Hijrah Membangun Negara Adidaya Baru Khilafah Islamiyah
Secara literal, kata al-hijrah merupakan isim (kata benda) dari fi’il (kata kerja) hajara, yang bermakna dhidd al-washl (lawan dari tetap atau sama). Jika dinyatakan “al-muhaajirah min ardh ilaa ardh” (berhijrah dari satu negeri ke negeri lain). Maknanya, adalah “tark al-uulaa li ats-tsaaniyyah” (meninggalkan negeri pertama menuju ke negeri yang kedua) (Imam ar-Razi, Mukhtaar ash-Shihaah, hlm. 690; Imam al-Qurthubi, Tafsiir al-Qurthubi, 3/48).
Masih menurut bahasa, al-hijrah bermakna al-intiqâl (berpindah) dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan lain. Tujuannya adalah meninggalkan yang pertama menuju yang kedua. M. Ali bin Nayif asy-Syahud menyatakan:
اَلْهِجْرَةُ لُغَةً الإِنْتِقَالُ وَالْخُرُوْجُ مِنْ أَرْضِ إِلَى أَرْضٍ
Hijrah secara bahasa artinya adalah berpindah atau keluar dari satu tempat menuju adalah tempat lain (M. Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Mufashshal fii Ahkaam al-Hijrah, hlm. 14).
Hijrah adalah istilah syar’i. Para ulama telah merumuskan definisinya. Imam ash-Shan’ani, Imam Asy-Syaukani dan Imam an-Nawawi dengan merujuk ta’riif yang dirumuskan oleh Ibnu al-‘Arabi menyatakan:
الْهِجْرَةُ هِيَ الْخُرُوجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إلَى دَارِ الْإِسْلَامِ
Hijrah adalah meninggalkan dar al-harb (harb bermakna perang, istilah lain dari dar al-kufur), lalu berpindah menuju Dar al-Islam (Ash-Shan’ani, Subul as-Salaam, 6/128; Asy-Syaukani, Nayl al-Awthaar, 12/270; An-Nawawi, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, 19/264).
Definisi yang persis sama, hanya beda istilah, dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani:
اَلْهِجْرَةُ هَيَ الْخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْكُفْرِ إِلَى دَارِ اْلإِسْلاَمِ
Hijrah adalah meninggalkan dar al-kufr (negara kufur) menuju Dar al-Islam (negara Islam) (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).
Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam dan keamanannya berada dalam kendali kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah negara yang tidak menerapkan syariah Islam atau keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam (Muqaddimah Dustur, Pasal 2, 1/10-16). Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta Hijrah Nabi sw. dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut: Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Umar bin al-Khaththab ra. menyatakan, “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.”
Kedua, tonggak pendirian Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi Negara Islam. Bahkan struktur Negera Islam ini, menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah, terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Hijrah Hakiki: Penerapan Sistem Islam Kaaffah (Total)
Saat para Sahabat Nabi saw. berdiskusi mengenai kapan permulaan penanggalan Islam. Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. selaku khalifah mengusulkan hijrah sebagai awal tahun dalam Islam. Beliau mengutarakan argumennya:
اَلْهِجْرَةُ فَرَّقَتْ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ فَأَرِّخُوا بِهَا
Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu jadikanlah hijrah sebagai tonggak sejarah penanggalan Islam (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahiih al-Bukhaari, 11/264).
Hijrah pada masa Nabi saw. adalah perubahan sistemik dalam seluruh bidang. Praktik ibadah yang sebelumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, setelah hijrah, dapat dilakukan secara terang-terangan di Madinah. Secara sosial, praktik mengubur bayi hidup-hidup, praktik perkawinan yang tidak sesuai Syariah, setelah hijrah, tidak lagi terjadi. Secara ekonomi, praktik riba, curang dalam timbangan dan takaran diganti dengan sistem ekonomi Islam. Sistem hukum yang timpang diganti dengan sistem hukum dan sistem sanksi islami. Di antara prinsipnya adalah kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Sejak hijrah, dakwah diemban langsung oleh Negara (Daulah). Negara baru yang dibangun oleh Rasulullah saw. ini menegakkan hukum-hukum syariah di dalam negeri. Negara Islam menerapkan politik luar negeri yang asasnya adalah penyebaran Islam dengan metode dakwah dan jihad. Puncaknya pada tahun ke-8 hijrah, Makkah yang sebelumnya berstatus darul kufur (darul harb) berubah status menjadi Darul Islam. Bukan Darul Islam yang terpisah dengan Madinah, namun menjadi salah satu wilayah (provinsi) dari Daulah Islam yang berpusat di Madinah. Sejak saat itu tak ada lagi hijrah secara istilah syar’i dari Makkah ke Madinah. Pasalnya, Makkah telah update status menjadi Darul Islam. Dalam konteks inilah Nabi saw. kita menyatakan:
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ
Tidak ada hijrah setelah pembebasan (Makkah), tetapi jihad dan niat (tetap akan ada) (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sejak Fathu Makkah, entitas penjaga kemusyrikan telah tumbang. Saat penghalang fisik ini telah tumbang, lenyap pula rasa takut dari suku-suku Arab. Jadilah tahun ke-9 hijrah sebagai ‘aam al-wufuud, yakni tahun kunjungan suku-suku Arab ke pusat Negara Islam di Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Mereka masuk Islam bukan orang-perorang, tetapi berbondong-bondong.
