Takrifat

Pengkhususan Keumuman

تَخْصِيْصُ الْعُمُوْمِ

Secara bahasa al-khâsh maknanya dhiddu al-‘âm (lawan dari umum). Artinya adalah yang khusus, tertentu dan spesifik. Al-Khushûsh maknanya muqâbilu al-‘umûm aw al-ithlâq, yakni hal yang khusus atau terbatas (Kamus Al-Munawir).

Al-‘آm (umum) secara bahasa merupakan isim fa’il dari mashdar ‘amma ya’ummu – ‘amm[an] wa ‘umûm[an]. Mashdar ‘amm[an] wa ‘umûm[an] maknanya syaml[an] wa syumûl[an] (mencakup/menyeluruh/komprehensif). Jadi, al-‘âm bermakna syâmil[an] (meliputi semua cakupannya). Dengan demikian al-‘umûm maknanya asy-syumûl (komprehensif), yakni cakupan lafal atas semua bagian atau unitnya.

Lafal yang umum (al-lafzhu al-‘amu atau al-‘âm) menurut Imam ar-Razi (w. 606 H) di dalam Al-Mahshûl adalah al-lafzhu al-mustaghriqu li jamî’i mâ yashluhu lahu bihasabi wadh’[in] wâhid[in] (lafal yang mengambil semua yang layak untuk dirinya menurut satu ketetapan).

Definisi yang sama disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 3, yaitu: al-‘umûm lafzh[un] yastaghriqu jamî’a mâ yashluhu lahu bi lafzh[in] wâhid[in] (umum adalah lafal yang mengambil semua apa yang layak untuk dirinya dengan satu lafal).

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl menjelaskan, lafal umum adalah: al-lafzhu al-mufrad dzû al-ma’nâ al-wâhidi al-ladzî yandariju tahtahu fardâni fa aktsara dûna maziyat[in] li ahadi afrâdihi ‘alâ al-âkhar fî ad-dalâlah illâ wurida at-takhshîsh (lafal tunggal yang memiliki satu makna yang di bawahnya terderivasi dua satuan [unit] atau lebih tanpa keistimewaan untuk salah satu satuannya atas yang lain dalam dalaalah, kecuali dinyatakan pengkhususan).

Takhshîsh maknanya adalah pembatasan. Takhshîsh al-‘umûm atau takhsîsh lafzhi al-‘âm yakni pembatasan cakupan makna lafal yang umum, atau pembatasan kekomprehensivan lafal yang umum. Artinya, cakupan lafal yang umum itu dijadikan tidak lagi mencakupi semua cakupan, bagian atau unitnya. Jadi ada sebagian cakupan, bagian atau unit dari lafal yang umum itu dikeluarkan dari keumumannya.

Syaikh Wahwab az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî mengartikan takhshîsh huwa qashru al-lafzhi ‘alâ ba’dhi afrâdihi aw sharfu al-‘âm ‘an ‘umûmihi wa irâdatu ba’dhi mâ yanthawî tahtahu min afrâdin (takhshîsh adalah membatasi lafal atas sebagian unitnya, atau memalingkan lafal yang umum dari keumumannya dan menginginkan sebagian unit yang tercakup di bawahnya).

Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam Al-Mahshûl, at-takhsîsh adalah ikhrâju ba’dhi mâ yatanâwaluhu al-khithâbu ‘anhu (mengeluarkan sebagian yang dicakup oleh seruan [al-khithâb] dari seruan itu).

Abu al-Husain al-Bashri di dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqhi, Jamaluddin al-Isnawi di dalam Nihâyah as-Sûl Syarhu Minhâj al-Wushûl dan al-‘Allamah asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3 menyatakan: at-takhshîsh adalah ikhrâju ba’dhi mâ yatanâwaluhu al-lafzhu (mengeluarkan sebagian apa yang dicakup oleh lafal).

Jadi takhshîsh itu membuat lafal umum tidak lagi mencakup seluruh keumumannya, melainkan hanya mencakup sebagiannya karena sebagian satuan atau unitnya dikeluarkan dari keumumannya. Dengan begitu, keumuman lafal umum itu dialihkan menjadi khusus jika dibandingkan dengan cakupan aslinya. Di situlah Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3 menjelaskan bahwa at-takhshîsh itu adalah: sharfu al-lafzhi min jihhati al-‘umûm ilâ jihhati al-khushûsh (memalingkan lafal dari sisi umum ke sisi khusus).

Yang mengeluarkan dari cakupan al-‘umûm itu disebut al-mukhashshish. Sebagian satuan atau unit yang dikeluarkan itu disebut al-mukhashshash. Lafal umum yang dari cakupannya dikeluarkan sebagian satuan atau unitnya, disebut al-mukhashshash ‘anhu. Dalam at-takhshîsh harus ada ketiga unsur ini.

At-Takhshîsh hanya dapat terjadi pada seruan (al-khithâb) yang di dalamnya terbayang makna syumûl atau komprehensif, yakni pada al-‘umûm. Karena itu disebut takhshîsh al-‘umûm. Takhshîsh tidak terjadi pada seruan manapun yang di dalamnya tidak terbayang makna syumûl (komprehensif).

Contohnya, tidak terjadi takhshîsh pada sabda Rasul saw. ketika Abu Burdah bin Niyar berkata, “Ya Rasulullah, aku punya al-ma’zi (kambing) jadza’ah (yang belum genap satu tahun).” Beliau bersabda:

ضَحِّ بِهاَ، وَلَا تَصْلُحُ لِغَيْرِكَ

Berkurbanlah dengan hewan tersebut dan ini tidak boleh untuk selain dirimu (HR Muslim no. 1961, Abu Sa’id Ibnu al-A’rabi no. 2076).

