Pengelolaan Tambang Sesuai Syariah Islam
PP No 25 Tahun 2024 menuai polemik. Banyak ormas yang merapat ke Jokowi untuk mendapatkan konsesi tambang berdasarkan PP ini. Namun, banyak pula yang menolak. Penolakan bahkan muncul dari internal ormas itu sendiri. Sejumlah tokoh, juga koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan 29 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, mendesak Presiden Jokowi mencabut PP tersebut.
Adapun ormas yang menerima mengemukakan berbagai alasan, antara lain: untuk menjadi contoh yang benar, memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kepemilikan dalam Hukum Islam
Secara istilah, kepemilikan adalah hukum syariah yang berlaku bagi zat atau manfaat, yang memungkinkan siapa saja yang disandarkan kepemilikan itu kepada dirinya untuk memanfaatkan barang tersebut dan mengambil kompensasi darinya.1 Penentuan apakah suatu benda atau manfaat menjadi milik seseorang bergantung pada hukum syariah: apakah syariah membolehkan atau justru melarang.
Meskipun seseorang menguasai harta tertentu dan masyarakat mentolerirnya, jika hukum syariah melarang, maka harta tersebut tetap bukan miliknya. Hal ini bukan hanya dilihat dari sisi zat hartanya, namun juga akad-akad dan jenis hartanya.
فَكُلُّ عَقْدٍ باطِلٍ يُعْتَبرُ نَوْعًا مِنْ أَكْلٍ أَمْوَالٍ النَّاسِ بِالْبَاطِل
Setiap akad yang batil dipandang masuk ke dalam kategori memakan harta orang lain dengan jalan batil.2
Kepemilikan Umum
Dalam Islam, ada jenis harta yang tidak boleh dimiliki dan dikuasai individu, swasta ataupun ormas. Jenis harta ini terkategori dalam kepemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari Allah (yakni hukum syariah) kepada publik atau masyarakat umum untuk secara sama-sama (berserikat) memanfaatkan suatu harta.
Dasar dari kepemilikan umum adalah hadis yang mengharuskan kepemilikan bersama (persekutuan kepemilikan) atas air, padang rumput dan api serta hadis lain tentang tambang garam. Hadis tersebut adalah:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). 3
Juga hadis:
ثَلاَثٌ لاَ يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلأُ وَالنَّارُ
Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu: air, padang rumput dan api (HR Ibnu Majah).4
Di sisi lain, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Ini berarti berserikatnya manusia atas air itu bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya, yakni dibutuhkan oleh orang banyak. Karena itulah berlaku:
كُلُّ مَا كَانَ ضَرُوْرِيات لِلْجَمَاعَة لا يَصِحُ تَمْلِيْكُه مِلْكِيَّةً فَرْدَيَّة
Setiap apa saja yang keberadaannya mutlak dibutuhkan oleh masyarakat (dharuriyyât lil jamâ’ah) tidak boleh dimiliki secara individu.5
Begitu pula riwayat dari Ibnu al-Mutawakkil bin ‘Abd al-Madn, dari Abyadl bin Hammal ra. bahwa:
أَنَّه وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَاسْتَقْطَعَه الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَه لَه فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَه إِنَّمَا قَطَعْتَ لَه الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْه
Dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Yakni yang ada di Ma’rib.” Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata, “Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ibn Hibban).6
Hadis Abyadh bin Hammal tersebut menegaskan bahwa tambang sebenarnya bisa diberikan kepada individu. Namun, ketika depositnya sangat melimpah, tambang tersebut tidak boleh diberikan kepada individu. Karena itulah Nabi saw. menarik kembali pemberian tersebut. Padahal menarik pemberian adalah tercela. Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ الَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِه كَالْكَلْب يَرْجِعُ فِي قَيْئِه
Tidak ada bagi kami perumpamaan yang lebih buruk bagi orang yang menarik kembali hadiahnya, seperti anjing yang menjilat muntahannya kembali (HR al-Bukhari).
