Fokus

Mewaspadai Kebangkitan Kembali Gerakan Komunis Di Indonesia

Pada masa Soekarno (Orde Lama), Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai legal yang ikut Pemilu. Pada era Orde Baru, PKI  menjadi partai terlarang Pasca Pemberontakan G30S/PKI dengan keluarnya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Setelah Penguasa Orde Baru/Soeharto lengser, mulai tampak gerakan Komunisme untuk kembali eksis.

Pada era rezim Jokowi, hubungan Indonesia dengan Negara Komunis Cina semakin dekat. Bandul pemerintahan pun tampak bergerak dari Demokrasi-Kapitalisme ke arah Komunisme yang otoriter. Berbagai Perppu, Keppres dan Inpres serta kebijakan lain mulai tampak ke arah sana. Akankah gerakan Komunisme selangkah lagi kembali eksis di negeri ini?

 

Publik dibuat resah dengan terbitnya Keppres Nomor 17 tahun 2022 tanggal 26 Agustus 2022 tentang TPP Non-Yudisial HAM Berat Masa Lalu. Keppres ini kemudian disusul dengan Inpres Nomor 2 tahun 2023 tanggal 15 Maret 2023. Presiden memerintahkan 16 Kementerian dan 3 Lembaga Negara untuk melaksanakan rekomendasi TPP HAM. Yang menjadi kekhawatiran publik adalah ketika isu pelanggaran HAM ini digunakan oleh para keluarga dan ahli waris G30S/PKI mendapatkan pengakuan Negara dengan berbagai konsekuensinya.

Terbitnya Keppres 17 tahun 2022 dan Inpres 2 tahun 2023 ini tak lepas dari proses yang cukup panjang. Pada tahun 2002, Komnas HAM menyerahkan berkas perkara pro-justisia kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Berkas yang diserahkan pada tanggal 20 Juli 2002 ini kemudian dikembalikan oleh Kejagung pada 25 Oktober 2002 karena belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk diajukan ke tahap penyidikan.

Selanjutnya, dalam kurun waktu 13 tahun, dari tahun 2002 sampai 2015, Komnas HAM kembali mengajukan 7 temuan Pelanggaran HAM Berat kepada Kejagung. Namun, lagi-lagi berkas tersebut dikembalikan disebabkan belum cukup bukti memenuhi unsur Pelanggaran HAM Berat untuk diajukan ke tahap penyidikan. Dalam hal ini Komnas HAM terkesan tidak puas.

Komnas HAM kemudian mencoba lagi mengajukan berkas Pelanggaran HAM Berat pada 11 Desember 2018. Kali ini Wapres Jusuf Kalla saat itu menerima rekomendasi Komnas HAM yang isinya meminta agar Presiden memerintahkan Jaksa Agung untuk memulai proses penyidikan terhadap 10 berkas yang telah diserahkan oleh Komnas HAM sebelumnya. Wapres Jusuf Kalla berjanji akan menyerahkan berkas tersebut kepada Presiden Jokowi.

Selanjutnya pada tanggal 9 Desember 2019, Komnas HAM meminta Presiden untuk menerbitan Keppres guna menguatkan kelembagaan. Namun, rekomendasi ini pun belum  mendapatkan respon yang memadai sesuai rekomendasi Komnas HAM. Kejagung dan Komnas HAM dinilai saling lempar tanggung jawab. Persoalannya ada pada masalah pembuktian hukum.

Setelah melalui jalan panjang berliku untuk pembuktian secara hukum, pada tahun 2021 muncul gagasan Penyelesaian Non-Yudisial untuk pelanggaran HAM Berat. Upaya non-yudisial ini kemudian diikuti beberapa peristiwa penting.

Pada 27 September 2021 terjadi pembongkaran beberapa patung Pahlawan Nasional di Markas Komando strategis Angkatan Darat (Makostrad). Patung Pahlawan Nasional yang berjasa menumpas Pemberontakan G30S/PKI itu dibongkar dengan alasan untuk ketenangan lahir dan batin. Patung yang turut dibongkar antara lain: Patung Jend. AH Nasution, Jend. Soeharto dan Jend. Sarwo Edhi.

