Muhasabah

Tantangan Selalu Ada

Tahun 2024.  Tahun baru dimulai kembali.  Ada apa pada tahun 2023?  Banyak sekali perkara.  Sebut saja Omnibus law UU Cipta Kerja.  Kompas (21/3/2023) menurunkan tulisan “Jejak Kontroversi UU Cipta Kerja: Disahkan Kilat, Perppu Diketok meski Banjir Penolakan”.

Teman saya, Kang Doddy bilang, “Itu mah bukan UU Cipta Kerja, tapi Cipta Investasi.  Sangat berpihak kepada investor.  Tenaga kerja pun dibawa dari luar oleh investor.”

Ada juga UU Kesehatan.  Kalangan Kesehatan sendiri banyak menolak.  Selain itu, muncul politik dinasti.  “Sebenarnya politik dinasti itu dari dulu ada,” ujar Kang Doddy lagi.

“Soeharto mengusung Mbak Tutut. Megawati mengusung Puan. SBY mengusung AHY.  Para ketua partai juga mengusung sanak keluarganya,” tambahnya.

“Yang repot sekarang ini bukan sekadar politik dinasti, tapi politik dinasti yang berpijak pada kecurangan. Sebut saja, putusan Mahkamah Konstitusi tentang Syarat Wapres/Cawapres yang meloloskan anak Presiden Joko Widodo.  Ketua MK saat itu pamannya anak itu,” tegasnya.

Mafia hukum terlihat jelas.  Sebut saja kasus Sambo.  Belum lagi gurita korupsi dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Pengakuan mantan Ketua KPK Agus Raharjo yang mengaku ditekan Presiden untuk menghentikan kasus e-KTP adalah satu buktinya.

Belum lagi kasus Rempang yang berpihak kepada oligarki.

Secara sosial, pinjaman online (pinjol) sangat meresahkan.  “Mahasiswa banyak tertipu juga,” kata Kang Nanang.

Bidang ekonomi pun tak luput dari persoalan, seperti kereta api cepat, BSI kena ransomeware hingga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).

“Namun, ada satu hal yang luput dari perhatian mayoritas publik.  Apa itu?  UU nomor 1 tahun 2023 KUHP,” tegas Chandra Purna Irawan.

Ketua Umum LBH Pelita Umat itu menambahkan, “Sekarang ini sudah jaman 5.0, tapi kok masih ada kebijakan 1.0.  Di antaranya adalah UU itu.  Sekadar contoh, coba tengok Pasal 188 ayat 1.”  Pasal 188 ayat 1 itu adalah: “Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Kandidat doktor itu merinci, “Siapa sasaran dari paham lain itu?  Pada tahun 2016, ada kebijakan ASN tidak boleh melike, share dan comment para ustadz yang dituding radikal. Bahkan keluarganya.  Muncul pula moderasi agama hingga hal-hal berbau jihad dan khilafah dihilangkan dari pelajaran.  Kalaupun ada, dipindah menjadi sejarah.”

Ia menyimpulkan, “Jadi, sasarannya dapat diduga adalah da’i dan para aktivis Islam.”

“UU KUHP itu sebenarnya seperti pada zaman Romawi.  Dulu ada prinsip criminal stellionatus.  Zaman Romawi kuno, prinsip ini memberikan kebebasan luas bagi penguasa untuk memaknai apa itu perbuatan jahat (criminal stellionatus),” al-Maroky berkomentar.

“Akibatnya, penguasa bisa saja menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat,” tambahnya.

“Iya ya, yang menentukan ‘paham lain’ yang harus dilarang itu apa saja terserah penguasa,” respon Kang Nanang.

Al-Maroky menambahkan, “Dulu, Belanda tidak suka pada Islam.  Namun, tidak pernah membatasi paham dan ajaran keagamaan.  Saat ini?  Paham pun dibatasi.”

“Kita perlu bertanya apakah UU nomor 1 tahun 2023 KUHP itu sebab atau akibat?  Ya, tentu akibat.  Akibat apa?  Akibat dari segitiga: politisasi, komersialisasi, yang berujung pada kriminalisasi,” ujar Bang Noorsy.

“Dibuatlah keputusan politik (politisasi) untuk mendatangkan investasi dan keuntungan (komersialisasi). Jika ada yang dianggap kritis terhadap hal itu maka dikriminalisasi,” tambah mantan anggota DPR RI tersebut.

Prof. Suteki, melihat dari aspek lain.  “Pasal 188 itu sebenarnya bertentangan dengan principle of legality.  Prinsip itu ada konsep lex scripta, yakni setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis di dalam undang-undang.  ‘Paham lain’ itu tidak dicantumkan di sana paham apa,” jelasnya.

“Berikutnya, dalam principle of legality itu ada konsep lex stricta. Maksudnya, untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir.  Padahal, dalam Pasal 188 itu bukan sekadar multitafsir, melainkan juga pasal karet,” tambahnya.

Saya sampaikan bahwa pada zaman Orde Lama, umat Islam dipinggirkan.  Pada zaman Orde Baru dianggap musuh.  Berikutnya pada zaman now, ulama dan aktivis dikriminalisasi, ormas Islam yang kritis terhadap penguasa pun dicabut izinnya.

“Iya, sepanjang kurun para aktivis Islam selalu dicurigai.  Ceritanya ini to be continued (baca: berlanjut),” Kang Doddy memberikan tanggapan.

Kiyai Cholilullah menyampaikan, “Dunia saat ini sedang menyulam benang kusut.  Padahal, di tengah-tengah mereka ada para pewaris nabi, yakni para ulama.  Rasulullah saw. dulu diembargo, dicaci, dimaki, diusir dari kampung halamannya, dilempari kotoran, bahkan diancam dibunuh.  Apa pun yang terjadi ini adalah risiko perjuangan.  Kita harus berupaya, namun jika mentok juga, insya Allah itu adalah ujian dari Allah SWT.”

“Yang penting, kita paham tantangan itu selalu ada.  Dulu Rasulullah juga diembargo, diusir, bahkan diancam akan dibunuh,” papar Pak Ahmad Michdan.

“Kita tidak boleh takut selama kita berada di jalan Allah SWT,” tegas advokat senior itu.

“Yang penting, kita jelas menetapkan titik koordinat kita.  Apakah kita berada di pihak kebenaran ataukan kebatilan.  Berada di pihak pemenang ataukah di pihak pecundang,” tambah Prof. Suteki.

Saya tambahkan, “Yang penting, kita menjadi pemain.  Sebabnya, piala itu tidak pernah diberikan kepada penonton atau pengamat.  Pasti piala itu untuk pemain.”

“Yang penting, umat Islam bersatu.  Coba kalau umat Islam, termasuk yang dikriminalisasi atau dicabut izinnya, bersatu, geger dunia,” ujar Slamet Ma’arif.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 − four =

Back to top button