Takrifat

Pengkhususan Dengan Pengecualian

Al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 3 menjelaskan, pengkhususan dengan menggunakan pengecualian adalah mengeluarkan apa yang disebutkan setelah “illâ” atau teman-temannya dari cakupan makna apa yang disebutkan sebelum “illâ” dan teman-temannya.

Secara bahasa Arab alat untuk menyatakan pengecualian antara lain lafal “illâ, ghayru, siwâ, hâsyâ, khalâ, ‘adâ, mâ ‘adâ, mâ khalâ, laysa, lâ yakûnu” dan semacamnya. Induk pengecualian itu adalah lafal illâ. Artinya, apa yang disebutkan setelah lafal-lafal itu dikeluarkan dari cakupan makna lafal umum yang disebutkan sebelum lafal-lafal pengecualian itu.

Hanya saja, penyebutan lafal illâ tidak selalu memberikan faedah makna pengecualian. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak rancu dalam menerapkan pengecualian dengan lafal illâ dan tidak rancu dalam menerapkan pengkhususan yang menggunakan pengecualian itu.

Adakalanya lafal illâ itu merupakan pengecualian yang terputus (al-istitsnâ‘u al-munqathi). Sebabnya, al-mustatsnâ (yang dikecualikan) bukan dari jenis al-mustatsnâ minhu (yang dikenai pengecualian). Ini tidak memberikan faedah makna pengecualian, tetapi memberikan faedah makna lainnya. Di antaranya memberi faedah makna istidrâk (koreksi), yakni bermakna wa lakin (tetapi). Contohnya dalam firman Allah SWT:

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ أَمۡرِ رَبِّهِۦٓۗ ٥٠

(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam.” Lalu sujudlah mereka, kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin. Dia mendurhakai perintah Tuhannya (QS al-Kahfi [18]: 50).

 

Jadi Iblis tidak termasuk Malaikat. Artinya al-mustatsnâ bukan dari jenis al-mustatsnâ minhu. Karena itu lafal illâ di sini bukan pengecualian. Maknanya adalah “tetapi Iblis tidak bersujud”.

Contoh lainnya dalam firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ ٢٩

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesame kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).

 

Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) di dalam Tafsîr al-Mâturîdî (Ta‘wîlâtu Ahli as-Sunnah) menyatakan, “Tampak dalam yang pengecualian bahwa itu bukan jenis al-mustatsnâ (yang dikecualikan). Sebabnya, ia mengecualikan perniagaan secara suka sama suka dari memakan harta sesama secara batil. Dalam hal ini, memakan harta secara batil bukan dari jenis perniagaan, dan perniagaan bukan pula dari jenis memakan harta secara batil. Pengecualian itu pada asalnya adalah menjadikan pencapaian apa yang diinginkan (pengecualian itu) dalam cakupan lafal. Lalu jika tidak dari jenisnya, bagaimana boleh? Itu dimungkinkan—walLâh a’lam—dalam  bentuk al-ibtidâ‘ dan al-i‘tinâf. Seolah Allah berfirman: Janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, tetapi makanlah dengan perniagaan yang terjadi dengan suka sama suka di antara kalian.

Berdasarkan ini juga keluar firman Allah SWT:

لَّا يَسۡمَعُونَ فِيهَا لَغۡوًا إِلَّا سَلَٰمٗاۖ ٦٢

Mereka tidak mendengar perkataan yang tak berguna di dalam surga, kecuali ucapan salam (QS Maryam [19]: 62).

 

As-Salâm dikecualikan dari al-laghwu. Padahal as-salâm bukan dari jenis al-laghwu. Namun, maknanya adalah apa yang kami sebutkan: “Mereka tidak mendengar perkataan yang tidak berguna di surga, tetapi di surga mereka mendengar ucapan salam.”

Adakalanya, lafal illâ tidak memberikan faedah pengecualian karena merupakan pengecualian yang terputus (al-istitsnâ‘u al-munqathi’). Pasalnya, pengecualian, yakni lafal illâ, itu terpisah (munfashil) dan tidak bersambung (ghayru muttashil) karena ada jeda atau pemisah. Hal itu karena antara lafal illâ dan al-mustatsnâ dengan al-mustatsnâ minhu ada pemisah berupa pembicaraan topik yang berbeda. Contohnya ada dalam firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ … وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ … إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ ٢٨٢

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya…Persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki,  (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai…(Tulislah muamalah kalian itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian (jika) kalian tidak menuliskannya (QS al-Baqarah [2]: 282).

 

Pengcualiaan dengan illâ di sini yakni “illâ an takûna tijâratan hâdhiratan …” tidak bersambung (ghayru muttashil) dengan yang dikenai pengecualian (al-mustatsnâ minhu), yakni perintah menulis transaksi secara tidak tunai dengan jangka waktu yang telah ditentukan, yang dinyatakan di awal ayat. Hal itu karena disela oleh pembicaraan topik lainnya, yakni perintah mempersaksikan transaksi tidak tunai itu. Jadi pengecualian ini merupakan pengecualian yang terputus (al-istitsnâ`u al-munqathi’) sehingga tidak memberikan faedah pengecualian dan pengkhususan.

