Tafsir

Orang Yang Tidak Mendapatkan Syafaat

فَمَا تَنفَعُهُمۡ شَفَٰعَةُ ٱلشَّٰفِعِينَ ٤٨

Tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat.  (QS al-Muddatstsir [74]: 48).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

فَمَا تَنفَعُهُمۡ شَفَٰعَةُ ٱلشَّٰفِعِينَ ٤٨

Tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat (QS al-Mudatstsir [74]: 48).

 

Ayat ini diawali dengan huruf al-fâ‘. Ada yang menyebut huruf tersebut sebagai huruf ‘athf.1 Dengan demikian kalimat sesudahnya merupakan kelanjutan dari kalimat sebelumnya yang dihubungkan dengan huruf al-fâ‘ tersebut. Ada yang mengatakan huruf tersebut huruf isti’nâfiyyah.2 Dengan begitu kalimat sesudahnya merupakan kalimat baru yang terputus dengan kalimat sesudahnya.

Meskipun kalimat baru dan terputus dengan kalimat sebelumnya, objek yang dibicarakan masih sama, yakni tentang kaum kafir yang melakukan berbagai perbuatan maksiat sebagaimana diterangkan dalam kalimat sebelumnya.

Kata شَفَاعَة merupakan bentuk mashdar dari kata شفَعَ – يَشفَع ، شَفْعًا وشفاعة (memohon untuk orang lain, menambahkan, menyertakan, memasukkan). Secara bahasa, kata الشفع berarti lawan dari kata الوَتْر (ganjil), yakni الزوج (berpasangan, genap).3 Secara istilah, kata asy-syafâ’ah bermakna pemohonan untuk mengampuni dosa dan kesalahan di antara mereka).4

Adapun الشَّافِعِينَ merupakan bentuk jamak dari kata الشَّافِع yang merupakan ism al-fâ’il. Menurut asy-Syaukani, yang dimaksud dengan شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ (para pemberi syafaat) adalah para malaikat, para nabi dan orang-orang yang shalih. Mereka itu adalah yang syafaatnya berguna. 5

Dalam ayat ini diberitakan bahwa syafaat mereka itu tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi kaum kafir. Sebabnya, dalam disebut kata  merupakan harf al-nafîyy,6 yang menafikan atau menegasikan kalimat sesudahnya. Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa syafaat dari orang-orang yang dapat memberikan syafaat tersebut tidak bermanfaat bagi orang-orang yang mati dalam kafir.

Al-Baidhawi berkata, “Syafaat orang-orang yang memberikan syafaat tidak bermanfaat seandainya diberikan kepada mereka.”7

Ibnu Katsir berkata, “Siapa saja yang mempunyai sifat-sifat demikian (yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya), tiada manfaat bagi dia syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat pada Hari Kiamat nanti. Sebabnya, sesungguhnya syafaat itu hanya berguna bagi orang yang diperbolehkan untuk menerimanya. Adapun orang yang kembali kepada Allah dalam keadaan kafir, kelak pada Hari Kiamat bagi dia hanyalah neraka secara pasti. Tiada jalan lain bagi dia dan dia kekal di dalamnya.”8

Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, pemberi syafaat tidak  dapat menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Seandainya penghuni bumi memberikan syafaat kepada mereka, syafaat itu tidak diterima.9

Menurut Mahmud Shafi, ayat ini bukan bermakna bahwa para pemberi syafaat itu memberikan syafaat kepada mereka, lalu syafaat tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Akan tetapi, maknanya adalah nafiyy al-syafâ’ah (meniadakan atau menegasikan syafaat) sehingga tidak bermanfaat. Artinya, tidak ada syafaat bagi mereka sehingga bermanfaat bagi mereka.10

Secara eksplisit disebutkan bahwa syafaat itu tidak bermanfaat bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa syafaat itu bermanfaat bagi selain mereka.11 Yang termasuk orang yang dapat diberi syafaat adalah orang-orang Mukmin yang fasik. Menurut Fakhruddin ar-Razi bahwa ulama dari mazhabnya ber-hujjah tentang adanya syafaat bagi orang-orang fasik atas dasar mafhûm mukhâlafah dari ayat ini. Mereka berkata, “Dikhususkan syafaat bagi mereka itu menunjukkan bahwa syafaat para pemberi syafaat tersebut bermanfaat.”12

