Seluruh Rakyat Berhak Memanfaatkan Milik Umum
ثُم ادْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ، فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُم ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنهم إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ، وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِين
“… Kemudian serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambut seruanmu maka terimalah dari mereka dan berhentilah dari (memerangi) mereka. Serulah mereka untuk berpindah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan hal itu maka mereka memiliki hak seperti hak kaum Muhajirin dan memiliki kewajiban seperti kewajiban kaum Muhajirin.” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, asy-Syafi’iy, Abu Yusuf dan Ibnu Zanzawayh).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, yakni Buraidah bahwa Rasul saw. pernah berpesan kepada pasukan yang diberangkatkan untuk berjihad melawan kaum kafir. Buraidah berkata: Rasulullah saw., jika mengangkat amir atas pasukan atau detasemen, berwasiat kepada dia secara khusus agar takwa kepada Allah dan berlaku baik kepada kaum Muslim yang Bersama dirinya. Kemudian beliau bersabda, “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah… (dan di antaranya pesan di atas).”
Imam Muslim (w. 261 H) mengeluarkan hadis ini di dalam Shahîh Muslim, hadis no. 1753; Imam Ahmad (w. 241 H) di dalam Al-Musnad, hadis no. 22978 dan 23030; Imam Ibnu Majah (w. 273 H) di dalam Sunan Ibni Mâjah, hadis no. 2858; Imam Abu Dawud (w. 275 H) di dalam Sunan Abî Dâwud, hadis no. 2612; Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalam Al-Jâmi’u al-Kabîr – Sunan at-Tirmidzî, hadis no. 1617; Imam an-Nasa’i (w. 303 H) di dalam Sunan al-Kubrâ, hadis no. 8627, 8712 dan 8731; Imam asy-Syafi’i (w. 204) di dalam Musnad asy-Syafi’i, hadis no. 384, menurut tartib as-Sindi; Imam Abu Yusuf (W. 182 h) di dalam Al-Atsâr, hadis no. 875; Imam Ibnu Zanzawayh (w. 251 H) di dalam Al-Amwâl li Ibni Zanzawayh, hadis no. 102, 757 dan 759. Hadis ini juga dikeluarkan oleh para imam lainnya.
Dâr al-Muhâjirîn (negeri kaum Muhajirin) maknanya adalah Dâr al-Islâm, yakni Daulah Islamiyah. Sabda Rasul saw., “at-tahawwul min dârihim ilâ dâr al-muhâjirîn” menurut Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarhu Misykât al-Mashâbih, juga Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H) di dalam Tuhfah al-Akhwâdzî Syarhu Jâmi’ at-Tirmidzî, maknanya adalah intiqâlu min dâr (bilâd) al-kufri ilâ Dâr al-Islâm, yakni berpindah dari darul kufur ke Darul Islam.
Sabda Rasul saw. selanjutnya, “in fa’alû dzâlika fa lahum mâ li al-muhâjirîn wa ‘alayhim mâ ‘alâ al-muhâjirîn”, di sini beliau menyatakan syarth (syarat), yaitu berpindah dari darul kufur ke Darul Islam, dan jawab syarth-nya, yakni mereka memiliki hak dan kewajiban sebagaimana yang dimiliki oleh kaum Muhajirin. Berpindah dari darul kufur ke Darul Islam maknanya bukan sekadar berpindah sementara, tetapi berpindah untuk menetap di Darul Islam. Artinya, menjadi warga negara Daulah Islamiyah. Ini menunjukkan bahwa berpindah ke Darul Islam, yakni menjadi warga negara Daulah Islamiyah, menjadi syarat untuk mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana warga negara Darul Islam lainnya. Atas dasar itu, seorang Muslim, jika belum menjadi warga negara Daulah Islamiyah, tidak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara Daulah Islamiyah. Sebaliknya, orang kafir yang menjadi warga negara Daulah Islamiyah, yakni menjadi kafir dzimmi, mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana warga negara Daulah Islamiyah lainnya, kecuali yang dikecualikan oleh nas syariah.
Dari sini dirumuskan kaidah berkaitan orang kafir dzimmi: “Lahum maa li al-muslimîn min al-inshâf wa ‘alayhim mâ ‘alâ al-muslimîn min al-intishâf (Mereka memiliki hak dan kewajiban sebagaimana kaum Muslim secara adil).”
Hak itu termasuk hak mendapatkan berbagai pelayanan dan fasilitas dari negara kepada warga negara Daulah Islamiyah. Juga hak untuk memanfaatkan harta milik umum, fasilitas publik dan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar.
Pemanfaatan kepemilikan umum oleh warga negara yang Muslim maka hal itu sudah jelas. Adapun terkait ahludz-dzimmah, yakni warga negara Daulah Islamiyah yang masih kafir, maka selain ditunjukkan secara umum oleh hadis di atas, juga ada banyak nas dan fakta pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin yang semuanya menunjukkan hal itu.
Dulu pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, ahludz-dzimmah berjalan di jalan umum, ke pasar melakukan jual-beli, sementara pasar dan jalan termasuk kepemilikan umum. Mereka juga memanfaatkan air, api dan padang gembalaan. Rasul saw. bersabda, “Tsalâtsun lâ yumna’na: al-mâ`u wa al-kalâ`u wa an-nâru (Ada tiga jenis harta yang tidak boleh dihalangi (pemanfaatannya): air, padang gembalaan dan api.
Para Sahabat telah berijmak bahwa kaum Nasrani Syam bersama dengan kaum Muslim memanfaatkan sungai-sungai Syam. Demikian juga kaum Majusi di Irak dan Bahrain. Orang-orang Qibthi Mesir juga memanfaatkan air Sungai Nil Bersama-sama kaum Muslim baik untuk keperluan minum, kebutuhan rumah tangga, mengairi tanaman atau yang lainnya. Mereka juga mencari kayu bakar dari hutan, mengairi tanaman mereka dari sungai, menggembalakan hewan ternak mereka di padang gembalaan umum.
Mereka juga berhak untuk menghidupkan tanah mati. Hal itu sesuai dengan sabda Rasul saw., “Man ahyâ ardh[an] maytat[an] fahiya lahu (Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad).
Juga sabda Rasul saw., “Man a’mara ardh[an] laysat li ahad[in] fahuwa ahaqq (Siapa saja yang memakmurkan tanah yang bukan milik seorang pun maka dia lebih berhak (atas tanah tersebut).” (HR al-Bukhari dari Aisyah ra)..
Ini berlaku umum, yakni mencakup semua warga negara baik muslim maupun ahludz-dzimmah.
Dengan demikian seluruh rakyat (warga negara), baik Muslim maupun ahludz-dzimmah, berhak menggunakan dan memanfaatkan kepemilikan umum dan fasilitas publik seperti jalan transportasi darat, laut dan udara, sarana komunikasi publik, rumah sakit, sekolah, taman, lapangan; juga berhak memanfaatkan sumber air umum, api dan sumber energi seperti listrik yang termasuk kepemilikan umum, hutan, padang gembalaan umum, sungai, saluran irigasi dan kepemilikan umum atau fasilitas publik lainnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]