Pada September 2021 ini juga, dalam diskusi “TNI vs PKI”, Mantan Panglima TNI Jend (Purn) Gatot Nurmantyo menduga ada penyusupan kembali simpatisan PKI ke tubuh TNI/Polri.

Selanjutnya Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres 4/2022 tentang 1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Ini menyangkut peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Soeharto dan menunjukkan di mata internasional bahwa Indonesia masih berdaulat. Namun, uniknya nama Soeharto tidak muncul dalam Keppres tersebut. Justru nama yang muncul adalah HB IX,  Jend. Soedirman, Bung Karno dan Hatta,

Setelah melalui proses panjang dan menemui jalan buntu itu, Presiden Jokowi menerbitkan Keppres. Pada tanggal 26 Agustus 2022, terbitlah Keppres Nomor 17 tahun 2022. Dengan terbitnya Keppres ini maka terbentuklah Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM (TPP HAM) Berat Masa Lalu. Tugas TPP HAM Berat Masa Lalu ini adalah: Mengungkap dan Mengupayakan Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Selanjutnya TPP HAM Berat Masa Lalu mengeluarkan beberapa rekomendasi. Salah satu rekomendasinya adalah Pemulihan Hak-hak Konstitusional. Hal ini dapat dimaknai bahwa para pelaku Gerakan Makar G30S/PKI diposisikan sebagai korban pelanggaran HAM dan mendapatkan pemulihan hak konstitusionalnya. Dengan mendapatkan kesamaan hak konstitusionalnya maka menjadi kekhawatiran bagi publik hal ini akan dijadikan senjata untuk membangkitkan kembali PKI.

Pada Januari 2023, setelah menerima laporan TPP HAM, Presiden Jokowi mengakui dan menyesali adanya pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Bahkan Jokowi pun segera mengeluarkan Inpres Nomor 2/2023. Isinya menginstruksikan 16 menteri dan 3 lembaga negara untuk melaksnakan rekomendasi TPP HAM. Di antara 12 rekomendasi TPP HAM Berat Masa Lalu, salah satunya peristiwa 1965/1966.

 

Pengakuan Penyesalan atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Upaya untuk mengubah posisi dari semula sebagai pihak yang terlibat G30S/PKI menjadi posisi sebagai korban pelanggaran HAM terus dilakukan. Upaya ini tampak keberhasilannya dengan diterbitkannya Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023 oleh Presiden Jokowi.

Upaya mendapatkan pengakuan Negara, bahwa dalam penumpasan gerakan makar G30S/PKI terjadi pelanggaran HAM, mendapatkan lampu hijau dari Presiden. Padahal sebelumnya hal ini menemui jalan buntu ketika laporan pelanggaran HAM itu diajukan melalui Kejaksaan Agung. Pada awal tahun 2023, Presiden Jokowi akhirnya memberikan pernyataan yang mengakui adanya pelanggaran HAM. Bahkan tak hanya pengakuan, Jokowi pun menyatakan penyesalannya.

“Dengan pemikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat,” ujar Jokowi usai menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Jika kita dalami pernyataan Presiden Jokowi tersebut terdapat sedikitnya tiga makna penting: (1) posisi sebagai kepala negara; (2) merupakan pengakuan; (3) adanya penyesalan yang dilakukan dengan kesadaran dan hati yang tulus.

Pertama: Posisi pengakuan dilakukan dalam kapasitas sebagai kepala negara. Konsekuensinya, itu merupakan pernyataan resmi dari Negara.

Kedua:  Pengakuan atas adanya pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Melalui pernyataan tersebut, Presiden Jokowi bertindak sebagai kepala negara yang mengakui adanya pelanggaran HAM. Konsekuensinya, Negara mengakui telah terjadi pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Termasuk di dalamnya peristiwa 1965-1966 yang merupakan peristiwa berdarah, pemberontakan G30S/PKI.

