Fokus

Jerat Tambang Untuk Ormas

Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah, Persis dan Nahdlatul Ulama (NU) telah menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang. Alasan ketiga dari ormas Islam tersebut sama. Muhammadiyah, seperti Persis, berkomitmen untuk memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam (Republika.id., 29/7/2024).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sedang mempertimbangkan untuk berpartisipasi dalam operasi pertambangan pemerintah (Lihat: Kompas.com, 25/7/2024).

Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan terkait hal ini. Salah satunya adalah sistem tata kelola tambang yang korup. KPK menemukan bahwa dari sekitar 11.000 izin tambang di Indonesia, 3.772 di antaranya bermasalah dan diduga melibatkan korupsi kepala daerah pemberi izin. Menurut Kompas.id (31/3/2024) Negara mengalami kerugian ratusan triliun rupiah sebagai akibatnya.

Berkaitan dengan kebijakan itu, Pemerintah Indonesia dikritik karena pengelolaan sumberdaya alam dan pembagian aset yang dianggap lebih menguntungkan korporasi besar daripada masyarakat umum. Pemerintah lalu meminta ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) untuk mengelola tambang dalam upaya menanggapi kritik ini. Banyak pro dan kontra terhadap keputusan ini, dengan berbagai pendapat tentang dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari kebijakan tersebut.

Berikut ini adalah beberapa argumen yang digunakan sebagai alasan untuk menerima izin usaha tambang:

 

  1. Memakmurkan Jamaah.

Ormas Islam melihat peluang ini sebagai cara untuk meningkatkan jamaah mereka. Mereka berharap dapat memperoleh pendapatan yang signifikan dari mengelola tambang untuk mendanai berbagai program sosial dan keagamaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat sekitar.

 

  1. Menunjukkan Contoh Pengelolaan Tambang yang Amanah,

Muhammadiyah, misalnya, pada awalnya tidak tertarik untuk menerima ijin pengelolaan tambang, tetapi pada akhirnya mereka lulus dan menerimanya. Mereka berkomitmen untuk menunjukkan bahwa pengelolaan tambang dapat dilakukan dengan amanah, transparan dan berkelanjutan. Mereka berkomitmen untuk memastikan bahwa operasi tambang tidak melanggar aturan yang berlaku dan untuk melakukan reklamasi dan reboisasi setelah aktivitas penambangan selesai. Oleh karena itu, mereka ingin menjadi contoh bagi industri tambang lainnya dengan menerapkan praktik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

 

  1. Berkompetisi dengan Oligarki Tambang.

Sebagian orang menganggap pemberian izin tambang pada ormas Islam sebagai upaya untuk memberi oligarki tambang yang telah lama menguasai industri. Diharapkan dengan keterlibatan ormas-ormas ini akan tercipta persaingan yang lebih sehat dan adil, sehingga keuntungan ekonomi dari tambang dapat dirasakan oleh masyarakat luas, bukan hanya oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan.

 

Pandangan yang Bertentangan

Pemerintah diminta untuk menghentikan penjualan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas, organisasi keagamaan, dan pensiunan tentara. Jika organisasi-organisasi ini diberikan kepada mereka karena mereka tidak memiliki kemampuan dan pengalaman yang diperlukan untuk mengelola tambang, itu dapat merusak tata kelola pertambangan.

 

  1. Menambah Kerusakan Lingkungan.

Beberapa pihak yang melakukan kritik mengklaim izin tambang untuk ormas Islam dapat meningkatkan kerusakan lingkungan. Deforestasi, pencemaran air dan degradasi lahan adalah akibat penambangan yang tidak terkontrol yang dapat membahayakan ekosistem dan komunitas lokal.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, memandang pemberian konsensi pada ormas melanggar isi Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pada Pasal 38 UU itu disebutkan bahwa IUP hanya diberikan pada badan usaha, koperasi, perusahaan dan perseorangan.

Meskipun dioperasikan oleh perusahaan yang berpengalaman, menurut Jamil selaku Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pertambangan mineral dan batubara kerap menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan sosial. Ia pesimistis ormas seperti NU bisa mengelola bisnis pertambangan yang kompleks (Alinea.id, 5/2/2024).

