
Ijin Tambang Untuk Ormas: Bentuk Arogansi Kekuasaan
Pemerintah telah meneken PP No 25 Tahun 2024 pada 30 Mei 2024 lalu. PP No 25 Tahun 2024 mengenai usaha pertambangan mineral dan batubara. Di dalam pasal 83A disebutkan bahwa ormas keagamaan berhak mendapat ijin pengelolaan tambang untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan ijin tambang untuk ormas keagamaan merupakan satu bentuk arogansi kekuasaan. Begitu mudahnya Pemerintah mengubah PP No 96/2021 menjadi PP No 25/2024. Padahal pemberian ijin tambang ke perusahaan saja sudah banyak masalah, apalagi diberikan kepada ormas keagamaan.
Ijin tambang untuk ormas keagamaan disinyalir bertujuan jangka panjang berupa membungkam kekritisan ormas terhadap Pemerintah. Sentimen agama sangatlah efektif untuk melakukan koreksi kepada setiap kebijakan Pemerintah. Ambil contoh kampanye penolakan pemimpin kafir. Yang kental dengan sentimen agama tentunya adalah ormas keagamaan.
Belum lagi usaha pertambangan selama ini banyak menimbulkan persoalan. Dari persoalan rusaknya lingkungan hidup hingga berdampak pada kehidupan sosial ekonomi warga setempat. Konsesi tambang Bangka-Belitung telah merugikan negara sebesar Rp 300 trilyun. Wilayah bekas tambang di Kaltim telah memakan korban sekitar 47 warga. Semuanya adalah warga Nahdliyin. Ditambah lagi, usaha pertambangan kerapkali menimbulkan masalah agraria. Sepanjang tahun 2023 terdapat 32 konflik agraria di luasan 127.500-an hektar kawasan tambang. Jadi ada kesan pemberian ijin tambang bagi ormas adalah untuk menutupi wajah bobrok dunia pertambangan di Indonesia selama ini.
Dengan memberi ijin tambang ormas keagamaan maka ada upaya memoles wajah pertambangan atas nama agama. Padahal yang terjadi justru merusak citra ormas keagamaan dan agama (Islam) itu sendiri. Usaha pertambangan itu murni bisnis. Omong-kosong terkait dengan pelestarian alam dan lingkungan hidup. Artinya, jika dulu yang merusak adalah perusahaan, ke depan bisa jadi perusak lingkungan adalah ormas keagamaan. Bisa disebut ijin tambang untuk ormas keagamaan menjadi politik pembusukan ormas keagamaan itu sendiri.
Dalam praktiknya nanti, ormas keagamaan berpeluang bekerjasama dengan perusahaan tambang besar yang menjadi oligarki selama ini dalam pengelolaan tambang yang diberikan padanya. Dengan kata lain, ini menjadi pengalihan oligarki tambang yang bermain di dalam tubuh ormas keagamaan.
Dengan demikian, ijin tambang kepada ormas keagamaan sejatinya adalah kebijakan yang berbahaya.
Yang penting lagi adalah ormas keagamaan melakukan koreksi atas kebijakan Pemerintah yang memberikan ijin tambang kepada perusahaan selama ini, termasuk rencana akan diberikan kepada ormas keagamaan. Pasalnya, di dalam Islam, tambang dan hasilnya merupakan milik bersama rakyat. Haram bagi negara untuk memberikannya kepada individu, perusahaan, termasuk kepada ormas keagamaan maupun non-keagamaan. Hanya negara yang berhak mengelola tambang dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran oligarki.
Hanya sistem Islam (syariah dan Khilafah) akan mampu mengelola tambang dengan baik yang mampu mewujudkan kemakmuran masyarakat secara luas. [Ainul Mizan ; (Peneliti LANSKAP)]