Jika kita refleksikan Hijrah Nabi saw. pada masa kita saat ini, jelas sekali diperlukan hijrah sistemik. Ibarat rumah. Rumah peradaban kapitalisme-demokrasi adalah rumah yang bobrok. Rumah yang miring dan hendak rubuh. Tak cukup renovasi di titik-titik tertentu. Bangunan peradaban yang ringkih ini mesti dibongkar dari pondasinya. Lalu dibangun rumah peradaban yang baru. Kapitalisme-sekuler yang asasnya menihilkan peran Allah pada ranah publik dan bernegara mesti diubah dengan Aqidah Islam yang menghadirkan peran Allah dalam semua sektor kehidupan. Sistem ekonomi kapitalisme hanya menguntungkan para kapitalis yang berselingkuh dengan penguasa. Artinya, kita hijrah ke sistem Islam yang menjamin kesejahteraan dan pemerataan ekonomi. Sistem demokrasi merampas otoritas Allah SWT sebagai Al-Hâkim (Pembuat hukum) dan menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan tandingan selain Allah. Ini mesti dihijrahkan menjadi sistem politik yang mengembalikan as-siyâdah (kedaulatan) hanya kepada Allah semata. Sistem sosial-budaya hedonis (serba boleh) mesti dihijrahkan menjadi sistem sosial yang berstandar halal-haram dengan tujuan menggapai ridha Allah. Ringkasnya, hijrah hakiki adalah hijrah secara total dengan menerapkan sistem Islam secara kaaffah (totalitas) dan berpaling dari seluruh langkah-langkah setan (sistem selain Islam). Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).
Menurut ‘Ikrimah, ayat ini turun berkaitan dengan masuk Islamnya orang-orang Yahudi seperti Abdullah bin Salam. Mereka masuk Islam, namun meminta dispensasi kepada Rasulullah saw. untuk menerapkan sebagian aturan Taurat. Allah langsung yang menolak permintaan mereka dengan menurunkan firman-Nya. Berkaitan dengan ayat ini Imam Ibnu Katsir menyatakan:
وَالصَّحِيْحُ اْلأَوَّلُ، وَهُوَ أَنَّهُمْ أُمِّرُوْا [كُلُّهُم] أَنْ يَعْمَلُوْا بِجَمِيْعِ شَعْبِ اْلإِيْمَانِ وَشَرَائِعِ اْلإِسْلاَمِ
Yang benar adalah pendapat pertama, yaitu bahwa mereka diperintahkan (semuanya, tanpa kecuali) untuk mengamalkan semua cabang-cabang iman dan syariah Islam (Ibnu Katsi, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, 1/566).
Berdasarkan uraian di atas, seorang Muslim tidak punya pilihan lain kecuali hijrah secara kaaffah; hijrah total pada sistem Islam dan mencampakkan sistem setan (sistem selain Islam).
Hijrah Kaaffah dengan Tegaknya Khilafah
Ditinjau dari subjek pelaksana syariah Islam, maka ada tiga subjek: individu, kelompok dan negara. Ketiga subjek ini adalah tiga serangkai yang saling menguatkan satu sama lain. Negara yang kuat perlu rakyat yang bertakwa. Perangkat negara dalam menjalankan sistem Islam perlu kontrol dari individu dan kelompok/jamaah yang melakukan aktivitas politik dengan mengoreksi penguasa. Untuk mewujudkan masyarakat bertakwa perlu negara yang menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Rasulullah saw. berjuang dan berdoa untuk mewujudkan kekuasaan yang menolong agama (sulthaan[an] nashiiraa) (QS al-Isra’ [17]:80). Lantas siapa diri kita yang mengklaim bahwa Islam tidak perlu negara. Lebih parah lagi dengan mengkampanyekan pemisahan agama (Islam) dengan politik dan kekuasaan. Termasuk dengan menyatakan Khilafah Islamiyah tertolak. Juga sejumlah kampanye hitam lain terhadap Khilafah.
