah dunia dengan tegaknya Islam kaaffah dan Khilafah.
WalLaahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Riyan, M.Ag.; (Pengamat Politik Islam)]
Catatan kaki:
1 Juanda, Ogiandhafiz (November 2019). “Pengadilan HAM di Indonesia: Evaluasi Terhadap Perlindungan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM Berat” (PDF). Prosiding Seminar Nasional Viktimologi Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia: 67
2 https://news.detik.com/berita/d-6510570/arti-pelanggaran-ham-berat-di-indonesia-dan-daftar-kasusnya
5 Peristiwa Kanigoro di Kediri, Jawa Timur, Peristiwa Bandar Betsi Sumatera Utara, Teror kepada ulama dan sastrawan dalam peristiwa Manifest Kebudayaan, dll.
7 https://www.dw.com/id/cina-melakukan-pelanggaran-sistematis-kepada-warga-uighur/a-57259176
8 Sejak rezim komunis Stalin, Sebelum pembubaran Uni Soviet dan pengungkapan arsip, beberapa sejarawan memperkirakan bahwa jumlah yang dibunuh oleh rezim Stalin adalah 20 juta atau lebih. Setelah Uni Soviet bubar, bukti dari arsip Soviet dideklasifikasi dan peneliti diizinkan untuk mempelajarinya. Ini berisi catatan resmi 799.455 eksekusi (1921–1953), sekitar 1,7 juta kematian di Gulag , sekitar 390.000 kematian selama dekulakisasi pemindahan paksa, dan hingga 400.000 kematian orang yang dideportasi selama tahun 1940-an, dengan total sekitar 3,3 juta korban tercatat secara resmi dalam kategori ini(Wikipedia, 2023).
9 Oxfam (2021). https://ekonomi.bisnis.com/read/20200120/9/1192088/oxfam-ketimpangan-ekonomi-dunia-di-luar-kendali
10 Free and Fair Trade, Global Agenda 2006, hal.111.
11 Biro Statistik Amerika(2017).Kejahatan di Amerika Serikat menurut Volume dan Tingkat per 100.000 Penduduk, 1998–2017.