Analisis

Ramadhan Bulan Ketaatan, Perjuangan dan Pengorbanan

Ramadhan adalah bulan yang didambakan oleh orang-orang shalih. Bukan karena mereka bermalas-malasan pada bulan lain. Namun, karena begitu semangatnya mereka akan melakukan ketaatan di dalamnya. Tentu karena besarnya keutamaan bulan ini. Karena itu jauh-jauh hari sebelum Ramadhan tiba, mereka berdoa agar disampaikan pada bulan Ramadhan. Di antara doa yang mereka panjatkan, misalnya, disampaikan oleh Yahya bin Abi Katsir:

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ إِلَى رَمَضَانَ، وَسَلِّمْ لِيْ رَمَضَانَ، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلاً

“Wahai Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku pada bulan Ramadhan.”1

 

Di antara keutamaan Ramadhan adalah sebagaimana riwayat dari  Thalhah bin ‘Ubaidillah ra. Disebutkan ada dua orang yang masuk Islam bersama-sama. Salah seorang dari keduanya lebih giat daripada yang lainnya. Orang yang sangat giat ini ikut berjihad lalu mati syahid. Yang lainnya masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal dunia. Ternyata dalam mimpinya Thalhah melihat yang meninggal setelahnya mendapat keutamaan melebihi yang giat dan mati syahid tersebut. Ketika ditanyakan kepada Rasulullah saw., beliau bertanya, “Bukankah dia (orang yang terakhir mati itu) masih hidup setahun setelahnya?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “(Bukankah) dia telah menemui bulan Ramadhan lalu berpuasa Ramadhan, dan dia telah melakukan shalat sekian banyak sujud di dalam setahun?” Mereka menjawab, “Ya”. Lalu beliau bersabda:

فَمَا بَيْنَهُمَا أَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Jarak di antara keduanya lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi.”2

 

Hakikat Ramadhan

Ramadhan, dengan ibadah puasanya, juga aturan-aturan lain yang Allah syariatkan untuk manusia, pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk manusia menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Ketakwaan yang tanpa menimbang untung rugi, tanpa protes dan tanpa manipulasi.

Wanita yang sedang berpuasa, ketika datang haid walau hanya semenit sebelum matahari terbenam, tetap batal puasanya. Dia mesti rela mengganti puasanya pada hari lain, tanpa protes atau merasa dirugikan. Orang yang puasa juga tidak akan memanipulasi puasanya. Misalnya, dengan menggeser waktunya ke waktu malam, dari matahari terbenam sampai terbit dengan jumlah jam dan menit yang sama.

Sikap ini diharapkan memunculkan ketaatan yang komprehensif pada seluruh hukum syariah, tanpa memilih dan memilah: sosial atau ritual, politik atau spiritual. Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ ٣٦

Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan perempuan Mukminat, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka (QS al-Ahzab [33]: 36).

 

Kebutuhan Akan Khilafah

Ketakwaan, yakni ketaatan secara total kepada syariah Allah SWT, hanya bisa terwujud dengan adanya Khilafah/Imamah. Ini karena ada sejumlah hukum syariah, semisal hudûd, yang bukan kapasitas individu sebagai pelaksananya. Imam Ar-Razi (w. 606 H) menyatakan:

وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّهَّ لَيْسَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ إِقَامَةُ الْحُدُوْدِ عَلَى الْجُنَاةِ، بَلْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِقَامَةُ الْحُدُودِ عَلَى الْأَحْرَارِ الْجُنَاةِ إِلَّا لِلْإِمَامِ

Umat telah berijmak (bersepakat bulat) bahwa tidak ada hak bagi individu rakyat untuk menegakkan hudûd terhadap pelaku kriminal. Bahkan mereka berijmak bahwa tidak boleh menegakkan huduud kepada pelaku kriminal yang merdeka kecuali imam 3

 

