Fokus

Dunia Kelam Tanpa Khilafah

Satu abad lebih dunia tanpa Khilafah. Bagi umat Islam ini adalah sejarah kelam. Pasalnya, sebelumnya di era Khilafahlah lebih 13 abad umat Islam pernah memimpin dunia. Pada masa itu berbagai kegemilangan baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga dalam mengajarkan nilai-nilai luhur toleransi, keadilan, keamanan dan kesejahteraan benar-benar terwujud.

Sebaliknya, saat ini umat Islam berada dalam kondisi yang paling terpuruk. Mereka menjadi korban politisasi negara-negara adidaya, elit-elit politik domestik termasuk kalangan etnis tertentu. Tidak ada satu kawasan pun di belahan bumi ini di mana umat Islam tidak terpojok, terasingkan dan terdiskriminasi.

Cerita bermula saat Khilafah Islam runtuh pada tahun 1924. Saat itu Kekhilafahan Usmani kalah oleh kekuatan koalisi negara Barat—Inggris, Prancis, Amerika, Rusia dan sekutunya—pada Perang Dunia I. Kekalahan itu membuat umat Islam tercerai-berai. Mereka lalu dikuasai oleh para pemimpin yang dikontrol oleh para penjajah Barat dalam berbagai bidang: pemerintahan, ekonomi, militer maupun pemikiran.

Islam saat itu ditanggalkan diganti dengan sekularisme, baik sekularisme liberal maupun sekularisme kiri. Para pemimpinnya, baik bergelar presiden maupun raja, berkuasa dengan gaya otoriter dan memaksa para rakyatnya untuk menjadi sekuler. Umat Islam didesain untuk memisahkan agama dari kehidupan. Di sisi lain para elit pemerintahnya bergaul mesra dengan negara-negara Barat penjajah.

Jikapun ada sekelompok Muslim yang melakukan upaya perubahan ke arah Islam mereka akan dilabeli dengan berbagai label: radikal, pemberontak, dan teroris. Kemudian mereka akan ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Contohnya seperti kelompok HAMAS di Palestina, Ikhwaanul Muslimin di Mesir, Partai FIS di Aljazair dan Hizbut Tahrir di berbagai negara di Timur Tengah.

 

Dominasi Rezim Politik Dunia Pasca Khilafah

Setelah Khilafah Islam runtuh pada tahun 1924, wajah politik dunia dikuasai oleh rezim politik dan ideologi Barat yang sekuler, liberal dan kapitalistik. Sampai saat ini yang menjadi pelindung utamanya adalah Amerika Serikat bersama negara-negara anggota NATO dari Benua Eropa. Amerikalah yang memaksakan gagasan liberal dan kapitalistik ini diadopsi di seluruh dunia.

Umat Islam adalah salah satu tumbal dari proyek global AS ini. AS melakukan intervensi militer di Irak sejak Perang Teluk 1991 sampai invasi tahun 2003. AS juga mengintervensi Afganistan pada 2001. AS pun terlibat dalam Perang Suriah, Yaman, Libya, termasuk dukungan tanpa syarat terhadap Zionis Israel di Palestina.

Sejumlah perang ini menghasilkan kehancuran infrastruktur yang luar biasa dan korban dari semua kalangan. Layanan kesehatan dan pendidikan menjadi terhambat dan berdampak jangka panjang bagi warga. Belum lagi dampak dari penggunaan senjata bermuatan nuklir seperti di Irak yang mencemari lingkungan dan merusak gen para bayi yang sedang dikandung. Bayi itu banyak yang lahir cacat, lumpuh, otak rusak, sampai letak mata atau hidung yang tak beraturan di wajah, atau bahkan bayi lahir dengan berkepala tiga. 1

Semua perang ini mengatasnamakan bahasa hak asasi manusia dan kebebasan. Hanya saja, bahasa ini hanya berlaku saat sejalan dengan kepentingan AS. Jika tidak sejalan maka jangan berharap umat Islam yang terzalimi akan digubris. Contohnya seperti saat rezim kafir Tiongkok melakukan pemurtadan masif kepada kaum Muslim di Xinjiang dengan mengatasnamakan proses reedukasi; atau saat Muslim Rohingya di Arakan yang diusir, dibantai oleh rezim junta militer Myanmar. Di India juga sama, Muslim di Kashmir atau di daerah lain saat ini dipersekusi sedemikian rupa oleh kaum Hindu fundamentalis atas izin dari rezim Narendra Modi.

