Analisis

Militer di Negara Khilafah

Militer merupakan elemen penting dalam sebuah negara. Militer berperan dalam menjaga keamanan negara dari ancaman luar negeri. Namun, keterlibatan militer secara langsung dalam pemerintahan akan menimbulkan bahaya tersendiri, terutama jika dominasi militer menggeser penguasa (khalifah dan para hukkâm lainnya) dalam peran pemerintahan yang seharusnya mengedepankan pelayanan (ri’âyah) kepada umat dalam konteks politik dalam negeri dan visi jihad dalam konteks politik luar negeri. Dalam Negara Khilafah, Islam telah mengatur dengan jelas relasi antara militer dalam pemerintahan.

 

Bahaya Jika Militer Memiliki Kendali dalam Pemerintahan

Politik dalam Islam diartikan sebagai “pengurusan (ri’âyah) urusan umat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pengurusan itu dilakukan oleh negara dan umat. Negara melaksanakan pengurusan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam melakukan pengurusan tersebut1.”

Definisi ini menegaskan bahwa politik dalam pandangan Islam bukan sekadar kekuasaan, melainkan amanah untuk mengurus urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah). Negara (Khilafah) mengurus secara langsung, sedangkan umat memiliki peran dalam melakukan kontrol dan pengawasan atas penguasa.

Secara teknis, pengurusan tersebut dilakukan oleh para hukkâm, yakni penguasa yang berhak mengadopsi hukum dan mengurusi umat secara praktis. Termasuk kategori hukkâm adalah Khalifah (kepala negara), mu’aawin tafwîdh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (penguasa di level provinsi) dan ‘âmil (penguasa di level kota). Adapun militer tidak masuk dalam kategori hukkâm.

Beberapa bahaya jika militer memiliki kendali dalam pemerintahan antara lain sebagai berikut:

Pertama, pendekatan militer tidak relevan dalam melakukan ri’âyah kepada umat. Pemerintah dalam menjalankan politik dalam negeri membutuhkan pendekatan politik yang penuh kebijaksanaan dan pengurusan kemaslahatan umat. Militer memiliki pola pikir yang khas, yaitu orientasi pada kekuatan, komando, ketaatan mutlak serta orientasi pada peperangan dan pertahanan. Pola pikir ini sangat efektif di medan perang. Akan tetapi, pola ini akan berbahaya jika diterapkan dalam pengelolaan pemerintahan yang bertugas mengatur urusan dalam dan luar negeri. Hal itu karena militer cenderung melihat segala sesuatu dari perspektif ancaman dan kekuatan, yang dapat mengarah pada pendekatan represif dalam mengelola negara.

Kedua, sejarah telah membuktikan bahwa negara yang berubah menjadi militeristik karena oleh dominasi militer dalam pemerintahan. Hal ini menyebabkan negara dijalankan dengan cara-cara represif, penuh hegemoni, tirani; serta mengabaikan kesejahteraan, proses politik dan partisipasi publik. Jika hal itu terjadi, berarti hakikat pemerintahan dan kekuasaan yang melayani akan lenyap. Oleh karena itu, para militer dan perangkat kemiliteran tidak boleh memiliki peran apa pun di dalamnya. Mereka harus berada di bawah kendali penguasa (Khalifah)2.

Dalam Negara Khilafah, karena militer bukan penguasa, maka militer harus tegak lurus di bawah kendali Khalifah sebagai penguasa. Para khalifah sejak masa Khulafaur Rasyidin menegaskan posisi militer sebatas pelaksana kebijakan peperangan, bukan pengambil keputusan pemerintahan di dalam negeri dan arah politik luar negeri. Sebagai contoh, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dikenal sangat hati-hati dalam menjaga keseimbangan peran militer dalam pemerintahan. Ia menunjuk para panglima militer seperti Khalid bin Walid, namun tetap menempatkan mereka di bawah kendali Khalifah.

Ketiga, membiarkan pertimbangan kemiliteran mendominasi keputusan politik luar negeri, sebagaimana dilakukan sebagian khalifah pada masa lalu, mengakibatkan terhentinya aktivitas mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Hal itu pernah terjadi pada fase kedua masa Abbasiyah dan akhir masa Utsmaniyah. Pembebasan (futûhât) Islam di negeri Romawi berhenti pada perbatasan Turki dari sisi Syam, dan di Eropa Barat mundur dari Prancis, dan berhenti pada perbatasan Spanyol. Pada masa Utsmaniyah, pada awalnya ada opini umum di Eropa bahwa tentara Islam tidak terkalahkan. Namun, ketika pertimbangan-pertimbangan kemiliteran menguasai politik luar negeri, sebagai akibat dari revolusi industri yang terjadi di Eropa pada abad 18 M, ekspansi Islam berhenti, menyurut dan berakibat pada penghancuran menyeluruh terhadap kekuasaan Islam3.

