Opini

Kontestasi Demokrasi Menyayat Hati

Debat Pilpres kali ketiga seolah menguak wajah kontestasi menyayat hati. Mulai ‘Ndasmu Etik’ hingga sinyalemen pintar atau goblok memenuhi ruang publik. Lebih menonjol sebagai gimmick daripada substantif. Ada kasus alutsista bekas dari anggaran terbatas. Ada kasus prajurit TNI yang lebih dari 50 persennya tidak punya rumah. Sebaliknya, ada kasus penguasaan lahan apapun statusnya oleh Pengpeng dan Oligarki.

Krisis kedaulatan tak tersentuh dalam perdebatan. Krisis kedaulatan hankam, polugri, geopolitik, dll adalah kasat nyata. Mewujudkan kedaulatan secara mandiri masih menjadi fatamorgana.

Di tengah jebolnya sistem informasi Kemenhan oleh hacker, IKN PPU dekat selat kategori ALKI 2. Polugri Bebas dan Aktif diterjemahkan sebagai dikooptasi Cina dan Amerika. Mendorong kemerdekaan Palestina, tetapi membuka pintu perdagangan Israel semakin menganga.

Kontestasi elektoral bulan depan sebentar lagi. Tepatnya Hari Rabu, 14 Februari 2024. Masih tersisa persoalan sebagai kanal perubahan. Mulai dari DPS bermasalah sejumlah 52 juta, hasil audit 337 juta data Dukcapil yang dibobol belum dirilis, belum ada project pemutakhiran data lintas sektoral sejak KPU zaman Chusnul Mariyah, dan bayang bayang potensi kecurangan TSMB.

Banyak orang berpreferensi politik memilih orang. Dari kantong suara yang ditentukan. Di tengah banyak pertanyaan sebagai harapan tumpuan. Memilih orang yang mewakili melanjutkan atau melakukan perubahan. Dari tatanan nilai yang telah dan  sedang disediakan.

Muncul ilusi kontestasi ujung akhir hasil kontestasi. Kompetisi biar tampak sebagai seleksi, tetapi jamak akan ada kompromi. Kabinet koalisi gemuk tampaknya akan terealisasi. Wujud dari rasionalisasi kekuatan parlemen ke depan tidak ada yang dominan. Seandainya Paslon 2 yang akan jadi, pasti Paslon yang lain akan diakomodasi. Misalnya melalui bagi-bagi menteri. Tercermin dari motif politik sebuah ormas besar mencopot salah satu pimpinan.

Tidak ada ruang dakwah sebagai kanal perubahan. Dianggap pemikiran out of the box. Padahal memilih pemimpin dan sistem kepemimpinan sebuah keniscayaan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasullullah saw. dan para pendahulu. Untuk apa memilih pemimpin dengan sistem kepemimpinan yang merugikan.

Sebagai seorang Muslim saya akan memilih pemimpin Muslim yang menjalankan sistem kepemimpinan Islam. Wajar, kan? [Slamet Sugianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × two =

Back to top button