Saat demokrasi diaplikasikan di Dunia Islam pun, ia tidak berkontribusi berarti terhadap kaum Muslim. Demokrasi hanya berlaku bagi kalangan sekuler dan liberal. Umat Islam hanya menjadi penyumbang suara saat Pemilu saja. Kemudian aspirasi syariah Islam ditepis dan dianggap propaganda politik identitas yang berbahaya dan memecah-belah. Saat partai-partai Islam mendapatkan dukungan dan memenangkan Pemilu, rezim global dan para anteknya akan cepat-cepat melakukan penjegalan dan pembungkaman. Contohnya seperti saat kemenangan Hamas di Palestina tahun 2006, FIS di Aljazair tahun 1991 Ikhwanul Muslimin tahun 2011 di Mesir. Di sini demokrasi hanya berlaku bagi para sekuler, liberal Barat, bukan untuk Islam dan Muslim.

Bagi Amerika Serikat, demokrasi bahkan tidak wajib ditegakkan saat otoritarianisme menjadi cara efektif untuk menjaga kepentingannya. Contohnya seperti cara Muhammad bin Salman dan Rezim Saudi selama ini dalam mematahkan perlawanan dan kritik dari para aktivis dan ulama kritis. Saat ini ribuan orang termasuk para ulama ditangkap, diintimidasi bahkan ada yang mati dipenjara karena kebengisan rezim Saudi dan ketaatan mereka pada kepentingan Barat.2 AS juga tetap setia mendukung rezim Al-Sisi Mesir setelah kudeta 2013. Sebelumnya, AS mendukung Husni Mubarak yang otoriter lebih dari tiga puluh tahun.

Amerika Serikat sebenarnya tidak bisa berbuat leluasa terhadap Islam jika rezim-rezim Dunia Islam mau bersikap tegas dan mengambil sikap terhadap kebijakan dan ideologi AS yang dipaksakan di Dunia Islam. Sayang, para penguasa umat Islam malah secara sukarela membuka diri terhadap Barat melalui berbagai skema kerjasama, baik politik, ekonomi, militer maupun budaya. Kerjasama ini membuat dominasi Barat terhadap Dunia Islam makin mengakar dan menjadi sulit untuk diubah.

 

Infiltrasi Kolonial Barat Melalui Jalur Ekonomi

Secara ekonomi, negara-negara Muslim  cenderung menggantungkan pengelolaan ekonomi melalui resep-resep yang diberikan oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan Organisasi Perdagangan Dunia. Tiga Lembaga ini sejak lama dikenal sebagai alat Barat untuk menguasai perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Dunia Islam.

Biasanya para ekonom dan elit politik AS mendatangi para pemimpin negara berkembang dan menawarkan resep-resep pembangunan ekonomi. Jika diterima, para pemimpin tersebut akan diarahkan untuk meminjam ke institusi keuangan global (IMF & Bank Dunia). Setelah mendapatkan hutang, lazimnya mereka akan mengikut berbagai resep ekonomi yang dibalut dengan istilah keren “ structural adjustment program”. Intinya, negara mereka harus ikut agenda liberalisme seperti pengurangan subsidi, privatisasi, investasi asing langsung, pertukaran mata uang dan sebagainya.3

Sebagai hasilnya, sumberdaya umat Islam seperti minyak, gas, batu bara, nikel, tembaga, uranium dan emas diangkut untuk kepentingan korporasi dari negara-negara besar melalui skema kerjasama investasi yang sebenarnya hanyalah memperlemah perekonomian dan politik sebuah negara. Pemerintah menjadi tidak punya biaya cukup untuk melayani rakyatnya baik dalam menjamin kebutuhan Kesehatan, pendidikan, termasuk membangun infrastruktur untuk kepentingan rakyat.

