Iqtishadiyah

Bahaya Privatisasi Kekayaan Milik Publik

Harta milik publik idealnya dikelola oleh Negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Harta publik tersebut mencakup berbagai barang dan jasa yang menguasai hajat hidup rakyat, seperti air, listrik, jalan umum hingga barang tambang yang depositnya besar; minyak mentah, gas dan batu bara.

Namun, seiring dengan menguatnya pemikiran ekonomi neoliberalisme, yang disokong oleh kekuatan politik AS dan Uni Eropa lewat IMF dan Bank Dunia, privatisasi harta milik publik menjadi lazim di banyak negara, termasuk Indonesia.

Privatisasi diartikan sebagai pengalihan kontrol atas harta milik publik ke tangan swasta.  Dengan kata lain, privatisasi adalah pengalihan kekuasaan atas nasib individu dan negara kepada perusahaan dan eksekutif swasta yang tidak dipilih oleh rakyat, tidak bertanggung jawab kepada mereka dan sulit untuk diawasi oleh publik.1

Doktrin yang mendewakan pasar bebas itu mendorong agar pengelolaan ekonomi diserahkan kepada swasta sehingga lebih efisien dibandingkan jika dikelola oleh pemerintah.2

Adapun peran pemerintah, menurut Milton Friedman, pemikir utama pasar bebas, adalah “melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan pasar untuk dirinya sendiri, yaitu menentukan, menengahi dan menegakkan aturan main.”3

Selain privatisasi kepemilikan barang milik publik dan BUMN, kebijakan pasar bebas mencakup deregulasi keuangan dan industri, liberalisasi perdagangan dan investasi internasional, pengurangan pajak penghasilan dan pengurangan anggaran kesejahteraan publik. Pendukung kebijakan ini menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut  akan membuat semua orang menjadi lebih baik dan menjadikan masyarakat lebih maju dan makmur.

Nyatanya, kebijakan-kebijakan tersebut berkebalikan dari yang dijanjikan. Kebijakan pasar bebas telah mengakibatkan pertumbuhan yang lebih lambat, ketimpangan yang meningkat dan ketidakstabilan yang meningkat di sebagian besar negara, termasuk krisis di sektor finansial.4  Secara spesifik, Stiglitz menyatakan bahwa alih-alih menciptakan efisiensi,  privatisasi di beberapa negara justru menciptakan monopoli swasta, inefisiensi dan ketimpangan yang tinggi akibat dominasi segelintir elit yang menguasai barang publik.5

 

Dampak Politik

Penguasaan kekayaan publik oleh swasta sering menjadi jalan bagi pemilik modal mengontrol berbagai keputusan politik di suatu negara. Proses transfer penguasaan itu biasanya ditawarkan melalui regulasi, baik dengan pemberian konsesi ataupun penjualan saham BUMN. Namun, peralihan kepemilikan atau pengelolaan tersebut selalu jatuh ke tangan investor yang memiliki modal besar (termasuk investor asing) atau pihak yang memiliki pengaruh  politik yang kuat. Keadaan ini menjadi lingkaran setan di negara-negara kapitalisme: pemilik kekayaan mampu menghasilkan kekuasaan politik, lalu kekuasaan politik tersebut kembali digunakan untuk mengakumulasi lebih banyak kekayaan. Mereka yang disebut sebagai oligarki tersebut mampu mempengaruhi keputusan-keputusan politik, termasuk mengatur kepemilikan dan pemanfaatan kekayaan milik publik.

Gejala ini tumbuh subur di negara-negara kapitalisme. Meskipun lembaga-lembaga demokrasi tetap eksis, substansi pengambilan keputusan privatisasi bergeser ke sejumlah kecil elit yang mewakili perusahaan dan pejabat publik. Lobi-lobi berisi tawar-menawar, termasuk potensi pemberian kontribusi perusahaan untuk dana partai dan janji jabatan setelah pensiun.6

Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan lebih menguntungkan mereka daripada kepentingan publik yang lebih luas.  Di Rusia, misalnya, penguasaan kekayaan milik publik oleh oligarki, terutama di sektor-sektor kunci seperti sumberdaya alam.  membuat mereka mampu menghambat regulasi yang berpotensi mengurangi keuntungan mereka.7

Di Indonesia, fenomena ini terlihat dalam berbagai penyusunan undang-undang. Salah satunya adalah amandemen UU Minerba pada tahun 2020. Anggota DPR yang banyak terkait dengan perusahaan tambang mampu mengesahkan revisi UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dengan sangat cepat, dengan proses yang minim partisipasi publik. Revisi ini memberikan beberapa keuntungan bagi perusahaan tambang, termasuk jaminan perpanjangan kontrak untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan habis masa berlakunya.