Jadi maknanya seperti diampaikan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr – Tafsîr Sûrah al-Bâqarah: “Namun, jika transaksinya berupa perniagaan tidak dalam safar (tijârah hâdhirah) dan secara tunai di antara kalian maka tidak ada masalah jika kalian tidak menuliskannya. Artinya, mubah bagi kalian menuliskannya atau tidak menuliskannya.”

Adakalanya lafal illâ itu datang dalam bentuk yang memberikan makna pembatasan (al-hashru), yakni ketika redaksinya berupa lafal penafian lalu disusul dengan illâ ( atau lâ … illâ). Illâ di sini juga tidak memberikan makna pengecualian dan pengkhususan, tetapi memberikan makna pembatasan (al-hashru).

Contohnya dalam firman Allah SWT:

وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ ٧

Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (QS Ali Imran [3]: 7).

 

Adakalanya lafal illâ datang sebagai alat pengecualian yang diabaikan (adâtu al-istitsnâ‘ mulghâh), yakni tidak diamalkan. Ini berlaku dalam kondisi apa yang sesudah illâ merupakan badal dari apa yang sebelumnya. Contohnya dalam kalimat: “Lâ ilâha illâ AlLâhu”. Lafal AlLâhu tidak di-nashab-kan karena istitsnâ‘, tetapi merupakan badal dari posisi penafian jenis (lâ nâfiyah li al-jinsi) dan isim-nya. Artinya, ia merupakan badal dari posisi lâ ilâha yang di-rafa’-kan berdasarkan ibtidâ‘ sehingga lafal AlLâhu di-rafa’-kan menurut al-badaliyah.

Adakalanya lafal illâ dinyatakan dengan makna ghayru (selain) sebagai sifat untuk yang sebelum illâ. Di sini juga bukan merupakan pengkhususan dengan penggunakan pengecualian. Contohnya dalam firman Allah SWT:

لَوۡ كَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ ٢٢

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa (QS al-Anbiya‘ [21]: 22).

 

Rusaknya langit dan bumi adalah karena adanya tuhan selain Allah. Makna ayat ini: sekiranya ada di langit dan bumi tuhan selain Allah, niscaya keduanya rusak binasa. Jadi illâ di sini bermakna ghayru dan illâLlâhu bermakna ghayruLlâh (selain Allah). Lafal illâLlâhu menjadi sifat untuk lafal âlihat[un]. Karena illâ adalah huruf maka harakatnya secara i’rab beralih ke setelah illâ, yakni lafal AlLâhu sehingga dibaca marfû’ karena yang disifati, yakni âlihat[un], juga marfû’. Hal itu ditegaskan oleh qiraa’ah ayat ini yang mana lafal AlLâhu adalah marfu’. Sekiranya illâ itu sebagai pengecualian (al-istitsnâ‘u), niscaya lafal AlLâh di-nashab-kan sebagai al-mustatsnâ dalam konteks penetapan, namun tidak demikian.

Begitu pula lafal ghayru, adakalanya bermakna pengecualian. Ini ketika pengecualian itu dengan al-mustatsnâ minhu dan al-mustatsnâ termasuk jenis al-mustatsnâ minhu, dan secara i’rab berposisi sebagai mustatsnâ manshûb yakni di-nashab-kan. Contohnya ada dalam firman Allah SWT:

فَمَا وَجَدۡنَا فِيهَا غَيۡرَ بَيۡتٖ مِّنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ  ٣٦

Kami tidak mendapati negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri (QS adz-Dzariyat [51]: 36).

 

Namun, tidak semua ghayra yang di-nashab-kan bermakna istitsnâ‘. Sebabnya, adakalanya nashab sebagai isim inna, khabar kâna, maf’ûl, badal, atau sifat dari yang sebelumnya. Contohnya ada dalam firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتًا غَيۡرَ بُيُوتِكُمۡ حَتَّىٰ تَسۡتَأۡنِسُواْ وَتُسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَهۡلِهَاۚ ٢٧

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberikan salam kepada penghuninya (QS an-Nur [24]: 27).

 

Di sini lafal ghayra buyûtikum menjadi sifat dari buyût[an] yang nashab sebagai maf’ûl sehingga ghayra di-nashab-kan.

Contoh lain lafal ghayru yang dinyatakan bukan sebagai pengecualian ada dalam firman Allah SWT:

لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ غَيۡرُ أُوْلِي ٱلضَّرَرِ وَٱلۡمُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡۚ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ ٩٥

Tidaklah sama Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka (QS an-Nisa’ [4]: 95).

 

Lafal ghayru ûlî adh-dharari menjadi sifat dari al-qâ’idûna. Karena itu ia dibaca ghayru, yakni marfû’ (di-rafa’-kan), karena yang disifati, yakni al-qâ’idûna, juga marfû’.

Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengkhususan yang menggunakan pengecualian, khususnya lafal illâ dan ghayru.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − 5 =

Back to top button