Syaikh Abdurrahman al-Maliki menyatakan:
فَهُوَ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ المَعْدِنَ مِنَ الْمِلْكِيَّةِ الْعَامَّةِ، وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ مِلْكِيَّةً فَرْدِيَّة
Hadis Abyadh bin Hammal tersebut merupakan dalil bahwa tambang (yang depositnya besar) merupakan bagian dari kepemilikan umum dan tidak boleh dijadikan sebagai kepemilikan individu (swasta).7
Negara yang Berhak Mengelola
Kepemilikan umum berbeda dengan kepemilikan Negara. Dalam kepemilikan umum, Negara diberi tanggung jawab sebagai pengelolanya. Namun, tidak boleh memberikan milik umum ini kepada siapapun karena Negara bukan pemiliknya. Berbeda dengan kepemilikan Negara, Negara boleh memberikannya kepada individu rakyat sesuai dengan apa yang dipandang lebih maslahat.
Hasil pengelolaan umum pada dasarnya adalah milik seluruh rakyat. Bukan milik sekelompok orang/ormas/partai. Bukan pula hanya milik kaum Muslim saja. Karena itu Negara mesti menggunakannya untuk kepentingan rakyat banyak, baik dengan membagikannya secara langsung atau untuk membiayai dan mensubsidi kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan dll.
Kritik Atas Berbagai Dalih
- Kaidah “Hukum Asal Muamalah Adalah Boleh”.
Kaidah ini tidaklah disepakati oleh para ulama. Kalaupun dipakai, tidaklah pengelolaan tambang oleh ormas otomatis menjadi mubah/boleh hukumnya, karena ada dalil-dalil khusus terkait tambang yang sudah kami paparkan di atas. Adanya dalil khusus telah membatasi keumuman hukum asal tersebut.
Kaidah “hukum asal muamalah adalah boleh” juga telah menjadi legitimasi atas akad-akad bermasalah yang membahayakan umat. Ditambah penggunaan ayat (yang artinya) “tolong-menolonglah dalam kebaikan” secara keliru. Akibatnya, sekadar contoh, sekitar tahun 2007, sebagian tokoh membolehkan bisnis investasi seorang ‘ustadz’ di Kalsel yang menyedot triliunan dana masyarakat. Tak menunggu lama, investasi tersebut menelan banyak korban dari masyarakat.
Mestinya terkait harta, kaidah yang digunakan adalah “tiap-tiap akad yang batil, masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan jalan batil”.
- Memberikan Contoh yang Benar.
Contoh yang benar adalah dengan mengelola tambang sesuai hukum syariah. Hukum syariah jelas memberikan hak tersebut hanya kepada Negara. Begitu pula memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, caranya adalah dengan menjalankan semua roda ekonomi individu dan organisasi sesuai dengan standar syariah.
- Ingin Mengelola Tambang Sesuai Ajaran Islam
Ini adalah alasan yang baik dan memang seharusnya demikian. Namun, cara mengelola tambang sesuai ajaran Islam adalah dengan menyerahkan pengelolaannya kepada yang diberi hak oleh syariah. Sebagai ilustrasi, jika ada suami yang tidak menjalankan ajaran Islam dalam rumah tangganya, maka yang perlu dilakukan adalah membina suami tersebut, bukan malah yang bukan suaminya menggantikan ‘tugas-tugas khusus’ suami tersebut.
Di sisi lain, ormas tidaklah bebas dalam pengelolaan tambang. Ada UU Minerba dan UU lain yang bahkan siap menjerat ormas jika mereka melanggarnya. Tidakkah belajar dengan banyaknya orang yang berujung dipakaikan “rompi oranye” gara-gara salah kelola tambang?
Kerusakan Lingkungan
Tidak diragukan lagi bahwa pertambangan memiliki daya rusak lingkungan yang sangat besar. Tahun 2017-2021, rata-rata 2,54 juta Ha/tahun hutan Indonesia hilang, atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola permenit.8 Sudahlah alamnya rusak, kekayaannya habis, lalu apa yang akan diwariskan kepada generasi ke depan? Ini benar-benar tidak sesuai dengan syariah Islam.