Pada era kebijakan sabuk dan jalan (BRI) Cina saat ini keadaannya lebih parah lagi. Investasi bukan sekadar membawa dana, tetapi juga menjadi jalan membludaknya para pekerja asing, nir keahlian, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Dampak sosial dari sistem ekonomi menjadi menjadi sangat berat bagi rakyat melalui berbagai kemiskinan, pengangguran, kriminalitas dan penyakit sosial lainnya.

 

Hegemoni Sekularisme

Dalam sejarah, Khilafah bukan sekedar penjaga kesatuan umat Islam. Khilafah juga melindungi ajaran Islam agar tidak terjadi penyimpangan.

Saat ini, di era hegemoni ideologi Barat, dunia dipandang hanya dalam kacamata sesuai atau tidak sesuai dengan pemahaman sekuler Barat. Umat Islam pun tidak terlepas dari pengklasifikasian itu. Muslim dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok radikal-fundamentalis, tradisionalis dan modernis.  Kelompok radikal dan fundamentalis akan dijadikan target stigmatisasi dan berbagai tuduhan bahkan sampai tindakan fisik. Mereka akan dianggap jumud, intoleran, berbahaya dan mengancam eksistensi negara-bangsa. Kalangan tradisionalis dan moderat akan dianggap sebagai Muslim toleran, maju dan harus didorong.4

Pengklasifikasian ini secara politik mengkotak-kotakkan umat Islam dan menciptakan kecurigaan serta permusuhan satu sama lain. Bukan hanya itu, ia juga menjadi alat bagi penguasa untuk melakukan politik belah-bambu. Satu pihak dirangkul, yang lain diinjak.

Bagi kalangan yang dianggap moderat atau liberal, Barat banyak menyuplai mereka dengan berbagai “kebaikan”: menjadikan mereka tokoh;  memfasilitasi mereka dengan berbagai agenda, dukungan dana dan hibah akademik.5

Semua dalam kerangka mendepolitisasi ajaran Islam. Lahirlah narasi-narasi moderasi Islam, Islam progresif, Islam modernis dan bahasa yang senada. Tujuannya untuk mengkompromikan ajaran Islam dengan Barat. Bahkan menjadikan Barat sebagai standar relevan-tidaknya ajaran Islam dalam konteks hari ini.

Kelompok-kelompok moderat inilah yang sekarang dominan di Dunia Islam yang pada saat yang sama menjadi garda pelindung sistem liberal ini. Sebaliknya, kelompok-kelompok politik Islam yang menyajikan gagasan alternatif akan diserang, dituduh dan dipersekusi oleh kekuasaan dan kelompok-kelompok pendukungnya.

Pada akhirnya strategi liberalisasi Islam adalah bagian dari upaya Barat untuk meminimalisasi ancaman terhadap kepentingannya di Dunia Islam baik ancaman terhadap AS dan para sekutunya secara langsung atau ancaman secara ideologis khususnya dari kalangan gerakan politik Islam.6

 

Stigmatisasi Masif

Tuduhan Islam sebagai agama teroris, radikal dan intoleran tidak hanya berdampak memecah-belah umat Islam. Muslim yang berada di wilayah mayoritas non-Muslim juga terdampak selalu tidak aman. Umat Muslim di Eropa, Amerika dan Australia selalu menjadi sasaran islamophobia oleh warga setempat yang termakan propaganda buruk terhadap Muslim.

