Hadis Pilihan

Al-Mudhârabah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , قَال: كَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ مَالًا مُضَارَبَة اشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ: لَا يَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا، وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَاديا، وَلَا يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ، فَرَفَعَ شَرْطَهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجَازَه

Ibnu Abbas ra. berkata: Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib, jika ia menyerahkan harta sebagai mudhaarabah, ia mensyaratkan kepada temannya: “Jangan melalui laut, jangan menginap di lembah dan jangan digunakan membeli sesuatu yang memiliki bagian dalam yang basah.” Jika dia (orang itu) melakukan itu maka dia menjamin. Lalu ia (al-‘Abbas bin Abdu al-Muthallib) mengangkat (menyampaikan) syaratnya itu kepada Rasulullah saw. dan beliau memperbolehkannya.  (HR ath-Thabarani, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi).

 

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsâth, hadis no. 760. Ia menyatakan, “Hadis ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini. Muhammad bin ‘Uqbah menyendiri dengannya.”

Imam ad-Daraquthni meriwayatkan hadis ini di dalam Sunan ad-Daraquthnî, yakni hadis no. 3081, dan berkomentar, “Abu al-Jarud—salah seorang perawinya—dha’iif.”

Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini di dalam Sunan al-Kubrâ, yakni hadis nomor 11611 dan 11612, dan berkomentar, “Abu al-Jarud Ziyad bin al-Mundzir menyendiri dengannya. Dia seorang Kufiyun (penduduk Kufah) yang dha’iif. Yahya bin Ma’in menilai dia kadzdzâb (pendusta) dan yang lain men-dha’iif-kan dia.”

Jadi hadis ini dha’iif, tidak layak jadi hujjah dalam hukum syariah.

Shuhaib ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَأَخْلَاطُ الْبُرِ بالشَّعِيرِ، لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ

Ada tiga hal yang di dalamnya ada keberkahan: jual-beli secara kredit, al-muqâradhah (al-mudhârabah) serta campuran gandum dan jelay untuk rumah (makan) tidak untuk dijual (HR Ibnu Majah no. 2289).

 

Riwayat ini dha’iif. Ibnu al-Jawziy (w. 597 H) di dalam Al-Mawdhû’ât li Ibni al-Jawzî menyatakan, “Ini adalah hadis mawdhuu’ atas Rasulllah saw. Abdurrahman bin Dawud dan Umar bin Bistham keduanya majhuul dan hadisnya tidak dihapal (gahyru mahfûzh).”

Asy-Syaukani (w. 1250 H) di dalam Nayl al-Awthâr mengatakan, di dalam sanad-nya ada Nashr bin Qasim dari Abdurrahim bin Dawud, keduanya majhuul.

Imam al-Bushiri (w. 840 H) di dalam Mishbâh az-Zujâjah fî Zawâ‘id Ibni Mâjah menyatakan, “Hadis ini dha’iif. Shalih bin Shuhaib majhuul. Abdurrahman bin Dawud hadisnya tidak dihapal. Demikian dikatakan oleh al-‘Aqili. Lalu terkait Nashr bin al-Qasim, al-Bukhari berkata, “Tidak. Hadisnya mawdhuu’.”

Matan hadis ini disebutkan oleh Ibnu al-Jauziy di dalam Al-Mawdhû’ât dari jalur Shalih bin Shuhaib.

Dengan demikian hadis ini juga dha’iif bahkan mawdhuu’ sehingga tidak layak dijadikan hujjah atas hukum syariah.

Riwayat marfuu’ tentang al-mudhârabah hanya dua hadis ini. Namun, menurut para ulama hadis, keduanya dha’iif. Hadis al-Abbas menyiratkan taqriir Rasul saw. atas al-murâbahah dan syarat yang diajukan oleh al-‘Abbas. Adapun hadis Shuhaib menyiratkan kebolehan al-muqâradhah, yakni al-murâbahah. Pernyataan bahwa di dalamnya ada keberkahan maknanya adalah ada keridhaan Allah.

