Muhasabah

Belajar Dari Nabi Ibrahim AS

Ibrahim as.  Itulah bapak para nabi.  Saat berbicara haji, tak lepas dari nama Ibrahim as.  Ketika membincangkan kurban, juga terkait dengan nama beliau.  Begitu juga tatkala berbicara hijrah.

Ada pelajaran penting dari kehidupan Nabi Ibrahim as. Salah satunya adalah hijrah beliau.  Selain Rasulullah saw., beliau adalah orang yang disebutkan di dalam al-Quran sebagai uswat[un] hasanah (suri teladan).  “Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang Bersama dia.” Begitu makna firman Allah SWT di dalam QS Mumtahanah ayat 4.

“Beliau sangat istimewa ya,” ujar Mas Anto.  Benar. Nama Ibrahim ditulis di dalam al-Quran sebanyak 99 kali.  Tersebar dalam 25 surat.  Tertuang dalam 63 ayat.  Ma syaa Allaah.  Tabaarakallaah.

Saya menyampaikan bahwa Allah SWT berfirman di dalam al-Quran (yang maknanya): Ibrahim berkata, “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?  Padahal Allahlah Yang telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”  Mereka berkata, “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim. Lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.”  Mereka hendak melakukan tipudaya kepada dia. Karena itu Kami menjadikan mereka orang-orang yang hina (QS ash-Shaffat [37]: 95-96).

Rupanya, penyampaian saya itu mengundang komentar.  “Saya melihat betapa Nabi Ibrahim itu sangat berani berkata benar.  Bayangkan, beliau menyampaikan penentangan kepada kaumnya penyembah patung yang mereka pahat sendiri tanpa tedeng aling-aling,” Pak Haji Dadan berkomentar.  “Bukan hanya itu. Beliau sangat berpegang kepada wahyu.  Siap menanggung risiko.  Juga, sabar dalam menanggung ujian dan siksaan,” tambahnya.  “Wajar apabila kita diminta untuk meneladani beliau,” simpul Pak Haji Dadan.

Tak sekadar kokoh tauhid dan ketaatannya.  Beliau juga sangat peduli terhadap keluarga.  Di dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman (yang artinya): Ibrahim berkata, “Sungguh aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi aku petunjuk:  Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” Lalu Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (QS ash-Shaffat [37]: 99-101). 

Tampak, sebelum meminta keturunan shalih/shalihah, beliau memproklamirkan diri bahwa beliau pergi menuju Tuhannya untuk mendapatkan petunjuk dan beliau akan mengikuti petunjuk itu.  Ini memberikan pelajaran bahwa ketika siapapun ingin memiliki anak yang shalih/shalihah maka ia pertama kali harus memproklamirkan diri, “Ya Allah, aku akan taat kepada-Mu.  Aku akan menjadi ayah shalih/ibu shalihah, agar anak-anakku shalih/shalihah.”

Allah SWT pun memberikan putra kepada beliau bernama Ismail.  Namun, ujian pun segera tiba.  Allah SWT memerintahkan Ibrahim dan istrinya, Hajar, berhijrah dari Syam (Palestina sekarang) ke Makkah.  Bagaimana Ismail?  Saat itu masih bayi.

Tak banyak bicara, Ibrahim, istrinya bersama putranya Ismail berangkat menuju Makkah.  Perjalanan Panjang sekitar 1493 km.  Kalau berjalan hanya pada siang hari karena malam hari istirahat, waktu tempuh bisa mencapai 1 bulan lamanya.  Demi ketaatan, mereka pergi meninggalkan negeri para nabi itu.  Sesampainya di Makkah, Ibrahim as. segera meninggalkan istri dan putranya di lembah yang tidak ada tanaman, tidak ada air, tidak ada tetangga, tidak ada pemukiman dan hampir tidak ada kehidupan. “Coba bayangkan, apabila ada seorang suami mengajak istrinya yang baru melahirkan untuk pergi Bersama dia ke hutan belantara.  Istrinya mau.  Lalu, sesampainya di hutan, tiba-tiba suaminya meninggalkan istri dan anaknya itu begitu saja.  Kira-kira bagaimana sikap si istri?” tanya saya.  “Kepala dia pecah, pusing, marah pastinya,” jawab Mas Anto.  “Kayaknya sih akan mencak-mencak. Bahkan teriak-teriak mencaci-maki suaminya itu,” ucap Pak Haji Dadan sambil manggut-manggut.  “Bisa-bisa suaminya digampar tuh,” tambah Pak Haji Dadan.

Ibunda Hajar tidak demikian.  Menyaksikan sang suami seperti itu, dia bertanya: “Wahai Ibrahim, kemana engkau hendak pergi.  Engkau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada tanaman dan tidak ada sesuatu apa pun di dalamnya?”

Ibrahim tidak memberikan jawaban.  Beliau berjalan meninggalkan istri dan anaknya.  Sang istri terus mengikutinya sambil bertanya dengan pertanyaan yang sama.  Namun, lagi-lagi Ibrahim tidak menjawab.  Diam.  Beberapa kali diulang, sikap Ibrahim as pun sama.  Lalu Ibunda Hajar bertanya dengan pertanyaan berbeda, “Wahai Ibrahim, apakah Allah SWT memerintahkan hal ini kepadamu?”  Beliau AS pun segera menjawab, “Na’am (Iya).”

Mendengar jawaban suami tercinta itu, Ibunda Hajar merespon dengan mengatakan: “Idzan, laa yudhayyi’unaa (jika demikian, Dia tidak akan menyia-nyiakan kita.”

Tampak betapa kokohnya keimanan mereka.  Sungguh, begitu indah ketaatan yang merupakan buah dari keimanan itu.  Ibrahim dan istrinya memiliki ketaatan mutlak kepada Allah SWT.  Apapun perintah Allah, Nabi Ibrahim AS dan istrinya siap melaksanakan, meski mungkin perintah itu sekilas tampak tak masuk akal.  Selain itu, Nabi Ibrahim as. yakin, apapun perintah yang datang dari Allah pasti baik bagi kehidupannya.

“Kok bisa, ya?  Apa kira-kira yang menjadikan mereka seperti itu?” tanya Mas Anto.

Saya menyampaikan bahwa setidaknya mereka memiliki dua perkara.  Pertama, keyakinan bahwa Allah SWT tidak akan menzalimi hamba-Nya.  “Siapa saja yang yang mengerjakan amal shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Siapa saja yang mengerjakan perbuatan jahat maka (dosanya) untuk dirinya sendiri. Sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” Begitu firman Allah SWT di dalam QS Fushilat ayat 46.  “Yang kedua apa Tadz?” tanya Pak Haji Dadan.

Saya menyampaikan: Kedua, keyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba yang mentaati Diri-Nya.  Mereka percaya bahwa siapa pun yang taat kepada syariah Allah SWT akan mendapatkan berkah.  “Iya. Mestinya kita yakin, aturan Allah (syariah-Nya) itu cocok dan baik bagi kehidupan manusia sebagaimana cocok dan baiknya air bagi manusia. Ya, toh?” tegas Mas Anto.

So, pelajaran dari hijrahnya Nabi Ibrahim as., kita harus mewujudkan iman kita dalam bentuk ketaatan total kepada Allah SWT.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 17 =

Check Also
Close
Back to top button