Muslim menjadi sasaran tembak seperti pada peristiwa penembakan di  Masjid Christchurch, Selandia Baru, tahun 2019 oleh teroris kulit putih Brenton Tarrant yang menewaskan 50 Muslim dan melukai puluhan lainnya. Terjadi juga serangan verbal, diskriminasi di tempat kerja, sarana pendidikan dan serangan-serangan terhadap masjid dan pusat-pusat kegiatan keislaman lainnya. Munculnya teroris-teroris kulit putih anti Islam ini adalah buah kebijakan kebijakan negara-negara Barat dengan membiarkan media, politisi, akademisi, dan para aktivis yang selalu mencitraburukan Islam di mata publik.

Bukan hanya di Barat, Muslim juga menjadi sasaran persekusi karena narasi-narasi buruk terhadap Muslim. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Ashin Wirathu, pendeta radikal Budha Myanmar, yang mendukung pengusiran dan pembantaian Muslim Rohingya. Dia bahkan dijuluki oleh Majalah Time  (2013) sebagai Simbol Teroris Buddha: “The Face of Buddhist Terror”.

Sama dengan Rezim Narendra Modi di India. Dia memberikan jalan bagi partainya,  Bharatiya Janata, dan para pendukungnya dari kalangan aktivis dan pendeta berideologi Hindu Radikal, Hindutva, untuk menciptakan kebencian terhadap Muslim.

 

Tanpa Khilafah, Muslim Kehilangan Perisai

Pembantaian terhadap Muslim Palestina yang terjadi secara dramatis sejak Oktober 2023 lalu sampai hari ini cukup untuk menjelaskan bahwa memang tidak ada satu pun yang bisa diharapkan dari institusi politik global saat ini, termasuk janji-janji ideologi yang mereka tawarkan.

Bahkan sebaliknya, institusi global dan negara penyokongnya malah terlihat berkonspirasi untuk membiarkan kesewenang-wenangan dan diskriminasi Muslim terus terjadi. Bukan hanya di Palestina, tetapi di seantero Dunia Islam, baik yang sedang berkonflik ataupun tidak.

Benar kata Salman Sayyid, tanpa Khilafah kaum Muslim dunia seolah homeless. Tak memiliki rumah tempat berlindung. Karena itu wajar, kata Sayyid, jika aspirasi khilafah saat ini menjadi semakin mengglobal. Sebabnya, kaum Muslim mulai menganggap hanya Khilafahlah yang bisa mengeluarkan mereka dari penindasan dan diskriminasi oleh struktur politik global yang eksis hari ini. “The growing prominence of the idea of the caliphate among Muslims can be seen as a dawning recognition that the institution of the caliphate may provide an escape route for Muslims from a world of constant subjugation and marginalization.”7[Hasbi Aswar]

 

Catatan kaki:

1        William Blum, America’s Deadliest Export: Democracy – The Truth about US Foreign Policy and Everything Else (London: Zed Books, 2013).

2        Jamal Khashoggi, ‘Opinion | Saudi Arabia Wasn’t Always This Repressive. Now It’s Unbearable.’, Washington Post, 28 October 2021, https://www.washingtonpost.com/news/global-opinions/wp/2017/09/18/saudi-arabia-wasnt-always-this-repressive-now-its-unbearable/.

3        Deborah Doane, ‘Neoliberal Policies Have No Place in the Post-Crash World’, The Guardian, 23 March 2011, sec. Global development, https://www.theguardian.com/global-development/poverty-matters/2011/mar/23/neoliberal-policies-discredited.

4        Angel Rabasa, ed., Building Moderate Muslim Networks (Santa Monica, CA: Rand Corp, 2007).

5        Angel M. Rabasa et al., The Muslim World After 9/11 (Santa Monica: Rand Corporation, 2004).

6        M. Rabasa et al.

7        S. Sayyid, Recalling the Caliphate: Decolonization and World Order (Hurst Publishers, 2022), 118.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 − 10 =

Check Also
Close
Back to top button