Menurut Imam al-Qurthubi, ayat ini menjadi dalil kebenaran pendapat yang mengatakan bahwa syafaat itu berguna bagi orang-orang yang melakukan perbuatan dosa; bahwa kaum yang termasuk ahli tauhid yang berbuat dosa dunia diazab terlebih dahulu, kemudian mereka akan mendapatkan syafaat. Lalu Allah SWT merahmati mereka karena tauhid mereka dan syafaat. Kemudian mereka pun dikeluarkan dari neraka. Adapun orang-orang kafir tidak memiliki pemberi syafaat di tengah mereka.13

Hal yang sama juga disampaikan para ulama lain, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu ‘Asyur dan lain-lain.14 Rinciannya diberitakan dalam hadis-hidis yang sahih.15

 

Beberapa Pelajaran Penting

Dalam ayat ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: Adanya syafaat pada Hari Kiamat. Hanya saja, orang-orang yang diterangkan dalam ayat ini tidak mendapatkan syafaat.

Tentang adanya syafaat tersebut, juga dijelaskan dalam banyak dalil lainnya (Lihat: QS al-Zumar [39]: 43-44).16

Syafaat menjadi otoritas Allah SWT semata. Tidak ada yang bisa memberikan syafaat kecuali dengan izin dan ridha-Nya. Ini juga ditegaskan dalam ayat lain (Lihat: QS al-Najm [53]: 26;17 QS Saba [34]: 23).

Semua ayat ini menjelaskan adanya syafaat sekaligus menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafaat kepada orang lain kecuali mendapatkan izin dan ridha Allah SWT

Adanya syafaat pada Hari Kiamat juga diberitakan dalam banyak hadis. Di antaranya hadis dari Imran bin Hushain ra. bahwa Nabi saw bersabda:

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّار بِشَفَاعَةِ مُحَمَّد -صلى الله عليه وسلم- فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، يُسَمَّوْنَ الْجَهَنَّمِيِّينَ

Ada sekelompok kaum yang keluar dari neraka karena syafaat Muhammad saw. Lantas mereka masuk surga dan diberi julukan ‘Jahannamiyun (mantan penghuni Neraka Jahannam) (HR al-Bukhari dan Abu Dawud).

 

Menurut al-Qadhi Iyadh, mazhab Ahlus Sunnah menyatakan kebolehan syafaat secara rasional dan kewajiban syafaat berdasarkan firman Allah SWT:

وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَىٰ ٢٨

Mereka tidak memberikan syafaat melainkan kepada orang yang Allah ridhai (QS al-Anbiya’ [21]: 28).

 

Juga dalam firman Allah SWT:

يَوۡمَئِذٖ لَّا تَنفَعُ ٱلشَّفَٰعَةُ إِلَّا مَنۡ أَذِنَ لَهُ ٱلرَّحۡمَٰنُ وَرَضِيَ لَهُۥ قَوۡلٗا

Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepada  dia dan Dia telah meridhai perkataannya (QS Thaha [20]: 109).

 

Ayat-ayat semacamnya serta berita dari Rasulullah saw. sungguh telah sampai riwayat-riwayat yang secara keseluruhan derajatnya sampai ke tingkat mutawatir membenarkan adanya syafaat pada Hari Akhir bagi kaum Mukmin yang berdosa. Pendapat ini juga disepakati oleh para ulama salaf shalih dan kalangan Ahlusunnah sesudah mereka, tetapi ditolak oleh kaum Khawarij dan sebagian Muktazilah.18

Kedua: Orang kafir tidak akan mendapatkan syafaat. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, “Nabi kalian, yakni Nabi Muhammad saw., adalah pemberi syafaat yang keempat. Para pemberi syafaat itu adalah Malaikat Jibril, lalu Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa atau Nabi Isa, kemudian Nabi Muhammad, kemudian para malaikat lainnya, kemudian para nabi lainnya, kemudian para shiddiqin, dan kemudian para syuhada. Setelah itu tinggallah sekelompok orang yang tidak diberi syafaat di dalam neraka. Lalu dibacakan kepada mereka Surat al-Muddatstsir dari ayat 42 hingga ayat 48 kepada mereka. Ibnu Mas’ud pun berkata, “Mereka itulah yang akan tetap berada di dalam neraka.”19

Ketiadaan syafaat bagi kaum kafir juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti dalam  firman Allah SWT:

لَّا يَمۡلِكُونَ ٱلشَّفَٰعَةَ إِلَّا مَنِ ٱتَّخَذَ عِندَ ٱلرَّحۡمَٰنِ عَهۡدٗا ٨٧

Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah (QS Maryam [19]: 87).