Imam dalam ungkapan di atas adalah khalifah. Ini di satu sisi, yakni wajib adanya Imam yang menerapkan hukum-hukum Islam. Di sisi lain, Imam dalam konteks ini, yakni Khalifah, tidak boleh lebih dari satu.  Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menyatakan:

فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ

Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi maka hal itu tidak boleh.4

 

Dengan demikian ketakwaan tercermin dalam dua hal: 1) ketundukan secara totalitas kepada syariah Allah; 2) persatuan kaum Muslimin dalam satu kepemimpinan, yakni Khilafah. Inilah yang akan menjadikan Allah menurunkan keberkahan dan kemenangan kepada kaum Muslim. Tanpa keduanya, lebih dari 75 kali Ramadhan berlalu, umat masih tidak berdaya menghadapi segelintir penjajah Israel yang menjarah tanah umat Islam dan membantai penduduknya hingga detik ini.

 

Ramadhan Bulan Kemenangan

Pada era Rasulullah dan Khilafah Islam, Ramadhan adalah bulan untuk meningkatkan aktivitas ketaatan, termasuk dalam jihad fi sabilillah. Pada 17 Ramadhan tahun 2 H, saat pertama kali kaum Muslim menjalankan ibadah puasa wajib, tiga ratusan tentara Islam berhasil melibas seribuan kekuatan kaum kafir dalam Perang Badar.

Pada Ramadhan tahun ke 8 H, Rasulullah saw. membawa 10 ribu kaum Muslim menempuh perjalanan 450-an km  dari Madinah menuju Makkah dalam rangka berjihad. Mereka berangkat dalam keadaan berpuasa. Sesampainya di daerah al-Kadid, yakni sumber mata air antara ‘Usfan dan Qudaid, beliau dan pasukan berbuka.5Akhirnya, pada Ramadhan 8 H ini  terjadilah penaklukan kota Makkah.

Puasa tidak menjadi alasan bagi mereka untuk meninggalkan aktivitas jihad ini. Padahal sebagian mereka boleh berbuka dan membatalkan puasa jika kondisinya menuntut demikian. Namun, sabda Nabi saw. ini justru melecut semangat mereka:

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ، بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

Siapa saja yang berpuasa satu hari dalam perang di jalan Allah,6 niscaya Allah menjauhkan dirinya dari neraka selama tujuh puluh tahun.” 7

 

Pada era Khilafah, pada Ramadhan tahun 91 H, kaum Muslim melakukan penaklukan daerah semenanjung Liberia, yaitu Spanyol dan Portugis yang dulu lebih dikenal sebagai Andalusia. Pada Ramadhan tahun 584 H, Shalahuddin dan pasukannya mengusir Pasukan Salib. Pada Ramadhan tahun 658 H, Malik Mudzaffar mengalahkan Tatar dalam Perang ‘Ain Jalut.

Mengapa dulu bisa menang, namun sekarang seperti terlihat mustahil? Menurut Jhon Man, bukan karena mereka dulu tidak ada friksi antar umat Islam, namun karena kepemimpinan. Today, warring factions make it impossible even to imagine a solution. In Saladin’s day, the problems were similar. Even if he had expelled all crusading Christians, Muslim divisions would have remained. The underlying difference between then and now is leadership. 8

Shalahuddin adalah sosok yang mampu memfokuskan tekad dan energi Islam pada tugas persatuan dan jihad. Qadhi Bahauddin bin Syaddad  (w. 632 H) mensifati beliau: “Kecintaannya dan kegemarannya terhadap jihad telah begitu menguasai hati dan seluruh anggota tubuhnya. Karena itu ia tidak pernah membicarakan apapun, kecuali tentang jihad; tidak memikirkan sesuatupun, kecuali tentang persenjataannya; tidak ada ketertarikan, kecuali pada prajurit-prajuritnya; tidak ada kecenderungan, kecuali terhadap orang-orang yang mengingatkan dan mendesak dirinya untuk melakukan hal tersebut. Dia meninggalkan kecintaannya kepada keluarganya, anak-anaknya, tempat lahir, dan seluruh negerinya. Dia merasa puas dengan dunia  meski hidup di bawah  naungan  tenda  yang diterpa angin  ke kanan dan kiri.”9

