Tambang
Tambang. Setiap acara agustusan biasanya ada lomba tarik tambang. Dari jaman baheula, lomba ini selalu dikompetisikan. Riang dan gelak tawa selalu mengiringi perlombaan tersebut.
Namun, ada urusan tambang yang baru saja nongol. Perkara ‘tambang’ yang baru muncul ini bukan lomba tarik tambang, melainkan adanya kebolehan ijin usaha pengelolaan tambang bagi organisasi kemasyarakatan alias Ormas, termasuk Ormas Keagamaan.
Pemerintah baru saja menawarkan ijin pertambangan kepada Ormas Keagamaan. Ormas Keagamaan boleh mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasal khusus yang membolehkan Ormas Keagamaan mengelola tambang adalah Pasal 83A ayat (1).
Ormas pun tidak serta merta menerima tawaran ini. Sejauh ini, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menolak tawaran dari pemerintah itu. Berbeda dengan itu, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diberitakan mengajukan pengelolaan tersebut. Sikap berbeda pun mencuat ke permukaan.
“Mestinya kita telaah secara mendalam sebelum memutuskan,” ungkap Aziz Yanuar (5/8/2024).
Pengacara muda ini menyampaikan, “Semestinya tambang ini untuk rakyat. Sebagai contoh, di Alaska. Pada tahun 1982 dikenal Alaskan Deviden Fund. Dikelola oleh negara untuk masyarakat. Keuntungan tambang tersebut untuk negara 75% dan sisanya 25% untuk rakyat Alaska.”
Beliau segera menambahkan, “Kalau dirupiahkan, tiap orang mendapatkan 18 juta rupiah pertahun dari tambang.”
“Di kita mah boro-boro begitu. Semua dikasih ke swasta. Banyak dari asing pula. Uang tambang menguap,” ujar Mas Raihan kepada saya.
Bang Aziz, begitu biasa saya memanggilnya, menambahkan, “Membagi-bagi tambang itu melanggar aturan. Dilihat dari aturan yang ada saja melanggar.”
Dimana melanggarnya? “Mestinya tidak ada istilah pendelegasian dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Kementrian Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Mana ada pendelegasian dari Menteri ke Menteri. Itu setara. Pada sisi lain, harusnya pemberian ijin itu melalui lelang dan permohonan ke Kementrian ESDM. Bukan pada yang lain. Barulah ijin dikeluarkan oleh ESDM,” pungkasnya.
“Pertanyaannya, mengapa ada semacam ‘jalur cepat’ seperti ini? Salahkah jika masyarakat menengarai di situ ada apa-apanya?” Mas Raihan lagi.
Barangkali, ungkapan no free lunch, tidak ada makan siang gratis, penting untuk menjadi catatan.
Saya pikir, kewaspadaan seperti itu menjadi penting. Betapa tidak, dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah itu disebutkan bahwa pendelegasian itu dapat ditarik kembali. Bahasa tegasnya dibatalkan. “Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dapat menarik kembali pengelegasian wewenang pemberian perizinan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud Pasal 2, apabila: (a) sebagian atau seluruh wewenang yang telah didelegasikan tidak dilanjutkan pendelegasiannya karena perubahan kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; (b) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mengusulkan untuk ditarik kembali sebagian atau seluruh wewenang yang didelegasikan; dan/atau (c) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tidak dapat melaksanakan sebagian atau seluruh wewenang yang didelegasikan.”
Begitu isi pasal tersebut. Tampak sekali, pasal ini mengandung uncertainty, ketidakpastian. Padahal salah satu prasyarat usaha seperti tambang adalah adanya kepastian. “Coba bayangkan kalau suatu Ormas sudah mengeluarkan banyak dana, namun karena tidak ‘nurut’ pada irama politik penguasa, bukan tidak mungkin pendelegasian pengelolaan tersebut ditarik,” Pak Rendi bersuara. “Bukankah ini upaya untuk membungkam suara kritis Ormas?” tambahnya.
Apa yang dipikirkan orang seperti Pak Rendi ini mestinya jangan dipandang sebagai sikap sinis. Namun, sejatinya ia harus didudukkan sebagai sikap kritis, waspada dan sayang kepada Ormas, khususnya Ormas Islam.
Pengamat ekonomi dan pertambangan Salamudin Daeng menyampaikan, “Izin tambang untuk Ormas itu cenderung politis.”
Aktivis jaringan tambang itu menambahkan, “Juga, rentan terhadap perubahan kebijakan. Pada sisi lain, banyak tambang yang habis masa kontrak atau ditelantarkan, namun tidak menjalankan kewajiban lingkungan secara hukum. Lalu dilanjutkan pengelolaannya oleh Ormas sehingga kewajibannya jatuh ke pundak Ormas. Padahal kewajiban pasca tambang adalah kewajiban yang cukup besar yang harus dijalankan oleh penambang dan Pemerintah.”
Barangkali ini pas dengan istilah orang Sunda ‘katempuhan buntut maung’. Artinya, orang lain yang melakukan kerusakan, tetapi yang harus menanggung risikonya adalah kita. Bang Daeng menegaskan, “Banyak koflik pertambangan yang terjadi dengan komunitas setempat. Jangan sampai, Ormas yang mengelola tambang justru sibuk berkonflik dengan masyarakat setempat. Tingkat kerusakakan lingkungan di wilayah tambang sangat tinggi. Isue deforestasi (pembabatan hutan) menjadi sorotan internasional dan dipandang sebagai kontributor perubahan iklim paling significant oleh Indonesia.”
Jangan sampai keuntungan belum pasti, tetapi beban di depan mata tertumpu di pundak Ormas nantinya. Jika ini benar-benar terjadi, sungguh memilukan.
Belum lagi jika ditinjau secara syar’i. “Dalam berbagai kitab jelas bahwa barang tambang itu termasuk milkiyah ‘ammah (pemilikan umum). Harus dikelola oleh Negara untuk kemakmuran rakyat. Tidak boleh tambang yang jumlahnya melimpah diserahkan kepada sekelompok orang, baik perusahaan maupun badan usaha di bawah Ormas,” simpul Kyai Labib setelah menjelaskan banyak sekali dalil.
“Namun, sekarang ini memang tantangan cukup berat. Sistem yang diterapkan saat ini bukan sistem Islam. Sistemnya yang salah sejak dari hulu. Ini yang harus diperbaiki,” Kyai Nawawi berkomentar.
Kiyai Sirajuddin memberikan insight lain, “Hubbud dunyaa’ ra`su kulli khathii`ah. Cinta dunia adalah pangkal semua kekeliruan. Ini juga harus mendapatkan perhatian serius.”
Walhasil, perlu kehati-hatian sebelum melangkah mengelola tambang. Lakukan tinjauan secara syar’i, kaji mendalam konteks politik dan renungkan dengan pikiran jernih: Benarkah itu untuk kepentingan umat.
WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]