Analisis

Kekuasaan Dalam Islam Untuk Melayani Islam dan Rakyat

Seribu kepintaran bisa dikalahkan, bahkan tak ada artinya, di hadapan segenggam kekuasaan,” tulis seorang pejabat.

Dari sisi realitas, dalam batas-batas tertentu, ungkapan tersebut tidaklah keliru. Namun, dari sisi hukum Islam, ungkapan tersebut tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk menomorsatukan kekuasaan. Kekuasaan bisa menolong pemegangnya untuk berbuat kebaikan, sebaliknya bisa juga mencelakakan pemegangnya untuk melakukan berbagai kerusakan secara massif dan efektif. Fir’aun, misalnya, kekuasaannya yang besar membuat dia menuhankan dirinya sendiri dan merusak urusan  rakyat.

Bagaimana agar kekuasaan memberikan kebaikan kepada pemegangnya dan masyarakat serta tidak berakhir dengan penyesalan di dunia dan akhirat? Beberapa hal berikut wajib dipenuhi.

 

Jangan Pisahkan Kekuasaan dari Islam

Kekuasaaan dan kepemimpinan jika dipisahkan dari Islam akan membahayakan pemangkunya dan merusak rakyat yang dia pimpin. Penguasa akan terhina karena mengkhianati amanah Allah untuk mengatur kekuasaan dengan Islam. Rakyat pun akan menjadi korban penerapan aturan yang merusak.

Jika kekuasaan berpisah dari Islam maka seorang Muslim hendaknya lebih memilih bersama Islam. Muadz bin Jabal ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أَلا إِن الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ ،سَيَفْتَرِقَانِ فَلا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ

Ketahuilah, sesungguhnya al-Quran dan kekuasaan akan terpisah, maka janganlah kalian terpisah dari al-Quran.

 

Paradigma Kekuasaaan dan Kepemimpinan dalam Islam

Kekuasaaan dan kepemimpinan itu ada karena Islam dan untuk tegaknya Islam. Kepemimpinan itu ada karena Islam memerintahkan agar mengangkat pemimpin meskipun hanya ada tiga orang di suatu muka bumi. Kekuasaan itu ada karena Islam telah menjadikan adanya hak bagi pemimpin untuk ditaati sekaligus kewajiban untuk menerapkan Islam. Allah SWT berfirman:

وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ ٤٩

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

 

Dalam kondisi sangat membutuhkan kekuasaan untuk melindungi dakwah dari penganiayaan kafir Quraisy, Rasulullah saw. dengan tegas menolak kekuasaan yang akan meninggalkan salah satu hukum Islam, yakni hukum Islam terkait suksesi. Ketika Baiharah bin Firas dari Bani ‘Amr bertanya, jika mereka membaiat beliau apakah mereka yang akan mewarisi kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah?Beliau menjawab:

الأَمْرُ إلَى الله يَضَعُه حَيْثُ يَشَاء

Perkara (kekuasaan) itu kembali kepada Allah, Dialah Yang memberikan kekuasaan itu kepada yang Dia kehendaki.

 

Baiharah kemudian menolak beliau. Penolakan ini tidak membuat Rasulullah saw bergeser sedikitpun dari hukum syariah, misalnya dengan memenuhi keinginan Bani Amr yang tidak sesuai hukum syariah.

Begitu juga Khalifah Abu Bakar r.a. Pada saat yang sulit, karena menghadapi serangan orang-orang murtad, ada sebagian kabilah yang mau mengingkari kewajiban zakat, Abu Bakar pun berkata: “Demi Allah, jika mereka menghalangiku dari mengambil zakat ternak yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah, lalu pepohonan, tanah, jin dan manusia bersatu membantu mereka, niscaya tetap aku perangi mereka hingga nyawaku berjumpa dengan Allah.”

Mendengar hal tersebut, Umar ra. berkata, “Wahai khalifah Rasulullah saw, bersikap lembutlah kepada manusia.”

Dalam perhitungan militer, saat orang-orang murtad menyerang Madinah, kalau kelompok yang tidak mau membayar  zakat  dibiarkan  saja,  tentu akan mengurangi musuh, hingga yang dihadapi tinggallah musuh yang  benar-benar menyerang Madinah secara fisik. Sebaliknya, jika Khalifah Abu Bakar bersikeras menegakkan hukum zakat, mereka akan memisahkan diri dari negara, bahkan menyerang negara. Namun, Khalifah Abu Bakar ra. lebih mengutamakan tegaknya hukum syariah daripada negara, bahkan daripada nyawanya! Beliau berkata:

أجبّار في الجاهلية وخوّار في الإسلام؟ إنه قد انقطع الوحيُ وتم الدين أينقص وأنا حي؟

Apakah engkau kuat pada masa jahiliyah dan lemah dalam Islam (wahai ‘Umar)? Sungguh wahyu telah terputus dan agama ini telah sempurna. Apakah agama ini akan berkurang (padahal) aku masih hidup?”