Keempat, dapat memberikan jalan kepada militer untuk melakukan kudeta pada penguasa yang sah. Hal itu karena mereka merasa sebagai pihak satu-satunya yang memiliki kekuatan. Lalu mereka menyerang penguasa dan merampas kekuasaan dari tangannya. Karena itu bahaya besar bagi penguasa yang memberikan peran kepada perangkat kemiliteran dan para militer dalam pemerintahan. Hal ini telah terjadi pada masa Abbasiyah dan pada masa Utsmaniyah. Sebagian khalifah lemah di hadapan militer. Lalu dengan mudah mereka mengubah atau menjadikan para khalifah tersebut sebagai alat kepentingan mereka. Akibat dari semua itu adalah kemunduran yang terjadi dalam pemerintahan Negara Islam pada era tersebut4.

Kelima, mengakibatkan lenyapnya eksistensi umat dan negara. Eksistensi umat adalah kumpulan manusia, dengan konsep-konsep (mafâhîm), standar-standar (maqâyis) dan keyakinan-keyakinan (qanâ’ât). Adapun eksistensi negara adalah kumpulan manusia yang memiliki otoritas kekuasaan yang di­sertai kumpulan mafâhîm, maqâyis, qanâ’ât. Oleh karena itu, jika militer mengambil-alih kekuasaan karena bujukan negara asing, maka mereka akan tersusupi oleh mafâhîm, maqâyis, dan qanâ’ât yang bukan milik negara Islam. Dengan semua itu, kerusakan akan menyusup ke dalam institusi negara, dan selanjutnya ke dalam eksistensi umat5.

Bukti nyata akan bahaya kelima ini adalah apa yang terjadi pada akhir masa Utsmaniyah, dalam bentuk menyusupnya kerusakan ke dalam institusi negara dan umat, yang berakhir pada hilangnya eksistensi Negara Islam dan umat Islam. Pada akhir masa Utsmaniyah, kedutaan-kedutaan negara-negara kafir di Istanbul mempengaruhi militer sehingga mulailah mafâhîm, maqâyis, qanâ’ât selain Islam menyusup ke dalam perangkat negara.

 

Pandangan Islam tentang Relasi Sipil dan Militer

Islam memisahkan dengan jelas antara pemerintahan sipil (para penguasa/hukkam) dan militer. Sistem militer ditetapkan untuk pertahanan negara, perlindungan dari ancaman musuh, jihad di jalan Allah, serta menyebarkan dakwah Islam. Beberapa prinsip dasar dalam pengaturan militer adalah sebagai berikut:

Pertama, khalifah memiliki kepemimpinan atas militer. Makna kepemimpinan khalifah terhadap militer adalah bahwa Khalifah sendiri yang merancang politik (kebijakan) yang berkaitan dengan pembentukan militer, persiapannya dan pelaksanaan tugasnya, yaitu berperang. Khalifah pula yang melakukan pengawasan langsung atas penerapan politik tersebut. Karena itu Khalifah sendirilah yang merancang seluruh politik kemiliteran dan politik perang yang sifatnya internal dan eksternal6.

Kedua, politik luar negeri Khilafah tidak mengacu hanya pada pertimbangan militer. Khilafah jelas harus membangun kekuatan militer. Namun, ini tidak berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan kemiliteran mendominasi politik luar negeri negara. Perangkat kemiliteran tidak memiliki pengaruh dalam politik luar negeri Khilafah. Hal itu karena pendapat militer adalah pendapat kalangan profesional dalam bidang tertentu. Pendapat yang muncul dari mereka yang tugasnya adalah menjamin keunggulan-keunggulan kemiliteran bagi negara jika terjadi perang dengan negara lain. Pertimbangan militer dalam hal ini dikategorikan sebagai nasihat atau masukan dalam perkara teknis saja7.

Merupakan sebuah bahaya jika pertimbangan kemiliteran menguasai politik luar negeri. Pertimbangan kemiliteran harus tetap diletakkan di bagian akhir politik luar negeri negara. Bahkan pertimbangan kemiliteran harus dijauhkan agar tidak mempengaruhi Khalifah saat dia menggariskan politik luar negerinya.

