Hijrah dan Perubahan
Usia umat Islam terus bertambah. Kini telah memasuki usia ke-1446 tahun. Usia yang sangat panjang untuk dapat mengambil banyak pelajaran dari berbagai peristiwa yang telah terjadi. Kondisi kekinian menunjukkan wajah umat Islam yang begitu suram. Sebagian umat Islam masih mengalami persoalan serius. Lihatlah kondisi saudara kita di Palestina. Khususnya jalur Gaza. Sudah lebih dari delapan bulan mereka dibantai. Rumah mereka dihancurkan. Bahkan lokasi pengungsian pun dibom oleh entitas Zionis Yahudi. Tak kurang dari satu juta warga Gaza harus hidup dalam keprihatinan.
Sebagian kaum Muslim di negeri lain berkutat dalam kemiskinan, kebodohan dan kerusakan akhlak. Terpecah di lebih dari 50 negara. Umat Islam hidup dalam sistem kufur yang tidak sesuai dengan akidah mereka. Wajar jika berbagai pelecehan ajaran Islam, tuduhan radikalisme dan terorisme, serta dekadensi moral terjadi di berbagai negeri. Lihat saja Indonesia. Utang luar negeri bertumpuk. Biaya hidup begitu tinggi. Pajak dan pungutan lain terus membenani. Arus liberalisme yang merusak pemikiran Islam terus mengalir dengan deras.
Memasuki Bulan Muharram 1446 Hijrah umat Islam perlu melakukan evaluasi dan menemukan solusi atas seluruh permasalahan tersebut. Bulan Muharram merupakan bulan permulaan hijrah.1 Hijrah menjadi momen pembentukan masyarakat dan negara Islam. Umat Islam yang dulu teraniaya selama di Makkah telah berhasil memiliki suatu institusi yang menyatukan dan menjadikan umat Islam kuat. Dengan itu mereka dapat memperoleh ketenangan dalam beribadah dan kemenangan atas agama yang lain.
Saat menyuruh para Sahabat berhijrah ke Madinah, Rasululah saw. menyatakan, “Sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan untuk kalian para saudara dan tempat kediaman (negara) yang akan menjadikan kalian aman.”2
Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata, “Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia.”3
Hijrah Nabi saw. ke Madinah berbeda dengan hijrah yang dilakukan umat Islam ke Habasyah. Hijrah Rasulullah saw. ke Madinah adalah dalam rangka mendirikan institusi negara yang memiliki kekuatan politik. Hal ini ditandai dengan adanya peristiwa Baiat Aqabah II yang menunjukkan komitmen Suku Aus dan Khajraj untuk menjadikan Nabi saw. sebagai pemimpin mereka.
Pada saat Baiat Aqabah II terjadi, ‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadhlah ra. memastikan kesiapan orang-orang Anshar dengan berkata, “Jika kalian merasa bahwa harta benda kalian habis dan pemuka masyarakat kalian terbunuh akan menyebabkan kalian menyerahkan Muhammad (kepada musuh), maka (lebih baik) dari sekarang tinggalkan saja dia. Jika itu yang kalian lakukan, ini adalah kehinaan dunia-akhirat. Sebaliknya, jika kalian merasa dapat menepati janji seperti yang kalian berikan kepada Muhammad, sekalipun harta-benda kalian akan habis dan pemuka masyarakat kalian akan terbunuh, maka silakan saja kalian terima dia. Demi Allah, itulah sebaik-baik dunia dan akhirat.”
Mereka menjawab sekaligus bertanya, “Akan kami lakukan Ikrar tersebut sekalipun konsekuensinya adalah musibah harta dan para pemuka masyarakat terbunuh. Lalu apakah balasan bagi kami, wahai Rasulullah, jika kami menepati semua ini?”
Beliau menjawab, “Surga.” Lalu beliau diminta mengulurkan tangan dan mereka membaiat beliau.4
Setelah Baiat Aqabah II, Rasulullah saw. mulai memerintahkan para Sahabat untuk berhijrah. Ibnu Hisyam mencatat bahwa Rasulullah saw. mempersiapkan diri untuk berhijrah dimulai sejak bulan Muharram. Mulai berangkat pada akhir bulan Safar dan tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal atau pendapat lain menyebut 2 Rabiul Awal. Beberapa sepupu Nabi saw. sudah mulai diperintakan untuk berhijrah secara berangsur-angsur pada awal Muharram. Selain itu, para Sahabat beliau (Utsman, Hamzah dan Zaid ra.) diutus oleh Rasulullah saw untuk berangkat hijrah pada malam tanggal 1 Muharram.5
Berdasarkan peristiwa tersebut, para ulama mendefinisikan Hijrah sebagai keluar dan pindah dari wilayah kafir menuju wilayah Islam.6,7 Menurut Syaikh Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, hijrah adalah meninggalkan negara menuju negara lain untuk menetap di sana. Jadi hijrah menurut syariah atau dalam pandangan Islam adalah keluar dari wilayah kafir (dâr al-kufr) menuju wilayah Islam (dâr al-Islâm). (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 97).