 

Sulthân[an] Nashîr[an]

Kekuasaan memang penting. Agama ini tidak bisa tegak sempurna tanpa kekuasaan. Hanya saja, yang dituntut bukanlah sekadar kekuasaan, namun kekuasaan yang menolong (shultân[an] nashîr[an]). Demikian sebagai-mana doa yang diajarkan Allah SWT kepada beliau:

وَقُل رَّبِّ أَدۡخِلۡنِي مُدۡخَلَ صِدۡقٖ وَأَخۡرِجۡنِي مُخۡرَجَ صِدۡقٖ وَٱجۡعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلۡطَٰنٗا نَّصِيرٗا  ٨٠

Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS an-Isra’ [17]: 80).

 

Imam Ibnu Katsir mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frase “kekuasaan yang menolong”, mengatakan:

….نَصِيراً لِكِتَابِ اللهِ، وَلِحُدُودِ اللهِ، وَلِفَرَائِضِ اللهِ، وَلِإِقَامَةِ دِينِ الله

“… untuk membela Kitabullah, menerapkan hukum-hukum Allah, melaksanakan hal-hal yang difardlukan (diwajibkan)  Allah dan untuk menegakkan agama Allah.”

 

Menjaga Agama dan Rakyat

Imam al-Mawardi (w. 450H), ketika merinci 10 tugas dan tanggung jawab Khalifah (penguasa), pada poin pertama beliau menyatakan:

حِفْظُ الدِّينِ عَلَى أُصُولِهِ الْمُسْتَقِرَّةِ، وَمَاأَجْمَعَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّة…

Menjaga Islam agar senantiasa berada di atas pondasinya dan di atas apa yg telah disepakati oleh generasi terdahulu dari umat ini…”

 

Beliau lalu menyampaikan tugas berikutnya, di antaranya: menerapkan hukum di antara mereka yang berselisih, melerai permusuhan yang terjadi antara mereka yang bersengketa, melindungi kesucian dan kehormatan, menerapkan hudûd (hukum-hukum Allah) untuk menjaga larangan-larangan Allah dari penodaan, menjaga hak-hak hamba-Nya dari kerusakan dan eksploitasi, membentengi perbatasan, juga memerangi siapa saja yang menentang Islam setelah dakwah sampai kepada mereka, hingga mereka mau berislam atau mau masuk dalam dzimmah.

 

Pedoman Tentang Kekuasaan dan Kepemimpinan

Untuk menjamin keberlangsungan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada penguasa, Islam memberikan pedoman tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Di antaranya adalah:

 

  1. Syarat-syarat pemimpin.

Islam telah menjelaskan beberapa syarat bagi seorang pemimpin. Jika pemimpin itu adalah kepala negara, mestilah memenuhi tujuh syarat berikut:

Pertama, Muslim.  Allah SWT berfirman:

وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا  ١٤١

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ وَعَلَى أَنَّه لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْرُ انْعَزَلَ

Para ulama telah bersepakat (berijmak) bahwa kepemimpinan tidak sah diberikan kepada orang kafir, dan mereka juga bersepakat bahwa seandainya terjadi kekufuran pada dirinya, maka ia wajib dipecat.

 

Kedua, laki-laki. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah ra. yang mengatakan: Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.

 

Ketiga dan keempat, balig dan berakal. Rasulullah saw. bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاث: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَعْقِلَ

Telah diangkat pena (beban hukum) atas orang yang tidur hingga bangun, atas anak kecil hingga balig dan atas orang gila hingga waras (akalnya Kembali) (HR Abu Dawud).

 

Siapa saja yang diangkat pena (beban hukum) dari dirinya, dengan sendirinya tidak sah untuk mengurusi urusannya, apalagi mengurus urusan masyarakat.

Kelima, adil. Allah SWT. telah mensyaratkan pada seorang saksi dengan syarat ‘adâlah (adil).

وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ ٢

Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kalian (QS ath-Thalaq [65]: 2).

 

Kedudukan seorang pemimpin/kepala negara tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu tentu lebih utama dia memiliki syarat agar bersifat adil.