 

Di sini tidak terbayang terjadi takhshîsh. Sebabnya, takhshîsh adalah pemalingan lafal dari sisi keumuman ke sisi kekhususan. Jadi lafal yang tidak memiliki keumuman tidak terbayangkan padanya terjadi pemalingan itu.

Begitulah takhsîsh. Ia tidak dapat terjadi dalam semua yang termasuk khusus (al-khushûsh). Takhshîsh hanya terjadi pada semua yang mengandung makna syumûl (komprehensif) baik khithâb, khabar (informasi) atau lainnya. Hanya saja, pembahasannya dalam kontek ushul fikih, yakni dalam konteks yang berkaitan dengan istinbaath hukum syariah. Karena hukum syariah itu merupakan khithâb asy-Syâri’ maka pembahasan takhshîsh dalam konteks ini lebih pada pengkhususan seruan yang bersifat umum (takhshîsh al-khithâb al-‘umûm) atau pengkhususan keumuman seruan (takhshîsh ‘umûm al-khithâb).

Jumhur ulama sepakat atas kebolehan pengkhususan keumuman (takhshîshu al-‘umûm) melalui dalil, dengan memalingkan maknanya dari keumumannya ke makna sebagian unit yang dicakupnya. Dalil atas kebolehannya adalah terjadinya berbagai takhshîsh al-‘umûm secara riil di dalam al-Quran dan as-Sunnah, yakni takhsîsh dalam perintah dan larangan secara umum.

مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ ١٠٦

Siapa saja yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) (QS an-Nahl [16]: 106).

 

Contoh lain, firman Allah “fa[u]qtulû al-musyrikîna (Bunuhlah orang-orang musyrik)” (QS at-Tawbah [9]: 5). Darinya dikeluarkan ahlu adz-dzimmah.

Firman Allah (yang artinya): “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah kedua tangannya.” (TQS al-Maidah [5]: 38). Melalui as-Sunnah, darinya dikeluarkan pencurian yang tidak memenuhi nishabnya, pencurian harta yang tidak dijaga/dilindungi, pencurian untuk makan dalam masa paceklik, dll.

Sabda Rasul saw.: “Fî mâ saqqat as-samâ`u fafîhi ‘usyru (Dalam apa yang diairi oleh hujan ada (zakat) sepersepuluh.” (HR Ahmad). Darinya dikeluarkan “laysa fîmâ dûna khamsatu awsaq shadaqatun (Tidak ada zakat dalam apa yang kurang dari lima wasaq).” (HR Ahmad).

 

Adillatu at-Takhshîsh

Takhshîsh al-‘umûm itu hanya terjadi melalui dalil syariah yang menunjukkannya. Dalil syariah, yakni dalil atas hukum Syariah, adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Oleh karena itu  takhsîsh al-‘umûm itu hanya dengan atau melalui dalil dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas yang menunjukkan pengkhususan itu.

Takhshîsh al-‘umûm dalam konteks hukum syariah tidak boleh terjadi dengan selain keempat dalil tersebut, seperti akal, penginderaan, adat atau ‘urf, ucapan sahabat, maslahat dan lainnya. Takhshîsh al-‘umum itu hanyalah dengan dalil al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas yang menunjukkan pengkhususan itu. Jumhur berpendapat bahwa pengkhususan itu terjadi dengan dalil Syariah, baik yang independen dari nas yang di-takhshîsh (mustaqillun ‘anhu), yakni al-mukhashshish ada dalam kalimat baru; atau tidak independen darinya (ghayru mustaqillin ‘anhu), yakni al-mukhashshish masih bagian dari kalimatnya; dan baik al-mukhashshish itu bersambung dengannya (muttashilun bihi), yakni masih dalam nas yang sama atau dalam nas (ayat) berbeda, tetapi masih dalam satu kesatuan topik; atau al-mukhashshish itu terpisah darinya (munfashilun ‘anhu), yakni dalam nas lainnya yang terpisah.

Takhshîsh melalui dalil yang terpisah (bi dalîlin munfashilin), dan tentu saja juga bersifat independen (mustaqillun) ada beberapa: takhshîsh al-Kitab dengan al-Kitab, dengan as-Sunnah, dengan Ijmak Sahabat dan dengan Qiyas syar’iy; dan takhshîsh as-Sunnah dengan al-Kitab, dengan as-Sunnah, dengan Ijmak Sahabat dan dengan Qiyas syar’iy.

Adapun terhadap Ijmak Sahabat tidak terjadi takhshîsh. Sebabnya, Ijmak Sahabat bukan merupakan lafal dan tidak memiliki makna asy-syumûl atau umum.

Sementara itu, Qiyas bergantung pada ‘illat syar’iyyah. ‘Illat syar’iyyah itu kembali pada dalil berupa al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat. Karena itu pengkhususannya sebenarnya merujuk pada pengkhusuan al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat.

Ada kalanya al-mukhashshish itu bersifat mustaqillun muttashilun, yakni berupa kalimat baru tetapi masih bersambung dengan nas atau topiknya, meski kadang dalam ayat yang berbeda. Contohnya takhshîsh dalam QS al-Baqarah [2]: 183-185.

Jumhur juga menyatakan bahwa al-mukhashshish yang muttashilun ghayru mustaqillin ada empat macam: yaitu takhshîsh melalui pengecualian (bi al-itstitsnâ‘), sifat (bi ash-shiffah), syarat (bi asy-syarthi) dan tujuan (bi al-ghâyah).

Dari sisi penunjukkan (dalâlah) maka takhshîsh itu dapat melalui manthuuq atau mafhuum.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 3 =

Back to top button