Privatisasi atau konsesi harta milik publik tersebut sering berjalan dengan sangat tidak transparan dan penuh dengan praktik KKN. Beberapa kasus korupsi di sektor ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menguatkan indikasi ini. Contohnya,  mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM (2015-2020) menjadi tersangka korupsi di pertambangan timah. Lalu  Dirjen Minerba Kementerian ESDM (2020-2023) terseret korupsi pada pertambangan nikel. Kasus ini dapat menjadi indikasi masifnya praktik suap dalam proses eksplorasi blok-blok pertambangan.

Pengelolaan harta milik publik oleh swasta juga mengakibatkan orientasi pengelolaan bergeser, yakni untuk memaksimalkan profit dibandingkan demi peningkatan manfaat untuk seluruh rakyat. Dalam perseroan terbatas (PT), tanggung jawab perusahaan swasta adalah kepada pemegang saham, bukan kepada publik. Dengan prinsip ini, pemegang saham dengan mudah mengganti para komisaris dan direktur yang memperoleh laba yang mengecewakan.

Karena itu perusahaan-perusahaan perseroan terbatas, seperti perusahaan batubara dan nikel, sering mengabaikan dampak sosial dan lingkungan negatif  yang mereka timbulkan. Pasalnya, investasi untuk mengatasi masalah tersebut dapat menggerus potensi laba mereka. Bantuan sosial perusahaan atau CSR (Corporate Social Responsibility) diberikan ala kadarnya saja. Bahkan industri tersebut memandang CSR sebagai cara untuk membenarkan keberadaan mereka sambil tetap berusaha mempertahankan kendali atas kondisi keberadaan mereka ini.8

Suap kepada para pejabat diberikan agar mereka tetap diam atas kejahatan mereka. Pengelolaan harta milik publik oleh swasta yang mengabaikan hak-hak publik juga sering memicu konflik antara perusahaan dengan rakyat. Pengelolaan sumberdaya alam yang merusak lingkungan dan minim manfaat bagi penduduk lokal, atau peningkatan biaya layanan, seperti pada jalan tol, listrik dan air, yang menyebabkan kenaikan harga dan penurunan kualitas, kerap memicu protes dari masyarakat yang tidak puas. Ketidakpuasan publik tersebut bahkan mengarah pada ketidakstabilan politik dan keresahan sosial. Perlawanan masyarakat Papua terhadap Pemerintah salah satunya disebabkan oleh ketidakadilan pengelolaan tambang emas oleh Freeport.

 

Dampak Ekonomi

Ketika harta milik publik diprivatisasi, sering hanya beberapa perusahaan besar yang memiliki sumberdaya untuk mengakuisisinya. Janji untuk mewujudkan efisiensi sehingga menguntungkan konsumen tidak selalu terjadi. Sebaliknya, harga sering menjadi lebih tinggi untuk konsumen dan penurunan kualitas layanan.

Contohnya, privatisasi air minum di Jakarta melalui konsesi kepada perusahaan swasta. Pada tahun 1997, pengelolaan air minum di Jakarta dibagi menjadi dua wilayah yang diberikan kepada dua perusahaan swasta: PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) untuk wilayah barat Jakarta dan PT Aetra Air Jakarta (sebelumnya Thames PAM Jaya) untuk wilayah timur Jakarta.  Namun, selama 25 tahun cakupan layanan air bersih di Jakarta hanya mencapai 65 persen dari total penduduk Jakarta. Akibatnya,  masyarakat miskin harus membayar tarif air yang bisa mencapai dua hingga lima kali lebih mahal dari harga normal.9

Setelah mengakhiri kerjasama dengan kedua perusahaan itu, tahun 2022, PAM Jaya kembali bekerjasama dengan perusahaan Anthony Salim, Moya  Indonesia.

Penguasaan harta milik publik oleh swasta juga menjadi salah satu penyebab  konsentrasi kekayaan dan memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan miskin.10

Privatisasi sering menguntungkan mereka yang sudah memiliki modal sehingga dapat mengakumulasi lebih banyak kekayaan. Ketimpangan pendapatan menjadi semakin tinggi.  Di Indonesia, privatisasi harta milik publik di sektor pertambangan dan kehutanan, telah melahirkan taipan-taipan yang juga menjadi aktor- aktor politik.

