Takrifat

Sebagian Hukum Lafal Umum

مِنْ أَحْكَامِ الْأَلْفَاظِ الْعُمُوْمِ


Lafal umum tetap berlaku pada keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Lafal umum dengan latar belakang sebab tertentu tetap berlaku secara umum dan tidak dikhususkan dengan sebabnya saja. Hanya saja, keumuman lafal atau redaksi umum pada kekhususan sebab atau jawaban pertanyaan itu berlaku umum pada topik sebab atau pertanyaan itu saja dan tidak mencakup segala hal. Ini adalah beberapa hukum lafal atau redaksi umum yang telah dijelaskan sebelumnya.

Setidaknya masih ada beberapa hukum terkait lafal atau redaksi umum yang perlu dijelaskan. Di antaranya:

 

  1. Isim naakirah dalam konteks penafian.

Di antara redaksi umum adalah penggunaan isim naakirah dalam konteks penafian. Namun, penafiannya bagaimana? Apakah menafikan hakikat perkara secara total atau tidak secara total?

Jika ditelaah secara mendalam nas-nas yang di dalamnya dinyatakan isim naakirah dalam konteks penafian, maka dapat dipahami bahwa ada kalanya penafiannya itu terhadap asal atau pokoknya, yakni penafiannya terhadap hakikat perkara itu secara total. Ada kalanya penafiannya terhadap kesempurnaan perkara itu, sementara asal atau pokoknya, yakni zat atau substansi perkara itu sendiri, masih tetap ada.

Contoh penafian terhadap asal atau pokoknya adalah firman Allah SWT:

لَّا يَسۡمَعُونَ فِيهَا لَغۡوٗا وَلَا كِذَّٰبٗا  ٣٥

Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta (QS an-Naba’ [78]: 35).

 

Di sini lafal laghw[an] dan kidzdzâb[an] dinyatakan dalam bentuk naakirah dalam kontek penafian. Penafiannya di sini adalah secara total, yakni asalnya.

Contoh lainnya adalah sabda Nabi saw.:

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Tidak ada (akad) pernikahan kecuali dengan adanya wali (HR Ahmad no. 19518, 19710, 19746; ad-Darimi no. 2228, 2229; Ibnu Majah no. 1881; Abu Dawud no. 2085; at-Tirmidzi no. 1101; Ibnu Hibban no. 4077; 4078, 4083,al-Hakim no. 2710, 2712, 27213; al-Baihaqi no. 13611, 13612, 13613).

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abu Burdah, dari Abu Musa. Imam at-Tirmidzi juga menyatakan, dalam bab ini juga dari jalur Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan ‘Imran bin Hushain. Dalam hadis ini lafal nikaaha dalam bentuk naakirah dalam konteks penafian. Ini bermakna umum. Yang dinafikan adalah asal atau pokoknya, yakni secara total. Maknanya, tidak ada akad pernikahan tanpa adanya wali. Karena itu akad pernikahan tanpa wali adalah batil.

Contoh lainnya, Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah menyuruh dirinya agar menyerukan kepada orang-orang:

لَا صَلَاةَ إِلَّا بِقِرَاءَة

Tidak ada shalat kecuali dengan bacaan (HR Ahmad no. 8076, 9711, Muslim dan Ibnu Khuzaimah no. 188).

 

Redaksi lainnya:

لَا صَلَاةَ إِلَّا بِقِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada shalat kecuali dengan bacaan al-Fatihah (HR Ahmad no. 9529, Abu Dawud no. 820; at-Tirmidzi no. 313; dan Ibu Khuzaimah no. 488).

 

Lafal shalâta dalam bentuk naakirah adalah dalam konteks penafian. Penafian di sini adalah terhadap asal atau pokoknya, yakni secara total. Karena itu shalat tanpa membaca surat al-Fatihah adalah batil.

Ada kalanya naakirah dalam konteks penafian itu menunjukkan penafian kesempurnaan perkara; sementara hakikat, asal atau pokok perkara itu tetap masih ada. Contohnya adalah firman Allah SWT:

وَإِن نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُم مِّنۢ بَعۡدِ عَهۡدِهِمۡ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمۡ فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلۡكُفۡرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيۡمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ  ١٢ أَلَا تُقَٰتِلُونَ قَوۡمٗا نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ ١٣

Jika mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sungguh mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. Mengapakah kalian tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janji)-nya (QS at-Taubah [9]: 12-13).

 

Lafal “lâ aymâna (tidak ada janji). Ini bukan penafian asal atau pokoknya, melainkan penafian kesempurnaan. Hal itu diindikasikan oleh awal ayat itu yang menetapkan perjanjian yang mereka buat, lalu dinafikan dengan lafal itu. Di ayat berikutnya ditetapkan lagi eksistensi janji itu. Jadi maknanya, bukan tidak ada janji pada mereka, melainkan janji-janji yang mereka buat, mereka rusak atau langgar, sehingga seolah tidak ada janji. Jadi makna lâ aymâna adalah tidak ada janji yang dapat dipegangi.

Contoh lainnya, Anas bin Malik ra. menuturkan, Nabi saw. bersabda:

لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَه

Tidak ada (kesempurnaan) iman untuk orang yang tidak amanah dan tidak ada (kesempurnaan) agama untuk orang yang tidak ada (memenuhi) perjanjian (HR Ahmad no. 12383, 12567, 13199; Ibnu Hibban no. 194; al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 12690, 18851).

 

Imam al-Baghawi (w. 516 H) di dalam Syarhu as-Sunnah menilai hadis ini hasan. Dhiya’uddin al-Maqdisi (w. 643 H) di dalam Al-Ahâdîtsu al-Mukhtârah menilai sanad-nya shahih.