Yang Seharusnya Dilakukan Ormas Islam
Ormas, terutama para pemukanya, harus waspada terhadap jebakan politik untuk mengendalikan mereka. Jangankan diberi konsesi tambang yang kelak siap menjerat mereka dalam pengelolaannya, diberi hadiah gratis sekalipun mestinya waspada. Hadiah, cinta harta dan kedudukan bisa menyebabkan seseorang terkunci mulutnya untuk meluruskan kesalahan pemberi hadiah. Imam al-Ghazali berkata:
فَفَسَادُ الرَّعَايا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ، وَفَسَادُ الْمُلُوْك بِفَسَاِد الْعُلَمَاءِ، وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ باسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالْجَاهِ . وَمَنْ اِسْتَوَلَّى عَلَيْهِ حُبُّ الدُّنْيَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْحِسْبَةِ عَلَى اْلأَرَاذِلِ، فَكَيْفَ عَلَى الْمُلُوْكِ وَاْلأَكَابِرِ؟
Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama itu adalah akibat dikuasai oleh cinta harta dan kehormatan. Siapa saja yang dikuasai oleh cinta dunia, niscaya tidak mampu melakukan hisbah (mengawasi dan mengingatkan) ayas masyarakat kelas bawah, lalu bagaimana mungkin dia dapat melakukan hisbah kepada penguasa dan para pembesar.9
Ormas Islam mestinya menjadi garda terdepan dalam berpegang teguh pada hukum Syariah. Tidak menjilat atau bersekutu dengan rezim yang tidak mau menerapkan Islam. Ormas Islam justru harus memperjuangkan agar tambang yang depositnya sangat besar dikelola dengan baik oleh Negara berdasarkan hukum Syariah. Tidak dikelola individu/swasta, apalagi swasta asing. Jika ini tidak dilakukan, alih-alih mereka menjadi solusi dalam masalah pertambangan. Sebaliknya, mereka justru menjadi bagian dari problem itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
…وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ الله إِلَّا جَعَلَ اللهُ بِأَسَهُمْ بَيْنَهُمْ
…Tidaklah para pemimpin mereka enggan berhukum dengan Kitabullah dan memilih-milih hukum yang telah Allah turunkan (sebagian diambil, sebagian dibuang), kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan).
WalLaahu ta’ala a’lam bi ash-shawaab. [M. Taufik NT]
Catatan kaki:
1 Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi, Anwâr Al- Burûq Fî Anwâ’ al-Furûq (’Alam al-Kutub, t.th), Juz 3, h. 208, lihat juga ; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nidzâm al-Iqtishâdi Fi al-Islâm, 4th ed. (Beirut: Dâr al-Ummah, 2004).
2 Muhammad Shidqi Burnu, Mausû’ah al-Qawâid al-Fiqhiyyah, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2003), Juz 1, h. 36.
3 Hadis ini shahih menurut Syaikh Syua’aib Arnauth. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal As-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 38, h. 154; Lihat juga: Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar Al-Asqalani, Al-Talkhîs al-Habîr, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), Juz 3, h. 153.
4 Sanadnya shahih. Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt), Juz 2, h. 286.
5 Sa’d Habib and Jamaluddin ’Ayyad, At-Takâful Wa Nidhâm al-Amal Fî al-Islâm (Wakalah Shahafah al-Arabiyyah, 2021), h. 29.
6 Sanadnya hasan. Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Pentahkik. Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Cet. III. (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1975), Juz 3, h. 656.
7 Abdurrahman al-Maliki, As-Siyâsah al Iqtishôdiyyatu al-Mutsla, n.d., h. 65.
8 “Nasib Hutan Indonesia Di Ujung Tanduk,” diakses 7 August 2024, https://fwi.or.id/nasib-hutan-indonesia-di-ujung-tanduk/.
9 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 2, h. 357.