Ketiga: Pengakuan penyesalan. Setelah Jokowi mengakui bahwa ada pelanggaran HAM Berat Masa lalu, ia pun menyatakan penyesalannya. Ini pertanda ia tak setuju bahwa ada peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 itu.

Dengan penyesalan tersebut, Jokowi mengakui bahwa hal itu merupakan kelalaian atau kesalahan. Dengan pengakuan kesalahan itu maka Negara telah salah melakukan penumpasan G30S/PKI. “Mafhuum mukhaalafah”-nya berarti mereka sebagai korban TPP HAM itu yang dianggap benar.

Kalau Negara mengakui salah maka maknanya semua yang dilakukan oleh TNI dan masyarakat (ulama dan umat) dalam menumpas G30S/PKI itu merupakan kesalahan.  Kalau mereka dinyatakan sebagai korban, lalu bagaimana dengan Pahlawan Revolusi yang menjadi korban keganasan PKI?

 

Penyusunan Ulang Sejarah

Sejarah sangat bergantung pada siapa penulisnya. Pada masa Orde Lama gagasan Komunisme mendapat ruang yang luas dari rezim Soekarno. Kala itu Soekarno mempopulerkan istilah NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunis). Hal ini berlangsung sampai meletusnya pemberontakan G30S/PKI. Lalu rezim Orde Baru hadir dan dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Isinya tentang: Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI); pernyataan PKI Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia; larangan atas semua kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Ini berlangsung hingga rezim Orde Baru berakhir dan digantikan dengan Orde Reformasi.

Pada era Reformasi, utamanya pada masa rezim Jokowi, mulai tampak upaya-upaya untuk menulis ulang sejarah negeri ini. Saat yang sama ada upaya untuk mengaburkan sejarah kelam pemberontakan G30S/PKI. Hal itu mulai tampak melalui jalur formal dengan terbitnya Keppres dan Inpres sebagaimana uraian di atas.

Setelah rezim Jokowi mengakui ada korban pelanggaran HAM berat, maka dilanjutkan dengan menulis ulang sejarah versi baru. Inilah yang disebut sebagai penguburan dan pengaburan sejarah;mengganti tokoh-tokoh sejarah yang kontra terhadap Komunisme dengan tokoh-tokoh komunis. Tidak ada batasan yang pasti.

 

Memulihkan Hak-Hak Korban

Memulihkan hak-hak korban ini tercakup dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.

Pemulihan hak konstitusional sebagai korban, antara lain;  yang sebelumnya tidak boleh ikut memilih dalam Pemilu menjadi boleh ikut memilih dan dipilih. Sebelumnya, tidak boleh membuat partai maka sekarang menjadi boleh buat partai. Dll.

Adapun pemulihan sebagai hak warga negara maka memiliki kesetaraan sebagai warga negara yang pernah terlibat makar maupun yang tidak. Jika selama ini tidak mendapat kesetaraan sebagai warga negara maka kini semua menjadi boleh. Masuk menjadi polisi maupun tentara menjadi setara. Tak boleh ada kewaspadaan untuk meneliti apakah ia bagian dari keluarga yang terlibat makar G30S/PKI atau tidak. Semua boleh-boleh saja.

Bahkan boleh mendapatkan kesamaan dalam hal beasiswa pendidikan atau menjamin keberlangsungan pendidikan yang layak bagi para korban, pemulihan ekonomi atau menjamin kesejahteraan bagi para korban, melindungi para korban dari berbagai bentuk ancaman dan penghinaan, dan lainnya.

Untuk tahap awal, Presiden Joko Widodo sudah memulai memberikan santunan kepada para korban dan ahli waris korban pelanggaran HAM usai peluncuran Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023). Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial sebanyak 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat yang terjadi di Indonesia dan dimulai dari Aceh sebagai titik kick off program tersebut.