Islam jelas perlu kekuasaan. Tawsiyyah, tarhiib wa targhiib, bahkan istighaasah kubraa hanya akan berjalan secara optimal jika didukung oleh kekuasaaan. Hukuman bagi orang yang malas shalat perlu kekuasaan. Hukuman bagi orang yang sengaja berbuka tanda ‘udzur pada bulan Ramadhan perlu kekuasaan. Huduud bagi kaum murtad, pencuri, peminum khamr dan pelanggaran lainnya perlu kekuasaan. Hukum jinayat pada kasus pembunuhan perlu kekuasaan. Ta’ziir bagi pelaku riba perlu kekuasaan. Pengelolaan SDA sesuai syariah perlu kekuasaan. Menyerukan jihad untuk membela Muslim Palestina jelas perlu kekuasaan. Mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia jelas perlu kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah Khilafah. Khilafah adalah mahkota kefardhuan (tâj al-furuudh). Banyak kefardhuan yang bergantung pada mahkota ini. Jika mahkotanya hilang, hilang pula banyak kefardhuan.
Khilafah itu fardhu. Ia bagian dari ajaran Islam, tanpa bisa diingkari. Imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) sepakat akan kewajiban Khilafah/Imamah ini. Abdurrahman al-Jaziri dalammkitabnya, Al-Fiqh a’la al-Madzaahib al-Arba’ah, menyatakan:
اِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ الله تَعَالَى عَلَى أَنّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّه لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ شَعَائِرَ الدِّيْنِ وَيَنْصِفُ الْمَظْلُوْمِيْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ
Para imam (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa harus ada bagi kaum muslim seorang imam (khalifah) yang menegakkan syiar-siar agama dan menolong orang yang teraniaya dari orang yang berbuat aniaya.
Tidak hanya imam empat mazhab. Menurut Imam Ibnu Hazm al Andalusi, seluruh firqah (kecuali sedikit kelompok) telah sepakat atas kewajiban menegakkan Imamah/Khilafah. Beliau menyatakan:
اِتَّفَقَ جَمِيْعُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ الشِّيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإِمَامَةِ، وَأَنَّ اْلأُمَّةَ وَاجِبٌ عَلَيْهَا اْلإِنْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ يُقِيْمُ فِيْهِمْ أَحْكَامَ اللهِ، وَيَسُوْسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِيْ جَاءَ بِهَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حَاشَا النَّجْدَات، فَإِنَّهُمْ قَالُوْا: لاَ يَلْزَمُ النَّاسُ فَرْضَ اْلإِمَامَةِ
Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murjiah, semua Syiah dan semua Khawarij atas kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Wajib bagi umat untuk tunduk pada Imam (Khalifah) yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka. Imam (Khalifah) tersebut mengurus umat dengan hukum-hukum syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Kecuali kelompok an-Najadat. Mereka menyatakan, “Masyarakat tidak wajib terikat dengan kefardhuan Imamah.” (Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm, Al-Fashlu fii al-Milal wa al-Ahwaa` wa an-Nihal, 4/78. Beirut: Darul Ma’rifah, 1395 H).
Khilafah juga adalah janji Allah dan kabar gembira (bisyaarah) dari Rasulullah saw. Setelah sistem diktator saat ini (fase keempat) akan kembali tegak Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad).
Wahai kaum Muslim! Tidakkah Anda melihat genosida yang dilakukan Zionis Yahudi atas warga Palestina yang didukung oleh Amerika dan negara Barat penjajah serta negara-negara Arab pengekor? Ini adalah salah satu bukti paling gamblang bahwa mereka semua adalah penguasa diktator yang bengis. Semakin mereka menampakkan sikap demikian, menjadi tanda bahwa tak lama lagi akan lahir dari rahim peradaban ini. Itulah negara adidaya yang akan melenyapkan entitas Yahudi dan pendukungnya. Negara baru itu adalah Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah. Bukankah semakin gelap malam adalah pertanda bahwa fajar subuh akan segera terbit?
أَلَيۡسَ ٱلصُّبۡحُ بِقَرِيبٖ ٨١
Bukankah waktu subuh itu sudah semakin dekat (QS Hud [11]: 81).
Ya Allah, izinkan kami menyaksikan terbitnya fajar kemenangan Islam. Kami memohon kepada-Mu tegaknya Khilafah ar-Rasyiidah dan jadikan kami para pejuangnya. Aamiin yâ Mujib a-Sâiiin.
WalLaahu ta’ala a’lam bi ash-shawaab. [Wahyudi Ibnu Yusuf]