Ramadhan bulan terbaik. Diturunkan di dalamnya kitab terbaik (al-Quran) kepada nabi terbaik (Nabi Muhammad saw.) lewat perantaraan malaikat terbaik (Malaikta Jibril). Kitab ini akan menjadikan umat ini menjadi umat terbaik jika mereka mau menerapkannya, mendakwahkannya dan memperjuangkan agar umat bersatu menerapkan hukum-hukumnya. Allah SWT berfirman:

لَقَدۡ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكُمۡ كِتَٰبٗا فِيهِ ذِكۡرُكُمۡۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ  ١٠

Sungguh telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan kalian. Lalu mengapa kalian tidak memahaminya? (QS al-Anbiya’ [21]: 10).

 

Kebaikan itu ada pada al-Quran. Al-Quran bisa diterapkan secara sempurna jika ada Khilafah sebagai institusi penerapnya. Ketiadaan Khilafah akan meniadakan penerapan Islam. Ini bisa berujung pada kehinaan kaum Muslim. Demikian sebagaimana syair Handzalah bin ar-Rabi’ ra:

ولو زالت لزال الخير عَنْهُ م…

ولاقوا بعدها ذلا ذليلا

وكانوا كاليهود أو النصارى…

سواء كلهم ضلوا السبيلا


Jika Khilafah lenyap, kebaikan yang ada pada mereka pun akan hilang. Setelahnya mereka pun akan ditimpa kehinaan.

Mereka akan menjadi seperti kaum Yahudi atau Nasrani. Sama-sama tersesat jalan.10

 

Karena itu, saat hukum-hukum al-Quran terabaikan, selayaknya umat Islam tidak mencukupkan diri dengan shalat, puasa dan tadarus al-Quran, baik selama bulan Ramadhan maupun pada bulan lainnya. Umat punya tanggung jawab mengamalkan dan mendakwahkan al-Quran agar dapat betul-betul diterapkan dalam kehidupan. Mencukupkan diri dengan menghapal dan tadarus al-Quran, meski mengulangi seratus kali sehari lengkap dengan nada-nada dan iramanya, jika lalai dari mengamalkan isinya, menurut Imam Ghazali, itu adalah salah satu bentuk ketertipuan. 11 Na’ûdzu bilLâh.

WalLaahu a’lam. [M. Taufik NT]

 

Catatan kaki:

1        Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad Ibnu Rajab Al-Hanbali, Lathâif Al-Ma’ârif, Cet. I. (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2004), h. 148.

2        Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal As-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 3, h. 21; Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt), Juz 2, h. 1293. Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilainya: hasan lighairihi.

3        Fakhr al-Dîn Muhammad ibn »Umar Al-Râzî, Mafâtîh Al-Ghaib (Tafsîr al-Kabîr), Cet. III. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1420), Juz 11, h. 356.

4        Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-Adzîm (Dâr Thaibah lin Nasyr wat Tauzi’, 1999), Juz 1, h. 222.

5        Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pentahkik. Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. I. (Dâr Tûq al-Najâh, 1422), Juz 5, h. 146; As-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Juz 5, h. 208.

6        Yakni jika orang tersebut kuat berpuasa dan tidak memudharatkan dengan puasanya itu, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 8, h. 33.

7        Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 4, h. 26; Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, t.th), Juz 2, h. 808.

8        John Man, Saladin: The Life, the Legend and  the Islamic Empire (London: Transworld Digital, 2015), h. 17.

9        Bahauddin bin Syaddad, Siratu Shalahiddin Al-Ayyubi (Kairo: Maktabah al-Khaniji, 1994), h. 53.

10      Abu Ja’far At-Thabari, Târîkh Al-Thabari, Cet. II. (Beirut: Dâr al-Turâts, 1387), Juz 4, h. 386.

11      Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 3, h. 401–402.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one + 3 =

Back to top button