Analisis

Politik dan Partai Politik Islam

Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani atau bahasa latin: politicos atau ploiticus. Artinya, relating to citizen. Politik diartikan juga sebagai hubungan sosial yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan urusan publik dalam suatu unit politik dengan metode dan taktik yang digunakan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan (https://id.wikipedia.org/wiki/Politik).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (https://kbbi.web.id/politik).

Dengan demikian istilah politik secara bahasa menekankan pada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyâsah. Oleh sebab itu, di dalam kitab-kitab para ulama dikenal istilah siyaasah syar’iyyah. Siyâsah berakar pada kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an]. Pengarang Kamus Al-Muhiith menyatakan:

سُسْتُ الرَّعِيَّةَ سِياسَةً أَمَرْتُهَا وَنَهَيْتُهَا

Aku mengurus rakyat secara politik, yakni memerintah dan melarang mereka (Al-Fairuz Abadi, Qaamuus al-Muhiith, 2/89).

 

Dalam Lisaan al-‘Arab disebutkan:

السِّياسة القيام عَلَى الشَّيْء بِماَ يُصْلِحُه وَالسِّيَاسَة فِعْلُ السَّائِسِ، يُقَالُ : هُوَ يَسُوْسُ الدَّوَابَّ إِذَا قَامَ عَلَيْهَا وَرَاضَهَا

Politik adalah melakukan suatu aktivitas yang bisa membuat baik sesuatu tersebut. Politik adalah aktivitas pengurusan. Sebagaimana dikatakan, “Dia mengurusi hewan jika dia merawat dan melatih hewan tersebut (Ibnu Manzhur, Lisaan al-‘Arab, 6/107).

 

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, definisi dari istilah politik haruslah menggambarkan realitas umum yang dipahami semua orang meski setiap kelompok manusia mempunyai aturan dan hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka (Zallum, Pemikiran Politik Islam, hlm. 10).

Karena itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani  mendefinisikan politik dengan:

السِيَاسَةُ هِيَ رِعَايَةُ شُؤُوْنِ اْلأُمَّةِ دَاخِلِيَّاً وَخَارِجِيًّا

Politik adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri (Mafaahim Siyaasiyyah li Hizb at-Tahriir, hlm. 5).

 

Karena itu pula politik Islam bermakna pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Rawas Qal’ahji:

رِعَايَة شُؤُوْنِ اْلأُمَّة بِالدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ وِفْقَ الشَّرِيْعَةِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ

Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam (Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqahaa, hlm. 252).

 

Relasi Negara dan Umat dalam Politik

Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat. Negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut. Pembagian pelaksana aktivitas politik ini disimpulkan dari sejumlah hadis Nabi. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw. bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاء كُلَّمَا هَلَكَ نَبيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاء فَيَكْثُرُون

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah yang berjumlah banyak (HR Muslim).

 

Dalam hadis ini terdapat keterangan yang shaarih (jelas) bahwa setelah masa kenabian berakhir, aktivitas politik dalam arti pengurusan urusan umat beralih pada para khalifah. Rasulullah saw. juga bersabda:

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang pemimpin yang memimpin kaum Muslim, lalu dia mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR al-Bukhari).

 

Pada hadis ini juga terdapat keterangan yang jelas bahwa penguasa adalah pihak yang melayani rakyatnya. Haram bagi dia menipu rakyatnya.

Adapun aktivitas politik yang dilakukan oleh rakyat, khususnya partai politik, adalah mengoreksi/meluruskan penguasa (muhaasabah al-hukkam) (Muqaddimah ad-Dustur, Pasal 181, 2/178).

Di antara dalil yang menjelaskan tugas utama parpol dalam Islam itu mengoreksi penguasa adalah QS  Ali ‘Imran ayat 104:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ١٠٤

Hendaklah di antara kalian ada segolongan umat (jamaah) yang menyerukan kebaikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).

 

Frasa amar makruf nahi mungkar dalam ayat tersebut bermakna umum. Termasuk di dalamnya melakukan amar makruf nahi mungkar kepada para penguasa, yang diistilahkan dengan muhaasabah li al-hukkaam (mengoreksi penguasa). Jelas ini adalah aktivitas politik. Bahkan kata Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ini adalah aktivitas politik paling penting.

Maka dari itu, ayat ini memerintahkan secara fardhu kifayah untuk membentuk sebuah jamaah (partai), dengan menjelaskan karakter atau misi jamaah (partai) tersebut, yaitu karakter sebagai sebuah partai politik Islam.

 

Karakter Parpol Islam

Berdasarkan QS Ali ‘Imran ayat 104, parpol Islam adalah parpol yang berasaskan/berideologi Islam. Parpol Islam bertujuan agar ideologi Islam diterapkan dan diemban umat. Karena itu parpol Islam dalam setiap langkah, program kerja, agenda, kampanye, pilihan koalisi dan sebagainya wajib berpedoman pada ideologi Islam. Tidak dibenarkan menghalalkan segala macam cara. Kaidah fikih menyebutkan:

الغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَاسِطَة

Tujuan tidak membenarkan (menghalalkan) segala macam cara (Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ilaa al-Islaam, hlm. 288).

 

Karena itu parpol Islam tidak boleh menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya, seperti suap-menyuap. Tidak boleh pula misalnya melakukan kampanye untuk menarik pendukung dengan cara-cara yang melanggar syariah, misalnya menggelar pertunjukan musik disertai ikhtilaath (campur-aduk pria wanita), atau berkoalisi dengan partai-partai yang tidak berideologi Islam hanya demi kursi kekuasaan sesaat.