 

Menurut Ibnu Abbas, makna al-‘ahd  (janji) yang dimaksud dalam ayat ini syahâdah Lâ ilâha illâL-lâh (kesakssian bahwa tidak ada tuhan selain Allah), dan berserah diri kepada Allah SWT dengan segala daya dan kekuatan, serta tidak berharap kecuali kepada Allah.20

Menurut al-Wahidi, perjanjian tersebut adalah akidah tauhid. Siapa saja yang mengatakan Lâ ilâha illâL-lâh berhak mendapatkan syafaat. Itu artinya, tidak diberi syafaat kecuali orang yang bersyahadat tidak ada tuhan kecuali Allah SWT.21

Tentang ayat ini Ibnu Jarir berkata: Allah berfirman, “Wahai Muhammad, orang-orang kafir itu tidak mendapatkan syafaat dari tuhan mereka pada hari Allah SWT mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya  sebagai utusan atau delegasi yang terhormat, ketika orang Mukmin memberikan syafaat kepada Mukmin lainnya.’” 22

Menurut al-Qadhi ‘Iyadh, ayat-ayat yang menerangkan ketiadaan syafaat pada Hari Kiamat, seperti dalam ayat ini (QS al-Muddatstsir [74] ayat  48) dan pada firman Allah SWT:

مَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ حَمِيمٖ وَلَا شَفِيعٖ يُطَاعُ ١٨

Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada bagi  dia seorang penolong yang diterima (pertolongannya) (QS Ghafir [40]: 18).

 

Juga ayat-ayat lain yang semacamnya mengenai orang kafir.23

Selain ayat al-Quran, terdapat juga beberapa hadis yang memberitakan bahwa syafaat hanya akan diberikan kepada ahli tauhid, yakni kaum Mukmin. Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda:

لِكُل نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِىّ اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ الله مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بالله شَيْئًا

Setiap nabi mempunyai doa yang mustajab. Setiap nabi doanya dikabulkan segera. Adapun aku menyimpan doaku untuk memberikan syafaat kepada umatku pada Hari Kiamat. Syafaat itu insya Allah diperoleh umatku yang meninggal tidak menyekutukan Allah dengan apapun (HR Muslim dan al-Tirmidzi).

 

Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أَنَا أَوَّلُ النَّاسِ يَشْفَعُ فِى الْجَنَّةِ وَأَنَا أَكْثَرُ الأَنْبِيَاءِ تَبَعًا

Aku adalah orang yang pertama kali memberikan syafaat di surga dan aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya (HR Muslim).

 

Dari Abu Hurairah ra.: ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada Hari Kiamat?” Beliau menjawab:

لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسْأَلَنِى عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ

“Sungguh saya telah mengira, wahai Abu Hurairah, hendaklah jangan ada seseorang yang lebih dulu dari kamu menanyakan tentang hadis ini, karena saya memang melihat keinginanmu yang keras untuk mendengarkan hadis. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada Hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan, ‘Lâ ilâha illâL-lâh’ dengan tulus dari  hatinya atau jiwanya.”   (HR al-Bukhari dan Ahmad).

 

Juga Hadis dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

شَفَاعَتِى لأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِن أُمَّتِى

Syafaatku juga untuk umatku yang menjadi pelaku dosa besar (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).

 

Semua itu menunjukkan tentang adanya syafaat. Syafaat tersebut hanya berlaku bagi kaum  Mukmin. Adapun kaum kafir tidak mendapatkan syafaat. Mereka tinggal di neraka dan tidak akan keluar darinya.

WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1  Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10 (Beirut: Dar al-Yamamah, 1995), 291

2  al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 401

3  Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 8 (Beirut: Dar Shadir, tt), 183

4  Ibnu al-‘Atsir, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, vol. 2 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1979), 1184

5  al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 400

6  Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 162; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 291; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 401

7  al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 367

8  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999), 273

9  al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 455

10    Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 162

11    Abu Ja’far Ahmad al-Nahhas, I‘râb al-Qur‘ân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H), 49

12    al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 716

13    al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 88

14    al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 37; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisyiyyah, 1984), 328

15    Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 328

16    Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 7, 102

17    al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87

18    Al-Qadhi Iyadh, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, vol. 1 (Kairo: Dar al-Wafa’, 1998), 565. Lihat juga al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, 3 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 1392 H), 35

19    al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 88

20    al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 18, 255

21    al-Wahidi, al-Wajîz fî Tafsîr Kitâb al-‘Azîz (Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), 689

22    al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 18, 255

23    al-Qadhi Iyadh, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, vol. 1, 565

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 2 =

Back to top button