Hadis Pilihan

Patokan Bagi Hasil Syirkah

الْوَضِيعَة عَلَى الْمَالِ، وَالرِّبْحُ عَلَى مَا اصْطَلَحُوا عَلَيْهِ

“Kerugian itu menjadi tanggungan harta, sedangkan keuntungan menurut yang mereka sepakati.” (HR Abdu ar-Razaq no. 15087).

Redaksi ini merupakan ucapan Ali bin Abi Thalib ra. Diriwayatkan oleh Abdu ar-Razaq (w. 211 H) di dalam Mushannaf ‘Abdu ar-Razâq bab Nafaqah al-Mudhârib wa Wadhî’atuhu dari jalur al-Qays bin ar-Rabi’ dari Abu al-Hushain dari asy-Sya’bi dari Ali bin Abi Thalib tentang al-mudhârabah. Ats-Tsauri meriwayatkan hadis ini dari Abu Hushain dari Ali bin Abi Thalib tentang al-mudhârabah atau asy-syirkayn.

Redaksi serupa juga diriwayatkan di dalam Al-Mushannaf Abdu ar-Razâq dari sejumlah Taabi’in. Di antaranya asy-Sya’bi ‘Amir bin Syurahbil no. 15086, Qatadah no. 15081, Ibnu Sirin dan Abu al-Qilabah no. 15085, ‘Ashim al-Ahwal dan Jabir bin Zaid no. 15089, dan lainnya.

Perlu diperhatikan bahwa syirkah al-mudhârabah dan syirkah al-abdân tersebar dan dipraktikkan oleh para Sahabat. Imam al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ menyatakan: “semua riwayat itu menunjukkan bahwa al-mudhârabah atau al-qirâdh itu tersebar luas dan dipraktikkan oleh para Sahabat”. Sebagian Sahabat seperti al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Hakim bin Hizam menyampaikan syarat yang mereka buat kepada Nabi saw. Hal itu mengisyaratkan bahwa Nabi saw. mengakui praktik al-mudhârabah yang dilakukan oleh para Sahabat, berikut pembagian keuntungan dan tanggung jawab atas kerugian.

Terkait syirkah al-abdân, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) di dalam Al-Mughnî menyatakan terkait riwayat syirkah al-abdân Ibnu Mas’ud, Ammar dan Saad pada Perang Badar, “Semisal ini tidak tersembunyi bagi Rasulullah saw. Beliau menyetujui apa yang mereka lakukan.” Ahmad berkata: Nabi saw. memperserikatkan di antara mereka.

Ini juga mengisyaratkan persetujuan Nabi saw. terhadap pembagian hasil/keuntungan dalam syirkah al-abdân, baik secara sama atau tidak sama, sesuai syarat/kesepakatan mereka.

Jelas, praktik syirkah tersebar luas dan dipraktikkan oleh para Sahabat. Tentu juga berikut ketentuan pembagian keuntungan dan tanggung jawab atas kerugian. Dari situ dimungkinkan bahwa ucapan Ali bin Abi Thalib di atas hanyalah menyatakan ketentuan itu yang berlaku luas di dalam praktik syirkah para Sahabat. Pasalnya, tidak ada riwayat yang memungkiri ketentuan dalam ucapan Ali bin Abi Thalib itu. Juga tidak ada riwayat satu pun tentang ketentuan yang berbeda. Padahal masalah ini berkaitan dengan hak dan tanggung jawab yang berujung pada keadilan dan kezaliman serta halal dan haram harta. Ini semestinya diingkari kalau memang ketentuan dalam ucapan Ali bin Abiy Thaib itu menyalahi hukum syariah.