Penyempitan Makna Hijrah
Sebagian memahami hijrah hanya dalam arti bahasa saja, yaitu makna yang berasal akar kata dari fi’il (kata kerja); (hâjara–yuhâjiru–muhâjarat[an] wa hijrat[an]–muhâjir[un]–muhâjar[un]). Artinya: keluar, berpindah, menjauhi, meninggalkan. Hâjara min makân[in] kadzâ (berpindah dari tempat ini), wa hâjara ‘anhu (meninggalkan dan keluar darinya menuju tempat lain).8
Artinya, jika mereka sudah berhasil berpindah dari miskin menjadi kaya, bodoh menjadi pintar, sempit menjadi luas maka mereka sudah berhijrah. Hal ini menjadi sangat umum dan tidak sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Beliau menegaskan:
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah” 9
Artinya, setiap orang yang meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, maka dia telah melakukan hijrah. Jadi dasar dari pengertian hijrah berpijak pada hal-hal yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT.
Sebagian dari umat Islam pun memahami hijrah hanya dalam aspek individual. Sebagai contoh perubahan pribadi menjadi rajin beribadah, menutup aurat dan menjauhi riba menjadi penanda hijrah. Hal tersebut memang diperintahkan oleh agama. Namun, membatasi perubahan hanya pada aspek itu saja tidak cukup. Pasalnya, masih ada perintah-perintah Allah SWT yang terkait kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan politik yang wajib pula untuk diamalkan.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah saw. melibatkan seluruh kaum Muslim, baik Muhajirin maupun Anshar. Setelah Rasulullah saw. hadir di Kota Madinah, beliau melakukan perubahan besar dengan membentuk sebuah negara yang memiliki konstitusi yang disebut Shahîfah atau Watsîqah al-Madînah (Piagam Madinah). Salah satu isinya menyatakan:
“Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Muhammad saw…Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw.” 10
Peringatan Tahun Baru Hijriah pun hanya dirasakan menjadi ritual tahunan. Umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah hanya dengan melakukan berbagai istighasah, tabligh akbar dan kegiatan-kegiatan lain yang sebatas formalitas. Tidak benar-benar membangkitkan umat. Kondisi itu disebabkan umat tidak benar-benar dipahamkan pada realitas rusak yang sedang dihadapi. Mereka tidak menyadari harus ada realitas pengganti yang lebih baik. Pada kondisi umat saat ini, kerusakan akibat tidak diterapkan nya syariah Islam adalah realitas rusak yang harus diganti dengan penerapan Islam secara kaaffah.
Syaikh Ahmad ‘Athiyat, di dalam bukunya, Ath-Tharîq, mengatakan:
“Sungguh manusia tidak akan berpikir tentang perubahan, kecuali jika ia menyadari bahwa di sana ada realitas yang rusak, buruk atau paling sedikit tidak sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Agar di sana terjadi kesadaran (untuk berubah), maka harus ada penginderaan terhadap rusaknya realitas. Hanya saja, sekadar sadar terhadap kerusakan atau realitas yang rusak tidak cukup untuk melakukan perubahan. Selain sadar terhadap kerusakan realitas hidupnya, harus ada pula kesadaran terhadap realitas pengganti (realitas yang dicita-citakan) yang digunakan untuk mengganti realitas yang rusak tersebut.”
Cengkeraman Kapitalisme-Sekulerisme
Umat Islam harus disadarkan bahwa realitas rusak yang sedang dihadapi adalah penerapan sistem Kapitalisme-Sekulerisme yang telah menyebabkan hukum-hukum Allah SWT ditinggalkan. Sekulerisme adalah konsep pemisahan negara dan agama.11 Pada praktiknya sekulerisme ada yang diterapkan secara ekstrem dan tidak ekstrem. S ekularisasi ekstrem merupakan sekularisasi besar-besaran terhadap semua aspek kehidupan bernegara tanpa terkecuali sebagaimana Turki pada masa Mustafa Kemal. Adapun dalam sekularisasi tidak ekstrem, negara masih menerapkan nilai keagamaan meskipun tidak menyebut dirinya sebagai negara yang berkedaulatan agama. Negara sekuler telah mendaulat rakyat sebagai sumber kebenaran. Konsep vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) menjadi slogan yang berujung menjauhkan aturan agama dari negara.
Kondisi itu berdampak pada kondisi individu. Banyak dari umat Islam melalaikan kewajiban karena merasa tidak ada konsekuensi atas perbuatannya. Sebuah survey pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa kaum muda Islam yang selalu melaksanakan shalat lima waktu hanya sebanyak 28,7%.12 Sebagaimana kita ketahui, shalat adalah kewajiban utama dalam Islam. Pelaksanaan shalat harus dijaga oleh individu dan negara. Negara akan menjatuhkan sanksi pidana bagi mereka yang sengaja tidak melaksanakan kewajiban. Artinya, negara dalam Islam akan mengurusi urusan agama yang tentu berbeda dengan konsep negara sekuler yang tidak mau mencampuri urusan agama.