Dampak lain penguasaan swasta atas harta milik publik adalah potensi penerimaan Negara menjadi lebih rendah. Pemerintah hanya mendapatkan pendapatan dari pajak penghasilan dan royalti yang persentasenya relatif kecil. Sebagai gambaran, pajak penghasilan perusahaan di Indonesia sebesar 25 persen, sementara royalti untuk pertambangan batubara (Harga Batubara Acuan open pit) hanya sebesar 5-8 persen. Sisanya masuk ke kantong pemilik saham. Belum lagi, perusahaan-perusahaan besar memiliki kelihaian untuk melakukan penghindaran pajak, baik dengan melakukan manipulasi laporan pajak, memindahkan keuntungan ke Negara dengan pajak rendah (tax haven), atau menyuap petugas pajak, sehingga pajak yang mereka setorkan lebih rendah dibandingkan dengan yang seharusnya.

 

Dampak Sosial

Privatisasi harta milik publik memiliki berbagai dampak sosial yang signifikan. Salah satunya adalah peningkatan ketimpangan sosial. Kelompok yang sudah kaya dan berkuasa mendapatkan keuntungan berlimpah. Sebaliknya, penduduk yang berada di sekitar tambang hanya berharap dari tetesan anggaran Pemerintah. Di beberapa kabupaten yang menjadi basis kegiatan eksplorasi tambang emas, nikel dan batubara, tingkat kemiskinan tetap tinggi meskipun terjadi peningkatan investasi pertambangan dan hilirisasi. Sebagai contoh tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara sebesar 11,8 persen dan 11,2 persen pada Maret 2024. Angka itu tidak banyak berubah dari lima tahun lalu, tepatnya Maret 2020, yang masing-masing sebesar 12,9  dan 11 persen.

Penyebabnya mudah diurai. Pendapatan dari tambang-tambang tersebut langsung masuk ke rekening perusahaan pemilik tambang yang berada di pusat. Di sisi lain, sumber-sumber pendapatan rakyat yang mengandalkan pertanian dan perikanan di sekitar tambang semakin tidak produktif. Kualitas tanah terdegradasi. Sumber air yang tercemar. Hutan  hilang. Laut pun terpolusi oleh limbah tambang dan smelter. Semua ini menyebabkan mata pencaharian masyarakat lokal menurun bahkan hilang. Ditambah lagi, berbagai infrastruktur dasar seperti jalan dan irigasi di lokasi sekitar tambang mengalami kerusakan sehingga mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat. Investasi Pemerintah dan perusahaan-perusahaan tambang, jika ada, tidak  signifikan untuk memperbaiki kerusakan yang mereka timbulkan.

Di beberapa lokasi tambang dan smelter, semakin banyak masyarakat terkena penyakit akibat polusi yang dihasilkan oleh perusahaan tambang. Salah satunya adalah penyakit yang terkait saluran pernafasan yang disebabkan oleh debu (fly ash) hasil pembakaran pembangkit listrik batubara. Debu-debu tersebut, selain merugikan kesehatan, juga menyebabkan produktivitas sawah dan tambak turun tajam, serta membuat sumber air minum menjadi keruh. Penurunan pendapatan ditambah dengan naiknya ongkos berobat dan membeli air bersih, menyebabkan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat memburuk. Kompensasi jika ada hanya bersifat temporer dan ala kadarnya.

Selain itu, penguasaan harta milik publik oleh swasta sering berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa, yang dapat membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Di sektor minyak dan gas bumi, keterlibatan swasta telah mendorong Pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM agar harganya lebih mencerminkan harga pasar. Di sektor pertambangan batubara, meskipun ada skema harga Domestic Market Obligation (DMO), harga jual produsen batubara yang dikuasai swasta ke PLN tetap jauh di atas biaya produksinya. Sebagai gambaran, harga pokok produksi batubara sekitar USD 30 per ton, sementara harga DMO sebesar USD 70 per ton. Harga jual listrik ke konsumen menjadi tinggi. Konsesi jalan tol kepada operator swasta mengakibatkan kenaikan tarif tol tahunan untuk mempertahankan keuntungan operator. Sementara itu, subsidi untuk kelas menengah ke bawah terus dikurangi. Akibatnya, beban sebagian besar masyarakat menjadi semakin berat.