 

  1. Kemampuan yang Diragukan.

Beberapa orang mempertanyakan kemampuan ormas Islam dalam mengelola tambang. Mereka khawatir bahwa ormas-ormas tersebut tidak memiliki keahlian dan pengalaman yang cukup untuk mematuhi regulasi ketat yang ada dan menjalankan operasi tambang yang kompleks. Sejauh ini, ormas biasanya tidak memiliki keahlian dan pengalaman teknis yang diperlukan untuk menjalankan operasi pertambangan berisiko tinggi. Tambang memerlukan pengetahuan khusus dalam geologi, teknik pertambangan, lingkungan dan keselamatan kerja, yang biasanya bukan bidang utama bagi ormas. Jika dibandingkan dengan perusahaan publik atau perusahaan tambang yang mapan, ormas mungkin kurang transparan dan akuntabel. Hal ini dapat menyebabkan masalah dengan pelaporan keuangan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial. Pemberian izin tambang kepada ormas juga dapat menyebabkan pengawasan dan regulasi yang lebih lemah. Karena ormas tidak diatur seketat seperti perusahaan tambang profesional, Pemerintah mungkin kesulitan menerapkan standar lingkungan dan keselamatan.

Bisman, yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), menyatakan bahwa IUP tidak boleh diberikan sembarangan kepada perusahaan yang tidak memiliki pengalaman dalam pertambangan. Proses pemberian izin tambang sudah diatur dalam UU Minerba. Misalnya, IUP mineral dan logam harus dilelang kepada perusahaan-perusahaan yang kompeten (Alinea.id).

 

  1. Alat Kendali untuk Membungkam Kritik.

Beberapa pihak berpendapat bahwa izin tambang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengontrol kritik dari ormas. Dengan memberikan akses ekonomi yang signifikan, Pemerintah mungkin berharap dapat mengurangi kritik dan oposisi dari ormas-ormas yang menerima konsesi tambang, yang dapat mengganggu independensi dan integritas mereka dalam menjalankan tugas sosial dan keagamaan.

Majalah Tempo melaporkan dugaan pemberian konsensi pertambangan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia kepada berbagai organisasi keagamaan dalam laporannya. Sebelum Pemilu 2024, izin untuk mengelola tambang bermasalah telah diberikan. Nahdaltul Ulama (NU) adalah salah satu dari penerima “hadiah” tersebut.

IUP yang diobral adalah izin-izin mati yang tidak dipertahankan oleh pemiliknya. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan untuk Penataan Investasi digunakan oleh Bahlil untuk mencabut izin tambang yang tidak produktif selama tahun 2021-2023. Bahlil telah mencabut lebih dari 2.000 izin tambang dan mineral hingga saat ini.

Bisman mengatakan bahwa pemberian IUP kepada ormas dan organisasi pensiunan tentara adalah cara untuk membagi kekuasaan. Dia menyatakan bahwa organisasi yang menerima IUP kontroversial itu juga berkontribusi pada kemenangan pasangan yang diunggulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilu 2024.

Bisman menyatakan bahwa “Jadi jelas bahwa Perpres 70 Tahun 2023 tersebut melanggar UU Minerba dan bila terus dijalankan oleh pemerintah ini merupakan abuse of power. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus turun tangan.”

Selain mengobral IUP ke ormas, Bahlil disebut-sebut diduga meminta biaya hingga miliaran rupiah kepada perusahaan tambang yang ingin mengaktifkan kembali izin mereka. Dilaporkan juga bahwa Bahlil meminta jatah saham perusahaan antara 20 dan 30 persen untuk jasa mengaktifkan kembali izin yang sudah dicabut. (Alinea.id).

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil sepakat bahwa obral konsensi tambang kepada ormas dan organisasi pensiunan tentara berbahaya. Dia menyatakan bahwa operasi pertambangan oleh entitas yang tidak berpelangaman dapat menyebabkan bencana dan kerusakan lingkungan.

 

Ironi: Ormas Islam Menerima, PGI Menolak

Saat ormas Islam menerima tawaran pengelolaan tambang, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) justru menolak dengan tegas. Penolakan PGI didasarkan pada kekhawatiran akan dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Mereka menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan demi keberlanjutan hidup generasi mendatang dan menolak keterlibatan dalam aktivitas ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan dan mengurangi independensi organisasi keagamaan.