Penerapan ide sekulerisme dalam kehidupan menyebabkan berbagai macam kebejatan moral. Pesantren, lembaga dakwah dan kegiatan keislaman memang masih diizinkan, Namun, tempat-tempat maksiat tetap menjamur, minuman keras dilegalkan, riba merajalela, hedonisme menjadi budaya, pergaulan bebas terjadi dimana-mana. Ini tentu membuat upaya dakwah untuk memperbaiki individu menemui hambatan. Begitulah hidup di tengah penerapan sistem sekuler. Karena itu kaum Muslim membutuhkan suatu negara yang menaungi umat Islam dengan hukum yang bersumber dari Allah SWT.
Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para nabi. Karena itu kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan.13
Hijrah Individu Tidak Cukup
Hijrah (perubahan) individu tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan umat yang sedemikian kompleks. Terdapat tiga pilar untuk membangun kesempurnaan peradaban Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan penerapan syariah oleh negara. Untuk mencapai tiga hal tersebut Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani menjelaskan bahwa harus terjadi perubahan total pada mafaahim (pemahaman), maqaayis (standar) dan qanaa’ah (kepuasan) pada suatu masyarakat.
Perubahan total semacam ini tidak mungkin jika melalui jalan yang disediakan oleh sistem sekuler. Telah kita saksikan banyak orang-orang baik terjebak di dalam sistem yang akhirnya menjadi rusak. Mahfud MD pernah menyatakan, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.”14
Rezim dengan leluasa dapat mempersempit jalan perubahan dengan memanipulasi sistem yang ada. Pada Pemilu Indonesia beberapa waktu lalu terjadi perubahan aturan yang diduga memiliki motif nepotisme. Bau amis rekayasa Pemilu pun dicium oleh para akademisi dan aktivis sehingga muncul film Dirty Vote yang menyoroti kecurangan pada hajatan demokrasi. Harapan masyarakat akan adanya perubahan melalui jalur sistem pun kembali gugur.
Umat harus segera sadar. Demokrasi adalah sistem politik berbiaya tinggi. Wajar jika untuk mencapai kekuasan perlu dukungan para kapitalis. Kondisi ini melahirkan konflik kepentingan dan kebejatan moral para penguasa. Bahkan William Blum (2013) dalam bukunya, America’s Deadliest Export: Democracy, menyebut bahwa demokrasi merupakan alat dominasi Amerika Serikat beserta sekutunya terhadap seluruh dunia, termasuk Dunia Islam. Demokrasi pun terbukti kontra terhadap politik Islam. Perjuangan kaum Muslim sudah berkali-kali kandas dalam jalan demokrasi. FIS di Aljazair, misalnya, pada tahun 1991 meraih 81% kursi parlemen. Namun kemudian, kemenangan FIS berujung pada pembatalan hasil Pemilu oleh militer. Militer bahkan memberangus para petinggi FIS. Begitu pula yang terjadi di Mesir saat Mohammad Morsi yang merupakan anggota Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilihan presiden yang berujung pada kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Abdul Fatah El-Sisi.
Perubahan menyeluruh atas mafaahim, maqaayis dan qanaa’ah umat bukan sekadar mengubah paradigma individu, tetapi juga mengubah berbagai sistem dalam kehidupan. Hijrah ini wajib diwujudkan melalui jalan dakwah yang sesuai dengan thariiqah (metode) Rasulullah saw. saat beliau membangun negara di Madinah.
Imam Malik berkata, “Umat yang akhir ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan apa yang dapat menjadikan umat yang awal itu baik” 15
Metode tersebut adalah dakwah yang membangun kesadaran umat dan mendorong pemilik kekuatan (ahlul quwwah) untuk melakukan perubahan secara sitemik. Dakwah tersebut memiliki tahapan dari proses kaderisasi (tatsqiif), berinteraksi dengan masyarakat (tafaa’ul ma’al ummah) hingga akhirnya menerima kekuasaan (istilaamul-hukmi). Semua upaya dakwah itu merupakan dakwah pemikiran tanpa kekerasan. Dengan begitu umat menerima perubahan dengan kesadaran karena dorongan akidah mereka.
WalLaahu a’lam bish ash-shawaab. [Ustadz Ilman Silanas]
Catatan kaki:
1 Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Barri, 7/268
2 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, 1/321.
3 HR. Bukhari
4 Imad al-Din Khalil, Dirâsah Fi Al-Sîrah (Beirut: Dar al-Nafais, 1425), h.106-107
5 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, 1/321
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), 5/349
7 Al-Qâdhî Taqiyuddîn an-Nabhânî, Asy-Syakhshiyah, 2/266
8 Mu’jam al-Ma’ânî al-Jâmi’; hâjara, www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/ÇáåÌÑÉ/
9 HR al-Bukhari
10 Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/503-504
11 David Martin, A General Theory of Secularization (Oxford: Blackwell Publisher, 1978)
12 https://news.detik.com/berita/d-1660063/lsi-minat-salat-baca-al-quran-kaum-muda-muslim-rendah
13 Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 99
15 al-Qadli ‘Iyadl, as-Syifâ bi Ta’rîfi $uqûqil-Mushtafâ Shallal-`Llâhu ‘alaihi wa Sallam, jilid 2 hlm. 88