Argumentasi atas ketentuan itu, bahwa para syarîk (mitra) berhak atas bagian keuntungan dengan kontribusi mereka baik harta atau tenaga. Mereka juga menanggung kerugian sesuai dengan jenis kontribusi mereka. Pengaruh tenaga (jasa, keahlian, pikiran, dsb) dan harta terhadap perolehan keuntungan berbeda-beda dan sulit diperbandingkan apalagi secara kuantitas. Karena itu yang lebih mendekati keadilan bahwa penentuan bagian atas keuntungan itu menurut kesepakatan para syarîk. Masing-masing ridha mendapat bagian tertentu dari keuntungan dengan kontribusi yang mereka berikan.

Adapun kerugian ditanggung oleh para syarîk sesuai dengan jenis kontribusi mereka. Kerugian finansial ditanggung oleh pemilik modal sesuai kadar modal mereka. Al-‘آmil atau al-mudhârib juga menanggung kerugian yakni tenaga, waktu, pikiran, keahlian dan sebagainya yang telah dia curahkan; sementara dia tidak mendapat apa-apa karena tidak ada keuntungan. Bahkan dalam kondisi syirkah itu impas, tidak untung dan tidak rugi, maka al-‘آmil atau al-mudhârib merugi tenaganya sebab dia tidak mendapat apa-apa. Jika al-‘âmil atau al-mudhârib juga harus menanggung kerugian finansial maka dia menanggung kerugian dua kali: kerugian tenaga dan finansial. Ini tentu tidak fair.

Selain itu posisi al-‘âmil atau al-mudhârib atas modal syirkah adalah seperti posisi al-amîn atau al-wakîl, yakni sebagai yaddu al-amânah.  Dia tidak menjamin kerugian atau kerusakan, kecuali karena kesengajaan atau kelalaiannya.

Ketentuan di atas disepakati oleh para fukaha atau setidaknya jumhur fukaha. Di dalam Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah (44/6) dinyatakan, “Para fukaha telah sepakat bahwa kerugian dalam syirkah secara umum menjadi tanggungan semua syarîk (mitra) sesuai dengan modal masing-masing dalam syirkah itu. Tidak boleh mensyaratkan selain itu. Ibnu ‘Abidin berkata, ‘Tidak ada perbedaan pendapat bahwa pensyaratan kerugian berbeda dengan kadar modal adalah batil.’ Sebagaimana para fukaha juga bersepakat bahwa al-mudhârib tidak memikul sesuatu dari kerugian. Kerugian itu semuanya terhadap modal. Hal itu berbeda dengan keuntungan. Keuntungan adalah menurut syarat (kesepakatan).”

Abu al-Khathab al-Kalwadzani (w. 510 H) di al-Hidâyah ‘alâ Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal (hal. 283) menyatakan, “Keuntungan pada keduanya menurut apa yang mereka syaratkan, sedangkan kerugian menurut kadar harta. Jika keduanya mensyaratkan kesamaan dalam kerugian seraya perbedaan dalam kadar harta maka syarat itu batil sementara akadnya shahih. Demikian juga semua syarat yang faasid tidak membatalkan akad syirkah.”

Dr. Mushthafa al-Khin dkk di dalam Al-Fiqhu al-Manhajî ‘alâ Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’iy (7/77) menyatakan tentang mudhaarabah, “Kerugian menjadi tanggungan pemilik harta. Ketika tangan al-mudhârib adalah yadd al-amânah maka kerugian ketika berakhirnya al-mudhârabah menjadi tanggungan pemilik harta saja. Al-‘آmil tidak menanggung sesuatupun dari kerugian harta (modal). Sebabnya, kerugian itu pada hukum hilangnya sebagian harta al-mudhârabah dan dia tidak menjamin untuk itu selama dia tidak menyengaja dan tidak lalai.”

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) di dalam Al-Mughnî (5/49) menyatakan, “Ketika disyaratkan al-mudhârib harus menjamin harta atau sebagian dari kerugian maka syarat tersebut batil. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat tentang ini dan akadnya sah.”

Itulah ketentuan pembagian keuntungan dan tanggung jawab atas kerugian. Kesepakatan atau syarat yang menyalahi ketentuan tersebut adalah batil.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 1 =

Check Also
Close
Back to top button