Ormas memiliki tujuan utama yang sering bersifat sosial, politik, atau keagamaan. Mengelola usaha tambang dapat menimbulkan konflik kepentingan antara tujuan ormas dan tuntutan bisnis pertambangan yang berorientasi pada profit. Keterlibatan ormas dalam usaha tambang juga bisa memicu ketegangan sosial dan eksploitasi. Terutama jika pendapatan dari tambang tidak didistribusikan secara adil kepada masyarakat lokal. Hal ini bisa menyebabkan ketidakstabilan sosial dan konflik antar kelompok.

 

Pengelolaan Tambang Harus Memenuhi Persyaratan Syariah

Harta milik umum atau milkiyyah ammah dalam pandangan Islam adalah setiap tambang yang melimpah atau menguasai kebutuhan hidup masyarakat.1 Berikut adalah petikan dari Hadis Nabi saw. yang diceritakan oleh Abyadh bin Hammal ra.: Sungguh dia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. Dia meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Hadis ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak.2 Berdasarkan hadis di atas, tambang apapun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing. Termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya. Lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.3

Dengan pengelolaan yang didasarkan pada syariah Islam, ada peluang besar untuk negara menghasilkan uang dari harta milik umum,4 terutama dari pertambangan. Secara keseluruhan, jumlah yang dihitung adalah sebagai berikut:

  1. Minyak: Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.
  2. Gas Alam (Natural Gas): Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.
  3. Batubara: Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun.
  4. Emas: Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun.
  5. Tembaga: Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.
  6. Nikel: Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.

 

Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa harta milik umum seperti minyak mentah, gas, batubara, nikel, emas, tembaga, dan emas dapat menghasilkan laba sebesar Rp 5.510 triliun, dua kali lipat APBN, yang merupakan 77% pemasukan pajak. Jika ditambahkan dengan hasil hutan dan laut, total ini tidak mencakup pendapatan dari dua belas sumber pendapatan lain yang memiliki potensi besar untuk diterima.5

Pertanyaan selanjutnya adalah kemana hasil dari tambang yang jumlahnya fantastik tersebut? Apakah dinikmati oleh rakyat Indonesia? Jika dikelola oleh ormas keagaaman, lalu bagaimana dengan ormas kepemudaan? Pertanyaan lebih lanjut, apakah rakyat di luar ormas itu akan memperoleh manfaat dari hasil tambang atau hanya sekader angan angan? Bukankah tambang itu milik seluruh rakyat? Bukan milik negara atau ormas?

Penting bagi negara untuk mengubah cara pandang mengelola SDA secara kapitalistik, termasuk dengan membagi bagi IUP. Hal itu bukanlah solusi melainkan akan mengakibatkan masalah baru. Sebaliknya, negara harus memanfaatkan sepenuhnya potensi SDA untuk pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan tanpa harus membagi bagi IUP tambang kepada pihak-pihak manapun.

WalLaahu a’lam bish ash-shawaab. [Dr. Julian Sigit; Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI)]

 

Catatan kaki:

1        Marlina, R., Juliana, J. J., Adila, N. A., & Robbani, M. B. (2019). Islamic Political Economy: Critical Review of Economic Policy in Indonesia. Review of Islamic Economics and Finance, 2(1), 47-55.

2        Handoko, D. O., Juliana, J., & Lukman, F. (2021). Analysis of Syekh Taqiyuddin An-Nabhani’s Idea on Public Assets Privatization. Islamic Research, 4(2), 81-90.

3        Juliana, J., Marlina, R., Saadillah, R., & Mariam, S. (2018). Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Perspekif Politik Ekonomi Islam. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, 2(2), 259-268.

4        Faiz, I.A. (2023), “Critical perspective on public deficits: contrasting conventional and Islamic views”, Journal of Islamic Accounting and Business Research, Vol. ahead-of-print No. ahead-of-print. https://doi.org/10.1108/JIABR-09-2021-0245

5        Muis. (2024). Sumber Penerimaan Negara Islam Tanpa Pajak dan Utang. Al Waie Edisi Mei

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − nine =

Back to top button