Muhasabah

Tinggalkan Hukum Rimba!

Hukum adalah panglima.  Begitu kredo yang selama ini digaungkan di tengah masyarakat. Hukumnya berantakan berarti pasukan tanpa panglima. Bisa dibayangkan jika dalam suatu pertempuran terdapat pasukan tanpa komandan, tanpa panglima.  Instruksi akan kacau.  Tindakan akan brutal.  Keadilan jauh dari harapan.  Hidup laksana di hutan rimba.  Siapa kuat, dialah yang menang.  Hidup tanpa aturan.  Atau ada aturan, tetapi aturannya ditetapkan seenak perut si raja hutan. Sayangnya, itulah yang tampaknya tengah terjadi di bumi pertiwi ini.

Sebut saja putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan calon presiden/wakil presiden.  Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 MK memutuskan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

“Persoalannya bukan masalah batasan usia capres/cawapres.  Beberapa kali hal yang sama diajukan ke MK ditolak, tapi ini kok diterima,” ujar Pak Rudi.

“Pembedanya terletak pada pengajuannya terkait Gibran yang akan maju menjadi cawapres.  Bahkan di dalam legal standing dan argumen pemohon jelas disebut nama itu.  Pada sisi lain Ketua MK yang memimpin putusan itu adalah paman dari Gibran,” tambahnya.

“Jelas dong, ini putusan demi keluarganya,” ia menyimpulkan.

Sudah menjadi rahasia umum bagaimana karut-marut proses di MK.  Hal ini disaksikan oleh masyarakat saat salah satu hakim MK, Saldi Isra, menyampaikan dissenting opinion di ruang pengadilan saat putusan dibacakan.  Jelas sekali di dalamnya terlihat ada kepentingan.  “Putusan itu bukan berdasarkan rasa keadilan, tapi berdasarkan kepentingan keluarga,” sahut Mas Hadi.

Tidak aneh jika banyak pakar hukum tata negara menolak putusan itu.  Sebut saja, Prof. Denny Indrayana. Ia menyatakan, “Putusan (perkara nomor) 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar dan karenanya tidak sah.”

Ia menambahkan, “Argumentasi hukum yang mendasari putusan ‘Perkara 90’ tidak sah. Salah satunya karena hakim, dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman, tidak mundur dalam penanganan perkara saat sang hakim mempunyai benturan kepentingan.”

Menariknya, eksekutif diam.  “Jokowi, sen kiri belok kanan,” ujar Eros Djarot.

Yudikatif juga diam.   “Jika MK mengubah syarat capres-cawapres demi rezim maka MK telah berkomplot dalam mafia hukum.”

Bukan hanya itu, lembaga legislatif DPR pun diam seribu bahasa.  “Mestinya, DPR menggunakan Hak Angket.  Ini kok tidak,” ujar Pak Rudi lagi.

Mengerikan. Hukum dibuat sesuai dengan kepentingan pemilik kuasa. Jika selama ini mafia hukum terjadi di tengah masyarakat, tidak dapat dibayangkan kehancurannya andai mafia hukum itu terjadi di Mahkamah Konstitusi, lembaga yang didaulat sebagai garda pamungkas untuk menjaga konstitusi.  Saya sampaikan, “Sikap itu sangat jauh dengan ajaran Islam.  Dulu, Rasulullah saw. sangat bersikap adil.  Bahkan beliau menyampaikan andai saja putrinya, Fathimah ra., mencuri, niscaya akan beliau hukum.  Tentu, pengandaian beliau itu tidak terjadi.  Namun, itu menunjukkan sikap yang clear and clean terkait penegakkan hukum sekalipun terhadap keluarganya pribadi.”

Mengapa itu terjadi? Sebabnya, yang membuat hukum adalah manusia.  Sumbernya dari logika dan kepentingan para pembuat hukum. Tidak mengherankan jika hasilnya selalu berpihak pada kepentingan mereka.  Jika hukum menguntungkan pemilik kuasa, mereka akan terapkan sekuat-kuatnya.  Namun, jika hukum bertentangan dengan kepentingannya, hukum itu akan diubah atau dibuat hukum baru; setidaknya dibuat penafsiran baru terhadap hukum itu dengan penafsiran yang sesuai dengan kepentingannya.  Menjelmalah hukum rimba.  Tentu, hukum demikian jauh dari nilai kemanusiaan, apalagi keagamaan. Tatkala itu terjadi, sadar atau tidak, masyarakat sedang dibawa menuju jurang kehancuran.

Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh hal yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah, jika seseorang yang terhormat di antara mereka mencuri, mereka biarkan. Namun, jika seseorang yang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum had terhadap dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Belum tibakah saatnya kita kembali pada syariah Allah SWT?  Padahal tegas sekali Allah SWT berfirman (yang artinya): Kami telah menurunkan kitab suci (al-Quran) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya. Karena itu putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + eighteen =

Back to top button