Analisis

Solusi Syar’i Membasmi Korupsi

Korupsi seolah tiada akhir di negeri ini. Pemberitaan media berjibun dan bergantian. Koruptor pun beragam.

Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang sudah mengakar kuat. Upaya mencabut hingga ke akar tampaknya tak kuat. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara selamat. Korupsi telah melembaga. Adapun lembaga pemberantas korupsi tampaknya diamputasi. UU KPK direvisi dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan.

Lord Acton (1833-1902) pernah menyatakan “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen”). Korupsi pada dalil Acton tersebut bukan hanya terkait uang, melainkan juga politik atau kebijakan. Lebih parah lagi jika korupsi kekuasaan itu dibalut oleh slogan, ‘ini negara demokrasi’. Seolah demokrasi menjadikan korupsi absah.

Transparency International Indonesia (TII) memaparkan hasil survei terkait korupsi di Indonesia. Hasilnya, TII mengatakan masyarakat menempatkan anggota legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia.1  Survei dilakukan pada 15 Juni-24 Juli 2020. Berikut urutannya:

  1. Anggota Legislatif, 51 Persen
  2. Pejabat Pemerintah Daerah, 48 Persen
  3. Pejabat Pemerintahan, 45 Persen
  4. Polisi, 33 Persen
  5. Pebisnis, 25 Persen
  6. Hakim/Pengadilan, 24 Persen
  7. Presiden/Menteri, 20 Persen
  8. LSM, 19 Persen
  9. Bankir, 17 Persen
  10. TNI, 8 Persen
  11. Pemuka Agama, 7 Persen

 

Apakah memang demokrasi menjadi pangkal korupsi? Atau sebaliknya orangnya yang doyan korupsi, sementara sistemnya baik-baik saja? Lantas, apa sebenarnya akar korupsi di negeri ini? Inilah poin penting yang diuraikan dalam pembahasan.

 

Sistem Politik Demokrasi Habitat Korupsi

Sistem politik pilihan Indonesia memberikan konsekuensi logis. Siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, maka jalan mulusnya dengan asas keuangan. Partai politik yang menjadi kendaraan tak serta-merta memberikan tiket gratis. Ada harga yang harus dibayar untuk bisa berlabuh di kekuasaan. Take and given ini memang tak semata materi. Bisa juga janji-janji dan kepentingan lainnya untuk menempatkan orang-orang pilihan. Hal lumrah dan jamak diketahui publik terkait tukar guling jabatan demi hasrat kekuasaan.

Jika uang dijadikan segala-galanya untuk naik kekuasaan, tak ayal ini mengonfirmasi bahwa sistem politik demokrasi begitu korup. Hasilnya, tumbuh subur praktik korupsi dengan ragam caranya. Penyelewengan kekuasaan membuka ruang untuk suap, terutama kaitannya dengan pengurusan anggaran, pengesahan dan pembahasan anggaran. Praktik korupsi dan suap tak hanya terjadi dalam legislatif, tetapi juga menyasar eksekutif dan yudikatif.

Sikap koruptif ini dipicu oleh biaya politik yang mahal. Berdasarkan riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitan Indonesia (LPEM UI) pada 2014, dibutuhkan Rp 250-500 juta untuk caleg DPRD. Untuk DPR RI mencapai Rp 750 juta-4 miliar.

Senada dengan itu, Direktur Prajna Research Indonesia Sofyan Herbowo mengatakan biaya untuk branding politik memang tidak sedikit. Semakin rendah popularitas seseorang, biaya akan semakin mahal. Dari riset yang selama ini telah dilakukan, Sofyan menyebutkan ada biaya minimal yang harus disiapkan oleh seorang caleg saat akan menghadapi Pileg. Rinciannya sebagai berikut:

  1. Calon anggota DPR RI: Rp 1 miliar-RP 2 miliar.
  2. Calon anggota DPRD Provinsi: Rp 500 juta-Rp 1 miliar.
  3. Calon anggota DPRD kabupaten/kota: Rp 250 juta-Rp 300 juta.

 

Tak ayal, uang yang telah dikeluarkan itulah yang nantinya harus dikembalikan selama menjabat 5 tahun. Korupsi menjadi ‘sumbu pendek’ untuk mengeruk pendapatan. Karena itu selama demokrasi bercokol di negeri ini, korupsi akan disemai subur. Sebab akarnya tidak tercabut.