Al-Mudhârabah sama dengan al-qirâdh/al-muqâradhah. Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H) di al-Istidzkâr menjelaskan, al-mudhârabah istilah ulama Irak, sementara al-qirâdh istilah ulama Hijaz.

Secara bahasa, al-mudhârabah dari dharaba. Dharabat ath-thayru tadhribu: Dia pergi mencari rezeki.  Dharaba fi al-ardhi dharban wa dharbânan: Dia keluar berdagang atau berperang, atau bergegas atau pergi (Al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth).

Dharaba fi al-ardhi bermakna safar (bepergian) seperti dinyatakan di dalam QS an-Nisa [4]: 101: “wa in dharabtum fî al-ardhi (jika kalian bepergian di muka bumi)”. Adakalanya bepergian itu untuk mencari rezeki, “yadhribûna fî al-ardhi yabtaghûna min fadhlillâh (orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah)” (TQS al-Muzammil [73]: 20).

Istilah al-mudhârabah diambil dari dharaba fî al-ardhi (yang dinyatakan di kedua ayat ini) dan karena kebanyakan laba al-mudhârabah kala itu diperoleh dengan pergi berdagang. Juga dikatakan al-mudhârabah diambil dari dharaba fi al-mâl, yakni tasharrafa fîhi (mengelola harta).

Adapun istilah al-qirâdh atau al-muqâradhah diambil dari hadis Shuhaib di atas (meski dha’iif) dan ucapan salah seorang sahabat kepada Umar bin al-Khaththab ra.,”Law ja’altahu qirâdh[an] (Andai kamu jadikan sebagai qirâdh)”. Lalu Umar berkata: “Qad ja’altuhu qirâdh[an] (Aku jadikan sebagai qirâdh).”

Meski kedua hadis di atas dhaa’iif, namun terdapat banyak atsar bahwa para Sahabat melakukan al-murâbahah atau al-qirâdh/al-muqâradhah. Di antaranya:

Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab ra. menyerahkan harta anak yatim secara mudhaarabah (HR Asy-Syafi’iy di dalam Ikhtilâf al-‘Iraqiyin dan Musnad asy-Syâfi’iy; Ibnu Abiy Syaibah di dalam Al-Mushannaf Ibni Abiy Syaibah; Al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra dan Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsâr).

Al-Baihaqi juga meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menyerahkan harta secara mudhaarabah. Juga diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud dan Hakim bin Hizam menyerahkan harta secara mudhaarabah.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar dan Ubaidullah bin Umar ketika di Bashrah diserahi oleh Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi ‘amil Bashrah, harta Negara untuk diserahkan kepada Umar. Dengan harta itu Abdullah dan Ubaidullah boleh membeli barang dan dijual di Madinah. Harta itu diserahkan kepada Umar. Singkatnya, setiba di Madinah, Umar meminta modal dan semua labanya. Abdullah diam saja, Ubaidullah menyatakan keberatan. Lalu salah seorang sahabat yang duduk bersama Umar berkata, “Law ja’altahu qirâdh[an] (Andai engkau jadikan sebagai qirâdh).” Umar pun menjadikannya qirâdh dan mengambil modal dan setengah labanya. Abdullah dan Ubaidullah mengambil setengah laba sisanya (HR asy-Syafi’iy di dalam Musnad asy-Syâfi’iy dan al-Baihaqi di dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsâr). Imam ath-Thahawi menilai riwayat ini shahih.

Juga diriwayatkan bahwa Aisyah, Umar, Utsman, Ali bin Abiy Thalib, Ibnu Mas’ud, Hakim bin Hizam, al-‘Abbas bin Abdu al-Muthallib.

Semua riwayat itu, seperti dikatakan oleh Imam al-Baihaqi menunjukkan bahwa al-mudhârabah atau al-qirâdh itu tersebar luas dan dipraktikkan oleh para sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari sehingga menjadi Ijmak Sahabat atas kebolehannya.

Tentu saja, al-mudârabah atau al-qirâdh/al-muqâradhah yang boleh itu adalah yang sah, bukan yang batil atau fasid.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 4 =

Check Also
Close
Back to top button