 

Kembalikan ke Negara

Privatisasi pengelolaan harta milik publik di Indonesia yang mengacu pada sistem kapitalisme telah memberikan banyak dampak buruk bagi rakyat dan negara. Dari perspektif Islam, konsep dan praktik privatisasi harta milik publik merupakan konsep batil. Pengelolaan harta tersebut, yaitu barang dan jasa yang yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikelola oleh Negara untuk kemaslahatan rakyat.

Para ulama menjelaskan alasan mengapa barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok orang banyak tidak boleh dikuasai oleh pihak swasta. Imam Ibnu Qudamah, misalnya, berpendapat bahwa barang tambang yang tampak (zhâhir) seperti garam, air, sulfur, ter, batubara, minyak bumi, celak, yakut, dan sejenisnya merupakan milik umum. Oleh karena itu, barang-barang tersebut tidak boleh dimiliki secara pribadi atau diserahkan kepada pihak manapun, meskipun tanahnya dikelola oleh individu tertentu. Seseorang juga dilarang untuk menguasai barang-barang ini dengan mengabaikan hak kaum Muslim lainnya, yang dapat mengakibatkan mereka dalam bahaya dan kesulitan.

Kemudian, lanjut beliau, barang-barang itu terkait dengan kepentingan umum umat Islam, sehingga tidak boleh dihidupkan oleh pihak tertentu (untuk dikuasai), ataupun pemerintah menguasakan barang itu kepada pihak tertentu. Beliau mencontohkan bahwa jika aliran air dan jalan-jalan, yang merupakan ciptaan Allah SWT dan sangat melimpah serta dibutuhkan oleh umat Islam, dimiliki oleh pihak tertentu, maka pihak tersebut akan memiliki kuasa untuk melarang penggunaannya. Beliau mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil:

 

Barang-barang tersebut merupakan barang milik Allah Yang Mahamulia dan keberadaannya sangat dibutuhkan. Jika ia dimiliki seseorang, lalu ia menguasainya, maka akan menyulitkan orang lain. Jika ia mengambil kompensasi (darinya) maka akan membuatnya mahal sehingga ia telah keluar dari ketetapan Allah SWT bahwa ia merupakan milik umum bagi pihak-pihak yang membutuhkan tanpa merasa tidak nyaman. Ini adalah pendapat mazhab Syafii dan saya tidak mengetahui ada yang menyelisihinya. 11

 

Alhasil, sistem ekonomi yang menyerahkan pengelolaan harta milik publik kepada swasta, termasuk korporasi atau ormas, merupakan kebijakan yang batil, bertentangan dengan Islam. Kebijakan tersebut juga telah menimbulkan madarat bagi rakyat dan Negara. Karena itu sistem tersebut harus dirombak agar sesuai dengan aturan-aturan Islam, aturan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul-nya.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis].

 

Catatan kaki:

1        David Cohen and A. Mikaelian, The Privatization of Everything: How the Plunder of Public Goods Transformed America and How We Can Fight Back (New York: The New Press, 2021), 4-5.

2        Maxim Boycko et al., “A Theory of Privatisation,” The Economic Journal 106, no. 435 (1996): 309-319.

3        Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago: The University of Chicago Press, 2022), 27.

4        Ha-Joon Chang, 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (New York: Bloomsbury Publishing USA, 2012).

5        Gérard Roland, ed., Privatization: Successes and Failures (New York: Columbia University Press, 2008), ix.

6        Colin Crouch, Post Democracy (UK: Polity Press, 2004), 93-95.

  1. Sergei Guriev and Andrei Rachinsky, “The Role of Oligarchs in Russian Capitalism,” Journal of Economic Perspectives 19, no. 1 (2005): 131-15

8        Andrew Bebbington et al., “Contention and Ambiguity: Mining and the Possibilities of Development,” Development and Change 39, no. 6 (2008): 887-914.

9        Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), “Hari Air 2023: Hentikan Swastanisasi dan Ambil Alih Pengelolaan Layanan Air Secara Menyeluruh di Jakarta,”  28 Maret, 2023.https://antikorupsi.org/id/hari-air-2023-hentikan-swastanisasi-dan-ambil-alih-pengelolaan-layanan-air-secara-menyeluruh-di. Diakses 10 Agustus 2024.

10      Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 228-232.

11      Ibnu Qudamah al-Maqdisy, al-Mughny (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968), vol. V, 421.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × five =

Check Also
Close
Back to top button