Keenam, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi pemimpin/kepala negara karena dia adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Ketujuh,  mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin/kepala negara. Sahabat Abu Dzar al-Ghifari ra. pernah menawarkan diri untuk diangkat menjadi penguasa daerah. Rasulullah saw. menjawab:

يا أبا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنها أَمَانَةٌ، وإنها يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

Wahai Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah, sementara  jabatan (kekuasaan) itu Amanah. Sungguh pada Hari Kiamat jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya.

 

  1. Sistem yang wajib diberlakukan.

Seorang pemimpin/penguasa wajib berhukum dengan hukum Allah dalam mengatur urusan rakyatnya. Sebabnya, kedaulatan ada di tangan syariah. Jika terjadi perselisihan rakyat dengan penguasa, mereka harus tetap tunduk pada hukum Allah SWT untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Allah SWT berfirman:

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ٥٩

Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).

 

Rakyat wajib menasihati penguasa agar mereka tidak menyimpang dari sistem ini. Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H), pernah menasihati Khalifah Harun ar-Rasyid:

فإن لم تفعل في ملكك بدين الله، فأنت زعيم أهل النار

Jika engkau tidak bertindak dalam wilayah kekuasaanmu berdasarkan agama Allah, kelak engkau menjadi pemimpin penghuni neraka.

 

Islam juga melarang berbilangnya kepala negara. Imam Ibnu Katsir menyatakan: Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan sabda beliau, “Siapa saja yang datang kepada kalian sementara urusan kalian bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah ia di mana pun dia.” (HR. Muslim). Ini merupakan pendapat jumhur. Tidak hanya seorang yang telah menceritakan adanya ijmak dalam hal ini. Di antara mereka adalah Imamul Haramain.”

 

  1. Mengangkat dan menurunkan penguasa.

Terkait siapa orang yang menjadi pemimpin/kepala negara, Islam hanya memberikan metode pengangkatan, tidak menyebutkan nama person. Metode ini ditetapkan dengan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. ‘Ubadah bin Shamit ra. berkata:

بايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنا، وَيُسْرِنا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لا نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا،عِنْدَكُمْ مِنَ الله فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kami telah berbaiat untuk senantiasa mendengar dan taat, baik dalam keadaan lapang atau terpaksa, mudah maupun sulit, mementingkan kepentingannya daripada kepentingan diri sendiri, dan tidak memberontak pemerintahan yang berwenang.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat ia telah melakukan kekufuran yang jelas, dan kalian memiliki hujjah di sisi Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Al-Murakibi dalam disertasinya menyatakan: “Yang mesti kita perhatikan adalah bahwa baiat (Aqabah kedua) ini sama dengan akad pendirian Negara Islam antara Rasulullah saw. dengan para pemimpin Aus dan Khazraj dan perwakilan mereka.”

Adapun perkara siapa yang akan dibaiat diserahkan kepada rakyat. Mereka berhak memilih siapa yang mereka kehendaki dari orang-orang yang memenuhi syarat menjadi kepala negara. Seseorang yang dipilih juga tidak boleh dipaksa untuk menjadi penguasa.

Jika seseorang menerima jabatan sebagai kepala negara, dia wajib diberhentikan jika dia murtad, gila permanen, atau ditawan musuh yang kuat sehingga tidak ada harapan untuk bisa bebas. Dalam tiga hal ini otomatis dia diberhentikan dan menaati dia ketika itu tidaklah wajib.

Adapun jika kepala negara kehilangan sifat ‘adalah-nya, fasik terang-terangan, berubah jadi wanita,  sering kambuh penyakit gilanya, ditekan pihak lain sehingga dia tidak mampu berpendapat sendiri, atau tidak mampu lagi melaksanakan tugas, maka dia harus diberhentikan. Hanya saja, dalam  keadaan-keadaan ini, kepala negara tetap wajib ditaati sampai ada keputusan hakim yang mengikat tentang pemberhentiannya.

 

Kesimpulan

Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang Muslim di panggung kekuasaan. Yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Khalifah ‘Umar ra. pernah berkata:

لَوْ مَاتَتْ شَاة عَلَى شَط الْفُرَاتِ ضَائِعَة لَظَنَنْتُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلِي عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Andai seekor domba mati di pinggiran sungai Eufrat dalam kondisi terbuang (tersia-sia), sungguh aku berpikir bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanku tentang itu pada Hari Kiamat.”

 

WalLaahu a’lam. [M. Taufik NT]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × five =

Back to top button