Membaca Arah Demokrasi Indonesia
Demokrasi Tanpa Demos. Itu nama buku yang ditulis Wijayanto et. al. (2020). Istilah itu kini banyak dibincangkan. Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos. Demos berarti rakyat. Kratos berarti kekuasaan. Karena itu demokrasi berarti kekuasaan rakyat. Demokrasi tanpa demos berarti demokrasi tanpa rakyat. Rakyat tidak berkuasa.
Pada 9 dan 10 Agustus 2023, di daerah Patung Kuda, Jakarta terjadi demo buruh. Ribuan peserta aksi dari berbagai organisasi buruh menuntut kenaikan upah minimum sebesar 15% tahun 2024. Para buruh juga menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat dengan kepentingan oligarki. Mereka pun menuntut pencabutan UU Kesehatan, pencabutan UU pengembangan dan penyaluran sektor keuangan. Mereka juga menutut Pemerintah untuk mewujudkan sistem jaminan sosial semesta sepanjang hayat.
Berbagai poster diusung. Di antaranya berbunyi “Undang-undang Cipta Kerja Mesin Pembunuh Rakyat”, “DPR Bosok. DPR Bosok. Aku ra popo. Aku ra popo. Ra popo ndasmu”, dan sebagainya. Aksi berjalan hingga malam hari.
“Penguasa kok cuek saja. Padahal mayoritas rakyat itu buruh,” kata Pak Dadan. “Presiden menganggap demo itu tidak ada. Alih-alih menemui aksi buruh, Presiden kok malah mengajak 20 artis menjajal LRT Jabodetabek,” tambahnya.
“Lebih mementingkan kekuasaannya. Setelah menjajal LRT, Presiden malah bertemu dengan para pemimpin media massa di Istana Negara. Rakyat yang menuntut kebijakannya yang dirasa menzalimi mereka tak dianggap,” komentar Mas Rudi.
“Demokrasi di mulut, tapi otoriter dalam perilaku,” tambahnya.
Jauh sebelumnya, dalam “Resolusi Majalengka 11 Mei 2023 Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB)”, Ketua Umum KSPSI Jumhur Hidayat mengatakan, “Aliansi yang terdiri dari puluhan konfederasi dan federasi ini tidak akan pernah berhenti sebelum regulasi-regulasi yang sontoloyo, yang meminggirkan orang kecil itu dicabut.”
“Kita tidak mengkudeta, tidak makar, tidak apa-apa. Kita hanya menyatakan bahwa kita tidak setuju kebijakan itu,” tegasnya.
“Kalau kekuasaannya tidak terancam, demo akan dibiarkan. Namun, tetap dicuekin,” ujar Mas Rudi lagi.
Contoh lain, masyarakat paham bahwa Pemilu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Namun, sejak lama sudah beredar isu penundaan Pemilu. Mentok terus. “Kini muncul gagasan itu dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR mengusulkan amandemen UUD untuk membuat aturan penundaan Pemilu di masa darurat,” ujar Pak Dadan lagi.
Memang, Wakil Ketua MPR Asrul Sani mengatakan, “Usulan itu tidak terkait penundaan Pemilu 2024” (9/8/2023). “Tapi, ‘kan tidak bisa omongan itu keluar dari konteksnya. Selama ini ada wacana menunda Pemilu. Namun, mentok terus. Tiba-tiba, MPR mengusulkan amandemen penundaan Pemilu. Tak mungkin itu lepas dari penundaan Pemilu 2024,” Pak Dadan mengomentari lagi.
“MPR tidak mewakili rakyat,” tambahnya.
“Sekarang ini benar-benar demokrasi tanpa demos. Ngaku pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Faktanya, kekuasaan hanya di tangan segelintir partai politik dan oligarki,” tegas Mas Rudi.
Ungkapan itu ada benarnya. Bagi oligarki, demokrasi itu sangat menguntungkan. Freedomhouse.org edisi 3 Agustus 2015 menurunkan tulisan ‘Democracy is good for business’. “Tentu yang diuntungkan adalah bisnis oligarki, bukan UMKM,” ujar Mas Rudi kembali.
Suara-suara kritis yang mewakili suara hati rakyat pun dibungkam. Bahkan dijadikan tersangka. Sebut saja kasus Rocky Gerung (RG) baru-baru ini. “Begitu Jokowi kehilangan kekuasaannya, dia jadi rakyat biasa, nggak ada yang peduli nanti. Tetapi, ambisi Jokowi adalah mempertahankan legasinya. Dia mesti pergi ke China buat nawarin IKN. Dia mesti mondar-mandir dari satu koalisi ke koalisi yang lain untuk mencari kejelasan nasibnya. Dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia nggak mikirin nasib kita,” ujar RG.
Ini sebenarnya inti dari ungkapan RG. Memang, dia menggunakan kata “baj****n t***l” yang dianggap menghina Presiden oleh para pendukung Presiden. “Kata itu sebenarnya digunakan Rocky untuk menjelaskan kebijakan Presiden,” ungkap Prof. Aceng.
“Kita harus lihat konteksnya,” ujar ahli forensik bahasa itu.
“Kalau Pak Moeldoko pasang badan untuk membela PG, saya pasang akal untuk membela RG,” ujar Prof. Din Syamsuddin.
Lepas dari itu semua, kini kasus RG ditangani Bareskrim Polri. “Semua Laporan Polisi ditarik ke Mabes Polri karena obyek perkara dan terlapor semua sama. Dalam proses ambil-alih,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro (7/8/2023).
Adanya polemik terkait hal ini di tengah masyarakat menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan RG setidaknya mewakili sebagian suara rakyat. Namun, suara itu dibungkam. “Ini juga realitas di tengah masyarakat yang menunjukkan demokrasi tanpa demos, ya ‘kan?” ungkap Pak Dadan menirukan Mas Rudi.
Itulah realitas demokrasi. Ke sanalah tampaknya demokrasi di Indonesia mengarah. Pertanyaan menarik, apakah ‘kehendak rakyat’ (the will of people) itu benar-benar ada? Seorang filosof dan ahli matematika Bernama Marquis de Condorcet telah membuat suatu pembuktian matematika yang menyimpulkan bahwa menerima demokrasi secara penuh dan kehendak rakyat bukan hanya sulit, melainkan dalam faktanya mustahil (impossible) sebagaimana jumlah suara yang selalu tumbuh.
Selain itu, Mark Chou (2014) menulis buku Democracy Against Itself. Di antaranya disebutkan, “By their nature, all democracies have the potencial to destroy themselves” (Secara alaminya, semua demokrasi memiliki potensi untuk menghancurkan dirinya sendiri).
Kalau demikian realitas demokrasi, kemana harus berpaling? Pada 19 Juli 2023, saya berkesempatan mengikuti agenda dialog tokoh di Jakarta. Mereka menyadari bahwa demokrasi saat ini demokrasi tanpa demos. Bahkan demokrasi akan menghancurkan dirinya sendiri. “Kita harus hijrah. Hijrah dari sistem kufur menuju sistem Islam,” tegas KH Rokhmat S Labib. Di dalam kitab fikih karya ulama Indonesia KH Sulaiman Rasyid disebutkan bahwa sistem Islam itu disebut Khilafah.
WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]