Ketiga, politik luar negeri negara Khilafah didasarkan pada kekuatan spiritual (rûhiyyah), maknawi (ma’nawiyyah), manuver politik dan pembangunan opini umum, bukan didasarkan pada aspek kemiliteran yang bersifat materi. Karena itu pertimbangan kemiliteran harus tetap diletakkan di bagian belakang politik luar negeri dan menjadi subordinat di dalam politik luar negeri. Kekuatan spiritual harus tetap dipertimbangkan terlebih dulu, lalu kekuatan maknawi. Manuver-manuver politik dan kecerdikan politik juga hendaklah memiliki kedudukan penting dalam pertimbangan politik luar negeri8.

Keempat, militer dalam Khilafah bertugas menjaga pertahanan luar negeri, melaksanakan jihad dalam rangka futûhât, dan menyebarkan dakwah Islam. Adapun keamanan dalam negeri menjadi tugas polisi (syurthah) yang berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dâ’irah al-Amn ad-Dâkhili). Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dituturkan, “Qais bin Saad, ketika itu berada di sisi Nabi saw., layaknya kepala polisi dengan amir (kepala negara).”

Qais bin Saad di sini adalah Qais bin Saad bin ‘Ubadah al-Anshari al-Khazraji.

Polisi dan tentara memiliki fokus yang berbeda. Sebagai alat kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam negeri, keberadaan polisi fokus pada tindakan yang dianggap bisa mengancam keamanan dalam negeri9. Dalam kondisi genting, polisi bisa meminta bantuan militer, namun tetap di bawah komando Khalifah. Misal dalam menghadapi kelompok separatis bersenjata yang menguasai tempat strategis, atau merupakan milisi yang tidak bisa diatasi oleh polisi, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa meminta kepada Khalifah untuk menerjunkan satuan militer.

Kelima, militer dalam Negara Khilafah ada dalam departemen tersendiri, yaitu Departemen Peperangan (Dâ’irah al-Harbiyyah) yang dipimpin oleh Amîr al-Jihâd. Amirul Jihad ini diangkat oleh Khalifah dan langsung bertanggung jawab kepada Khalifah. Dengan demikian, posisi militer tetap di bawah kendali kepala negara, bukan sebagai pengambil kebijakan dalam pemerintahan10.

Disebut amirul jihad11 karena ia memimpin sebuah departemen yang terkait erat dengan semua urusan jihad. Selain itu, karena Rasulullah saw. menyebut komandan pasukan dengan sebutan amir. Ibn Saad telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

أَمِيرُ النّاسِ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ فَإِنْ قُتِلَ فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَإِنْ قُتِلَ فَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَإِنْ قُتِلَ فَلْيَرْتَضِ الْمُسْلِمُونَ بَيْنَهُمْ رَجُلًا فَلْيَجْعَلُوهُ عَلَيْهِم

Pemimpin (amir) Pasukan (Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur maka (digantikan oleh) Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far gugur maka (digantikan oleh) Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka, lalu ia jadikan sebagai pemimpin (amir) mereka12.

 

Dengan demikian, departemen ini merupakan instansi Negara Khilafah Islam yang menangani semua urusan terkait dengan angkatan bersenjata, seperti pasukan, logistik, persenjataan, peralatan, amunisi dan sebagainya; menangani akademi-akademi militer, misi-misi militer, pemikiran Islam (tsaqâfah Islamiyah) dan pengetahuan umum yang diperlukan bagi tentara; serta menangani segala hal yang berhubungan dengan peperangan dan persiapannya. Termasuk dalam wewenang departemen ini adalah menyebarkan mata-mata (intelijen) untuk memata-matai kaum kafir harbi; juga membentuk lembaga yang melaksanakan misi intelijen ini di bawah wewenangnya13.

 

Peran Strategis Militer di Dalam Islam

Militer dalam Islam memiliki peranan yang sangat penting dan strategis. Di antara peran strategis tersebut adalah:

Pertama, penjaga utama negara dan perbatasan. Militer dalam Khilafah bertugas menjaga perbatasan negara dari serangan musuh. Inilah yang disebut dengan konsep ribâth. Keutamaan ribâth sangat agung dan pahalanya sangat besar. Karena ribâth adalah perlindungan terhadap kaum Muslim dan kehormatan mereka, serta kekuatan bagi penduduk tapal batas dan para pejuangnya. Ribâth adalah pokok jihad sekaligus cabangnya14.