 

Haram  Berkoalisi dengan Partai Sekuler

Keharaman koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler karena beberapa alasan berikut:

Pertama, bertentangan dengan prinsip ta’aawun dalam Islam. Ketika parpol Islam berkoalisi dengan parpol sekuler untuk mengangkat atau mendukung pemimpin berhaluan sekuler untuk melanggengkan sistem sekuler, sama artinya ia telah bekerjasama dan tolong-menolong dalam kejahatan dan kemungkaran. Padahal tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat yang qath’i. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ ٢

Tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS al-Maidah [5]: 2).

 

Syaikh Ali ah-Shabuni menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “Tolong-menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran serta tolong menolonglah kalian dalam perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT” (Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafaasir, 1/326)

Ayat ini merupakan hujjah yang jelas sekaligus sebagai kaidah dasar dalam hal ta’aawun. Islam telah mendorong kaum Muslim untuk saling mendukung, membantu dan tolong-menolong dalam kebaikan dan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, kaum Muslim dilarang tolong-menolong dalam hal kemungkaran, kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah.

Kedua, menyandingkan kebenaran (Islam) dengan kekufuran. Islam tidak boleh disejajarkan dan disamakan dengan kekufuran dan kebatilan. Ketika parpol Islam menerima syarat-syarat yang diajukan oleh parpol sekuler untuk mengangkat pemimpin sekuler atau melegislasi UU yang bertentangan dengan Islam dan melanggengkan sistem sekuler, ia telah terjatuh pada sikap menyejajarkan Islam dengan kekufuran dan kebatilan. Padahal Allah SWT memerintahkan untuk hanya menerapkan hukum Islam, tidak mengikuti hawa nafsu, dan berhati-hati dari apa yang dapat memalingkan dari penerapan hukum-Nya. Allah berfirman:

وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩

Hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu  yang telah Allah turunkan kepada dirimu (QS al-Maidah [5]: 49).

 

Ketiga, Islam membolehkan kaum Muslim meminta dukungan dari pihak manapun, termasuk kaum kafir, dengan syarat mereka mau menerima syarat-syarat yang diajukan oleh parpol Islam. Syarat tersebut adalah mereka bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada kaum Muslim dan tunduk pada syariah Islam. Akan tetapi, jika mereka malah mengajukan syarat, walau pun hanya satu syarat, yang bertentangan dengan prinsip dan syariat Islam, maka tidak boleh bekerjasama dengan mereka, apalagi mendukung mereka. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائِةِ شَرْطٍ شَرْطُ اللهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقَ

Siapa saja yang menyepakati suatu syarat yang bertentangan dengan  Kitabullah maka syarat itu batil walaupun ia mensyaratkan seratus syarat. Syarat yang sesuai dengan ketetapan Allah lebih berhak (untuk dippenuhi) dan lebih mengikat (untuk dilaksanakan) (HR al-Bukhari).

 

Pada saat parpol Islam berkoalisi dengan parpol sekuler dengan mengkompromikan sejumlah syarat yang dibuat politisi sekuler, secara langsung parpol Islam tersebut telah terlibat dalam upaya mendukung upaya melanggengkan sistem sekuler yang bertentangan dengan Islam.

Keempat, sejumlah kaidah fikih yang dijadikan sandaran koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler bertentangan dengan nas-nas yang telah dikutip di atas. kaidah-kaidah ini sejatinya tidak dapat dijadikan sandaran. Semisal kaidah maslahat. Kaidah ini tidak dapat dijadikan sandaran. Sebbabnya, maslahat atau mudharat mesti disandarkan pada syariah. Menjalankan perintah syariah dan meninggalkan larangan syariah adalah maslahat yang mu’tabarah (diakui secara syar’i). Sebaliknya, apa yang dianggap maslahat menurut pertimbanan akal manusia, namun bertentangan dengan ketentuan syariat, adalah mashalat yang mulghah (tidak diakui secara syar’i).

Adapun mashlahah mursalah atau apa yang dianggap maslahat menurut pertimbangan akal dengan anggapan tidak ada nas yang secara shaarih memerintahkan atau melarang, ini juga tidak layak dijadikan sandaran karena sejumlah alasannya. Di antara alasannya, mengambil mashaalih mursalah sebagai dalil sama saja dengan menganggap agama ini tidak sempurna. Menganggap ada perkara yang tidak dibahas dan diatur oleh nas syariah, sehingga memerlukan pertimbangan akal untuk menentukan standar maslahat, jelas batil. Hal ini bertentangan dengan nas dan realitas syariah (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, 3/442).

Padahal Allah SWT telah berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣

Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).

 

Penutup

Tugas parpol Islam adalah mendakwahkan Islam sesuai dengan metode dakwah Nabi Muhammad saw. Politisi Islam juga mesti orang yang dapat dijadikan teladan dalam keterikatannya dengan syariah Islam. Kekuasaan bukan tujuan utama. Kekuasaan adalah metode untuk dapat menerapkan Islam. Maka dari itu, tak sepantasnya karena alasan kekuasaan lantas menghalalkan segala cara dan mengorbankan ideologi Islam. Contohlah Nabi kita, yang tak tergiur dengan kekuasaan menipu yang tak memberikan jalan bagi penerapan Islam. Beliau menolak dengan tegas tawaran kekuasaan yang menipu. Sebaliknya, beliau berdoa agar Allah memberikan beliau dan umatnya kekuasaan yang menolong agama Islam (sulthaan[an] nashiira). Akhirnya, Allah berikan sulthaan[an] nashiira di Madinah.

Janganlah tergesa-gesa dalam perjuangan. Tugas kita hanya mengikhtiarkan. Allah Yang telah menetapkan kapan waktunya diraih kemenangan. Wahai partai Islam, aaina tadzhab?

WalLaahu ta’ala a’lam bi ash-shawaab. [Wahyudi Ibnu Yusuf]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 5 =

Back to top button