Makna hadis ini bukan penafian hakikat iman dan agama, melainkan penafian kesempurnaannya. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) di dalam At-Tamhîd menyatakan, “Di antara yang diinginkan dengan itu adalah keutamaan dan kesempurnaan.”

Al-Khaththabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan menyatakan, “Semua ini dalam makna peringatan atau penafian keutamaan dan kesempurnaan tanpa penafian hakikat dalam hilang dan batalnya iman.”.

Imam ath-Thahawi (w. 321 H) di dalam Syarhu Musykal al-Atsâr menjelaskan bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi saw. bukan bahwa orang yang tidak amanah itu telah keluar dari iman dan masuk dalam sebaliknya (kafir). Namun, dia ada dalam iman tanpa iman yang ada pada orang yang Amanah. Demikian juga tidak ada agama pada dirinya seperti agama yang ada bersama orang yang memenuhi perjanjian.

Jadi naakirah dalam konteks penafian itu memberikan makna penafian secara umum, yakni penafian asal, hakikat atau pokok sesuatu. Ini merupakan ketentuan asal. Namun, jika ada qariinah atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dinafikan bukanlah hakikat atau asalnya, maka yang dinafikan adalah kesempurnaan, keutamaan perkara atau sesuatu itu.

 

Cakupan Keumuman al-Ma’thuf ‘alayh Terhadap al-Ma’thuf

Al-Ma’thûf (sesuatu yang di-‘athaf-kan) tidak masuk dalam cakupan keumuman al-ma’thûf ‘alayh (yang di-athaf-i) kecuali dengan adanya qariinah atau indikasi yang menunjukan hal itu. Artinya, ketentuan asalnya, keumuman al-ma’thûf ‘alayh tidak mencakupi al-ma’thûf. Al-Ma’thûf akan masuk dalam cakupan keumuman al-ma’thûf ‘alayh jika ada qariinah yang menunjukkan hal itu.

Allah SWT berfirman:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ … وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ ٢٢٨

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…Suami-suaminya berhak merujuk mereka dalam masa menanti itu (TQS al-Baqarah [2]: 228).

 

Di sini lafal “wa bu’ûlatuhunna” di-‘athaf-kan menggunakan wawu ‘athaf pada “wa al-muthallaqâtu”. Keduanya menggunakan redaksi umum, yakni berupa isim jamak yang ma’rifat dengan alif dan lam. Lafal “wa al-muthallaqâtu yatarabbashna bi anfusihinna tsalâtsata qurû`” bersifat umum mencakup semua wanita yang ditalak dalam talak raj’i maupun talak ba’in, baik ba’in shughrâ atau ba’in kubrâ. Adapun penggalan kedua “wa bu’ûlatuhunna ahaqqun biraddihinna fî dzâlika” bersifat umum pada talak raj’i saja sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat lain. Jadi di sini al-ma’thûf, yakni “wa bu’ûlatuhunna” tidak masuk dalam cakupan keumuman al-ma’thûf ‘alayh, yakni “wa al-muthallaqâtu”.

Hanya saja, jika lafal yang di-’athaf-kan (al-ma’thûf) itu tidak dapat berdiri sendiri (independen), kecuali dengan dimasukkan dalam cakupan lafal sebelumnya (al-ma’thûf ‘alayh), maka pada kondisi ini al-ma’thûf itu tercakup dalam hukum al-ma’thûf ‘alayh. Contohnya firman Allah SWT:

۞إِنَّآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ كَمَآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ نُوحٖ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ ١٦٣

Sungguh Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya (TQS an-Nisa’ [4]: 163).

 

Lafal “wa an-nabiyyîna” di sini tidak berdiri sendiri atau tidak independen dalam penunjukkan maknanya, kecuali dimasukkan dalam cakupan kalimat sebelumnya. Jadi lafal an-nabiyyîna itu termasuk dalam cakupan makna kalimat sebelumnya. Jadi maknanya, “Kami mewahyukan kepada Nuh dan kami mewahyukan kepada nabi-nabi…”.

 

Istidlaal dengan Redaksi Umum yang Ditakhshîsh

Redaksi umum itu berlaku pada semua cakupannya. Jika terjadi pengkhususan (takhshîsh) dengan mukhashshish tertentu maka apa yang dikhususkan itu dikeluarkan dari cakupan redaksi umum tersebut. Namun, redaksi umum itu tetap berlaku pada semua yang masuk dalam cakupannya selain yang dikhususkan itu. Jadi nas yang umum tetap berlaku dan menjadi hujah dan dalil atas semua cakupannya selain yang dikhususkan.

Nabi saw. bersabda, “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau menjual apa yang bukan milikmu).” (HR Ahmad no. 15311, Abu Dawud no. 3503, an-Nasai no. 4613, Ibnu Majah no. 2187, at-Tirmidzi no. 1232, al-Baihaqi no. 10422).

Ini bersifat umum mencakup keharaman menjual apa saja yang bukan atau belum milik kita. Namun, ketentuan ini dikhususkan dengan nas tentang kebolehan Bay’ as-Salam dan Bay’ al-Istishnâ’Bay’ as-Salam dan Bay’ al-Istishnâ’ dikeluarkan dari cakupan hukum hadis ini. Artinya, hadis “lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka” itu tetap menjadi hujah atas keharaman menjual sesuatu yang bukan atau belum milik kita pada selain kasus Bay’ as-Salam dan Bay’ al-Istishnâ’.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen − six =

Back to top button