Terdapat beberapa nas yang menyebutkan keutamaan ribâth. Rasulullah saw. bersabda:

«رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ»

Ribâth (penjagaan perbatasan) sehari semalam lebih baik dari puasa dan shalat malam selama sebulan (HR Muslim dan an-Nasa’i).

 

Hadis ini menunjukkan keutamaan ribâth (penjagaan perbatasan) dalam Islam. Sepanjang sejarah Khilafah, militer ditempatkan di pos-pos perbatasan strategis untuk mencegah serangan musuh dan menjaga stabilitas wilayah.

Kedua, ujung tombak dalam futûhât. Futûhât (pembebasan atau penaklukan) adalah bagian dari politik luar negeri Negara Khilafah. Militer menjadi alat utama dalam pembebasan negeri-negeri lain yang terkategori dâr al-kufr dan penyebaran dakwah. Misalnya, pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid pada masa Abu Bakar berhasil membebaskan wilayah Syam dan Irak. Fakta ini berlangsung dalam sejarah keemasan Khilafah Islam.

Memulai jihad dalam rangka futûhât adalah fardhu kifâyah. Jika musuh menyerang maka menjadi fardhu ‘ayn bagi orang yang diserang dan fardhu kifâyah bagi yang lainnya. Fardhu tersebut tidak akan gugur sampai musuh dapat diusir dan tanah Islam dapat dibersihkan dari kekejian musuh. Makna keberadaan jihad sebagai fardhu kifâyah untuk memulai jihad adalah bahwa kita harus memulai menyerang musuh, meskipun musuh tidak memulainya. Jika tidak seorang pun di antara kaum Muslim yang memulai futûhât pada masa tertentu, maka semuanya berdosa karena meninggalkan jihad itu15.

Jihad yang bersifat ofensif ini adalah langkah terakhir setelah sebelumnya mereka diseru untuk masuk Islam atau tunduk pada kekuasaan Islam.

Ketiga, membebaskan negeri-negeri Islam yang dijajah. Sejak awal, Khilafah bertanggung jawab atas pembebasan negeri-negeri Islam yang terjajah. Contoh sejarah yang monumental adalah pembebasan Baitul Maqdis oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Begitu pula upaya Khilafah Utsmaniyah dalam melawan kolonialisme Eropa di berbagai front. Dalam kasus kontemporer, ketika Palestina dalam pendudukan Israel, maka sebenarnya ini tanggung jawab penguasa negeri Islam untuk menggerakkan pasukan militernya untuk mengusir penjajah Israel dari tanah Palestina yang diberkahi.

 

Penutup

Militer dalam sistem Khilafah memiliki posisi strategis, namun terbatas pada fungsi jihad, pertahanan luar negeri dan penjagaan perbatasan. Islam menolak militerisme dalam pemerintahan Khilafah. Ini menegaskan bahwa kepemimpinan politik harus tetap berada di tangan khalifah dan para penguasa pembantu khalifah. Realitas sejarah memang sempat terjadi pasang-surut. Namun, dalam masa keemasannya, telah membuktikan bahwa Khilafah sukses menjaga keseimbangan ini, menghindari dominasi militer dalam pemerintahan, sekaligus menorehkan kemenangan gemilang di berbagai medan jihad.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yuana Ryan Tresna]

Penulis adalah Direktur Pusat Pendidikan Hadits Ma’had Khadimus Sunnah Bandung.

 

Catatan kaki:

  1. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, (Libanon: Dar al-Ummah, 2010), Juz II, hlm. 177.
  2. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, (Libanon: Dar al-Ummah, 2003), Juz II, hlm. 163.
  3. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 161.
  4. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 163.
  5. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 164.
  6. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 155.
  7. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 157.
  8. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 161.
  9. Lihat Atha’ bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah fî al-Hukm wa al-Idarah, (Libanon: Dar al-Ummah, 2005), hlm. 95-104.
  10. Lihat Atha’ bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah fî al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 86.
  11. Lihat Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fî al-Islam, (Libanon: Dar al-Ummah, 2002), hlm. 141.
  12. Lihat Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra’, Juz II, hlm. 128.
  13. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hlm. 203; Atha’ bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hlm. 86; Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fî al-Islam, hlm. 144
  14. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 174.
  15. Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 150.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − 5 =

Back to top button