Apakah pada Bulan September nanti para keluarga dan ahliwaris G30S/PKI juga akan mendapatkan santunan dari Presiden Jokowi? Biarlah waktu yang menjawabnya, juga sejarah yang mencatatnya.

 

Pendataan Ulang Koban

Pemerintah akan melakukan pendataan kembali korban TPP HAM. Jika hal itu dimaksudkan untuk memberikan kompensasi dan memulihkan hak-hak korban agar tepat sasaran maka ini bisa dipahami publik. Meski demikian, publik juga tahu bahwa di era digital saat ini mestinya data itu sudah dimiliki oleh Negara. Pendataan ulang hanya akan menimbulkan kegaduhan baru. Apalagi jika ingin terjadi kesetaraan antar sesama warga negara. Ini justru bisa menimbulkan kecemburuan sesama anak bangsa.

 

Menunaikan Kewajiban Negara Terhadap Korban

Negara menciptakan suasana kondusif sehingga tercipta harmonisasi dalam masyarakat yang bersifat kultural. Negara harus lebih berperan dan bertanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya kepada seluruh warga negara dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM. Negara harus meningkatkan perannya untuk penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada berbagai sisi lainnya.

 

Resosialisasi Korban

Adanya upaya memulihkan nama baik korban HAM di kancah masyarakat yang lebih luas. Tujuannya agar mereka dapat diterima di masyarakat yang lebih luas. Selain itu mereka juga diberi panggung dan kesempatan lebih dibandingkan rakyat lainnya agar mereka bisa lebih eksis di kehidupan nyata, di tengah-tengah masyarakat. Jika kebijakan semacam ini dilakukan, justru ini akan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat. Masyarakat akan kembali terluka.

 

Kampanye Kesadaran Publik

Melakukan kampanye terhadap masyarakat agar timbul kesadaran publik bahwa mereka adalah korban dan harus dilindungi. Mengedukasi masyarakat terkait HAM agar menghargai satu dan lainnya. Menampakkan bahwa negara mengawal dan melindungi korban HAM. Menjadikan perilaku masyarakat standar dengan prinsip-prinsip HAM dalam keseharian.

 

Membuat Kebijakan Reformasi Struktural dan Kultural

Melakukan sosialisasi dan pendampingan bagi masyarakat dengan terus mendorong upaya untuk sadar HAM. Selain itu, untuk memperlihatkan kehadiran negara dalam upaya pendampingan korban HAM.

Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama untuk mengarusutamakan prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari.

Membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di tubuh TNI/Polri. Kebijakan ini dibuat khusus bagi TNI atau Polri agar tidak terjadi pelanggaran  HAM serupa. Mendorong TNI/Polri agar dapat mengubah mindset untuk menjadi profesional, humanis dan lainnya yang terkait dengan HAM Berat.

 

Memoriabilia Dokumen Sejarah

Membangun memoriabilia dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan. Yang menjadi masalah adalah ketika sejarah sudah dikaburkan dan dibalikkan, dari yang semula pelaku pemberontakan G30S/PKI dan kini menjadi korban  HAM, maka pembuatan monumen pun akan bergeser dan berbalik. Monumen yang dulu sebagai pahlawan menumpas G30S/PKI kini jadi pelaku pelanggar HAM maka harus dihapus dan dibuat baru. Misal Monumen Lubang Buaya tentu dianggap tidak relevan karena dianggap sebagai pelaku pelanggar HAM sehingga harus dihapus dan dibangun yang baru.

 

Pelembagaan dan Instumental HAM

Upaya ini merupakan beberapa ratifikasi instrumen HAM Internasional seperti menyesuaikan dengan standar yang dibuat oleh PBB. Jika ada peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai maka harus di amandemen atau dibuat yang baru. Adanya gagasan membentuk BPIP, juga upaya mengubah dari Pancasila menjadi Trisila dan Eka Sila. Semua dapat diubah sesuai dengan maunya mereka.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Wahyudi Al Maroky]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − 1 =

Back to top button