 

Elit Rakus Plus Oligarki Politik

Institusi lembaga negara juga telah dikuasai segelintir elit politik. Jejaringnya membentuk oligarki yang menjadikan korupsi terlindungi. Kalaupun tertangkap basah, pelakunya yang dikorbankan. Itu pun kasusnya sering ditutupi dan tidak menyentuh otak di balik korupsi. Sikap elit yang rakus didasari karena menjabat bukan lagi amanah, namun sebagai jalan untuk mengeruk kekuasaan dan memperkaya diri. Alhasil, uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, rela diembat. Contoh kasus korupsi Bansos di Kementerian Sosial terkait bantuan penanganan dampak dari pandemi covid-19.

Belum lagi korupsi yang juga melibatkan jaringan oligarki dan konglomerat yang merugikan negara. Kasus BLBI, Dana Century, ASABRI, Jiwasraya, dan lainnya. Semua bisa berdampak pada kemelaratan rakyat. Rakyat, yang seharusnya berhak untuk diurusi kehidupannya, terabaikan. Kerakusan kian menjadi tatkala muncul kepentingan oligarki terkait ekonomi, kemudian difasilitasi elit yang mengorbankan kaum alit.

Perjumpaan elit rakus dan oligarki politik menjadikan korupsi bercokol dari bawah ke atas. Tak akan pernah ada niat baik untuk memberantas korupsi hingga ke akar. Kalaupun ada, gertakan itu pun terasa hambar.

 

Political Will, Sistem Hukum dan Peradilan Lemah

Kemauan politik sering terganjal oleh kepentingan elit. Ibarat menegakkan benang basah. Kasus penyelesaian korupsi melalui KPK pun terganjal kepentingan penguasa. Masih banyak kasus besar yang tak terungkap. Masih teringat penerbitan SP3 untuk kasus BLBI. Secara otomatis KPK melepas status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim. Hal itu didasari atas Putusan MA atas kasasi Nomor 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019.

Pengebirian lembaga anti rasuah juga tampak dari revisi UU KPK, pembentukan Dewan Pengawas KPK, serta tes wawasan kebangsaan dengan soal yang tak relevan terkait keputusan alih pegawai KPK menjadi ASN. Yang lebih mengerikan lagi, beberapa pihak menginginkan komisi anti rasuah ini tak berdaya. KPK hanya digunakan demi kepentingan politik untuk menakuti lawan ataupun oposisi.

Jika itu semua terjadi, berarti kemauan politik lemah, ditambah sistem hukum dan peradilan yang juga lemah. Alhasil, pemberantasan korupsi di negeri ini hanya tambal-sulam. Orang-orang yang ditunjuk memberantas korupsi tak memiliki integritas. Bahkan mudah sekali dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Yang tidak nyambung lagi, tuduhan KPK disusupi oleh pemikiran radikal dan Taliban yang dituduhkan buzzer politik. Aneh!

 

Ambil Solusi Hakiki

Sistem politik demokrasi telah memberikan celah bertindak korupsi. Tak malu lagi korupsi dilakukan berjamaah dan saling membantu menutupi masalahnya. Pernyataan Lord Acton bisa jadi benar jika itu disematkan pada sistem demokrasi. Hal ini tentu berbeda dengan Islam.

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak.

Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Sekali lagi, ini menunjukkan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan.

Inilah langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya.

 

1)     Ideologi Islam.

Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara (khalifah) diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.

Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Ini untuk menekan korupsi, suap, dan lainnya. Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara. Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat.

Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan (https://www.muslimahnews.com/2019/05/25/metode-distribusi-harta-dalam-islam/).

 

2)     Takwa dan zuhud.

Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela.

Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (QS al-Fajr [89]: 14; QS al-Hadid [57]: 4).

Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana’ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.

 

3)     Politik ri’ayah.

Politik ri’ayah bertujuan untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa. Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus. Karena itu untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Di dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh Pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.

Perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan dengan berbasiskan sektor riiil yang akan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam). Sistem moneter yang diterapkan berbasis emas yang terbukti anti inflasi. Karena itu harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah).

Calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya akan diproses hukum.

 

4)     Sanksi tegas dan efek jera.

Sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).

 

Khatimah

Siapapun dengan hati ikhlas dan akal yang waras merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptor itu malah bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Belum lagi, ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini.

Karena itu perubahan menuju ke arah Islam dan solusi Islam dalam memberantas korupsi harus segera dilaksanakan. Upaya inilah yang membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariah kaffah. Insya Allah. [Hanif Kristianto; Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data]

 

Catatan kaki:

https://news.detik.com/berita/d-5279978/survei-tii-anggota-legislatif-terkorup-di-indonesia

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − 13 =

Back to top button